Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Lahir pada 3 April 1804 dengan nama kecil Gusti Raden Mas (GRM) Ibnu Jarot, Sri Sultan Hamengku Buwono IV menjadi putera mahkota pada penobatan ayahnya Sultan Hamengku Buwono III sebagai sultan pada 21 Juni 1812. Naik tahta pada 9 November 1814 pada usia 10 tahun, pemerintahannya didampingi oleh wali raja hingga mencapai akil baligh pada 1820.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pangeran Diponegoro, dekat dengan adiknya yang lain ibu itu, memperhatikan pendidikan sang raja kecil, membacakan naskah-naskah penting, dan mendukung pendidikan dengan pengajar Al Quran dan baca tulis Melayu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kedekatan ini renggang saat Patih Danurejo IV menguatkan pengaruhnya di Kasultanan Yogyakarta dengan dukungan pada sistem sewa tanah yang menyebabkan kesengsaraan bagi penduduk.
Kerengangan antara Pangeran Diponegoro dan Patih Danurejo IV mencapai puncak pada Garebeg Sawal 12 Juli 1820, ketika Pangeran Diponegoro mencela kebijakan sewa tanah.
Selain itu, Patih Danurejo IV juga menempatkan saudara-saudaranya di posisi-posisi strategis. Puncaknya ketegangan antara Pangeran Diponegoro dengan Patih Danurejo IV terjadi tatkala Garebeg Sawal pada tanggal 12 Juli 1820. Di hadapan Sultan yang sudah mulai berkuasa secara mandiri itu, Pangeran Diponegoro mencela Patih Danurejo IV yang telah menyewakan tanah kerajaan di daerah Rejowinangun.
Dikutip dari laman kratonjogja.id, Sri Sultan Hamengku Buwono IV meninggal pada 6 Desember 1823, pada usia 19 tahun, setelah dua tahun memerintah secara mandiri. Dalam beberapa catatan disebutkan bahwa beliau meninggal dunia setelah kembali dari kunjungan ke pesanggrahannya. Maka kemudian nama beliau dikenal sebagai Sultan Seda Besiyar. Sri Sultan Hamengku Buwono IV dimakamkan di Astana Besiyaran Pajimatan, Makam Raja Imogiri.
Dari sembilan istri, ia memiliki 18 anak, puteranya dari permaisuri GKR Kencono, Gusti Raden Mas Gatot Menol, menjadi penerus sebagai Sultan Hamengku Buwono V.
Meskipun masa pemerintahannya tidak menghasilkan karya sastra atau seni besar, dua kereta peninggalannya, Kyai Manik Retno dan Kyai Jolodoro, dapat ditemui di Museum Kereta Keraton Yogyakarta, dirancang untuk pesiar oleh Sri Sultan.