Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

50 Tahun Usai G30S 1965, TNI Masih Dihantui Komunisme

G30S sudah berlalu 50 tahun lalu dan dunia sudah
meninggalkan

komunisme. Mengapa TNI masih mengatakan komunisme bangkit


lagi?

2 Oktober 2015 | 19.31 WIB

Pidato Presiden Sukarno di hadapan para pendukung PKI yang menunjukkan bagaimana komunisme juga menjadi kekuatan yang membawa Indonesia menuju identitas Negara yang kuat, dengan semangat nasionalis, agama dan komunis. wikipedia. org
Perbesar
Pidato Presiden Sukarno di hadapan para pendukung PKI yang menunjukkan bagaimana komunisme juga menjadi kekuatan yang membawa Indonesia menuju identitas Negara yang kuat, dengan semangat nasionalis, agama dan komunis. wikipedia. org

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Pernyataan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Mulyono perihal adanya ancaman kebangkitan komunisme di Indonesia dianggap tidak berdasar. Menurut profesor politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Syamsuddin Haris, kondisi saat ini justru tak memungkinkan bagi ideologi yang dianut Partai Komunis Indonesia (PKI) itu tumbuh subur seperti sebelum peristiwa 1965.

“Ketakutan terhadap komunisme hanya buang-buang waktu,” kata Syamsuddin, Kamis, 1 Oktober 2015.

Di dunia, kata Syamsuddin, komunisme bukan lagi ideologi yang berpengaruh. Perang Dingin—yang menandai perseteruan Blok Timur yang beraliran komunis dan Blok Barat yang berhaluan liberal—berakhir lebih dari 20 tahun lalu seiring dengan runtuhnya Uni Soviet.

Kini Cina pun hanya mempraktekkan komunisme dalam bidang politik. Dalam perekonomian, Cina menganut sistem kapitalisme seperti Amerika Serikat. “Dunia sudah meninggalkan komunisme,” kata Syamsuddin.

Lima puluh tahun setelah penumpasan PKI dan simpatisannya, Jenderal Mulyono mengungkit kembali bahaya komunisme. Seperti diberitakan sejumlah media, dalam peringatan Gerakan 30 September 1965 di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya, Jakarta, dua hari lalu, ia mengatakan ideologi tersebut sedang bangkit dan gerakannya akan menyusup ke segala lini.

Kepala Dinas Penerangan TNI AD Brigadir Jenderal M.S. Fadhilah mengatakan indikasi kebangkitan komunisme ditandai dengan munculnya kembali gambar palu-arit yang merupakan lambang PKI. “Di Jawa Tengah paling banyak,” ujar dia, Kamis, 1 Oktober 2015.

Menurut Fadhilah, gerakan pro-PKI menyebarkan propaganda lewat pemutaran film yang menyudutkan tentara. Mereka, kata dia, membentuk opini bahwa telah terjadi pembantaian dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap anggota dan simpatisan PKI. “Tandanya cukup jelas. Mereka tak suka Pancasila dan menginginkan revolusi.”

Selanjutnya >> Mengapa TNI mengatakan komunisme bangkit lagi?



Menurut Syamsuddin Haris, pemasangan atribut dan lambang PKI tak lebih dari gaya-gayaan. “Apa maknanya pemasangan itu? Sama sekali tak kuat,” kata Syamsuddin. Sejumlah anak muda yang bersimpati kepada PKI tak memiliki akar kuat untuk menciptakan gerakan seperti pada 1960-an. Mereka, kata Syamsuddin, hanya ingin berbeda sikap dengan kebijakan negara.

Sejarawan Anhar Gonggong juga menilai saat ini komunisme dan PKI sukar bangkit lagi. “Selama lima puluh tahun ini, zaman telah berubah. Situasinya juga sudah berbeda,” kata dia. (Lihat video Cerita di Balik Film ‘PKI’, Disebut Berbahaya, Inilah Fakta Lagu Genjer-Genjer)

Bagi pengamat militer dan keamanan dari Universitas Padjadjaran, Muradi, pernyataan Jenderal Mulyono hanya untuk memperkuat posisi TNI AD. “Itu bagian dari formula politik TNI AD untuk menegaskan dedikasi dan posisi mereka,” ujar dia. Dalam dunia akademik, kata Muradi, pernyataan itu dikenal sebagai teori formulasi. Berdasarkan teori itu, TNI AD berusaha menunjukkan eksistensinya dengan cara mencari “musuh”—dalam hal ini komunisme.

Tak kunjung berakhirnya pro-kontra mengenai peristiwa 1965 mendorong pemerintahan Presiden Joko Widodo mencari penyelesaian. Walau sudah memutuskan tak akan meminta maaf kepada korban tragedi 1965, pemerintah bertekad untuk menyelenggarakan rekonsiliasi.

“Kami ingin masalah bangsa ini segera diselesaikan,” kata Jaksa Agung Muhammad Prasetyo. “Sehingga beban masa lalu bisa selesai dan segera membuka lembaran baru untuk Indonesia yang lebih baik.”

FRANSISCO ROSARIANS | MAHARDIKA SATRIA HADI | REZA ADITYA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anton Septian

Anton Septian

Menjadi wartawan Tempo sejak 2007. Saat ini Redaktur Eksekutif Tempo. Sebelumnya Redaktur Eksekutif Tempo.co dan Redaktur Eksekutif majalah Tempo. Banyak meliput isu politik dan hukum serta terlibat dalam sejumlah proyek investigasi. Asia Journalism Fellowship 2023.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus