Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ayo, Manis, diangkat dulu kakinya," bisik Penceng sembari mengelus kepala lawan bicaranya. Laki-laki 35 tahun ini tidak sedang merayu pacarnya. Ia hanya melakukan pekerjaannya: membersihkan kandang gajah di Kebun Binatang Surabaya (KBS). Manis adalah nama gajah Sumatera yang setiap hari dipekerjakan sebagai tunggangan para pengunjung.
Salah satu dari lima gajah di Kebun Binatang Surabaya itu tampak kurus dan kudisan. "Ini usianya sudah tua, jadi kulitnya keriput. Tapi nafsu makannya masih bagus, kok," kata Penceng sambil menyorongkan jagung muda ke mulut binatang berumur 40 tahun itu.
Setiap pagi semua pegawai sibuk. Mereka membersihkan kandang, memberi makan, atau memandikan satwa. Aktivitas mereka menjadi pemandangan menarik buat ratusan pengunjung. Namun Penceng, yang sudah empat tahun bekerja, mengaku gelisah memikirkan nasib hewan dan dirinya sendiri. Ia khawatir sewaktu-waktu dipecat oleh pengurus seperti rekan-rekannya.
Pengelolaan kebun binatang yang dulu dikenal masyarakat Surabaya dengan sebutan derenten ini memang sedang kacau. Tempat yang berdiri sejak 1916 dengan nama Soerabaiasche Planten-en Dierentuin ini menjadi tempat rekreasi dengan koleksi terlengkap dan terbaik se-Asia Tenggara pada 1950-1970. Namun pamornya pudar setelah terjebak dalam konflik kepengurusan tak berkesudahan. Banyak satwa mati dan tak sedikit ditukar guling dengan barang.
Itu sebabnya Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini bertekad mengambil alih. "Pokoknya bulan ini saya ambil alih," kata Risma kepada Tempo di kantornya, Senin pekan lalu. Kegalauannya memuncak saat mendengar pengurus kebun binatang mewacanakan menggandeng investor untuk membangun hotel berbintang di kawasan hutan kota di daerah Wonokromo itu. Alasannya, biaya operasional tidak dapat ditutup dengan pendapatan dari karcis pengunjung.
Bertahun-tahun ikon Surabaya ini menjadi sorotan media. Tak hanya koran lokal, media nasional dan internasional juga memberitakan soal banyaknya satwa mati, hilang, atau kurus tak terurus. Jerapah mati dengan kondisi perut penuh sampah plastik, juga foto-foto harimau Sumatera, Melani, yang tinggal tulang berbalut kulit, misalnya, dengan cepat menyebar di jejaring sosial.
Tak mengherankan bila Risma dikecam pencinta satwa di Eropa dan Amerika. Risma menuturkan pernah pada suatu waktu, dalam kunjungannya ke Berlin, Jerman, dia dipermalukan di forum gara-gara "bonbin" ini. Risma, yang seharusnya memaparkan kisah suksesnya sebagai Wali Kota Surabaya, dipaksa lebih dulu menjelaskan kondisi kebun binatang. "Terus terang saya malu sekali waktu itu," ujarnya.
Tadinya kebun binatang ini dikelola swasta bernama Perkumpulan Kebun Binatang Surabaya, yang sejak 1981 dipimpin tokoh Golkar Jawa Timur, Mohamad Said, dengan ketua pengurus harian Stany Soebakir, yang waktu itu menjabat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Surabaya. Pada 1997 terjadi konflik yang menyebabkan mundurnya Stany.
Perkumpulan kemudian menghibahkan lahan kebun binatang kepada Pemerintah Kota Surabaya pada 2001. Stany kembali masuk kepengurusan setelah duet pimpinan Perkumpulan-Kamilo Kalim dan I Komang Wirasa Sardjana-ditahan polisi dalam kasus hilangnya burung jalak Bali. Perkubuan meruncing ketika rapat anggota Perkumpulan menolak laporan pertanggungjawaban Stany pada 2009. Lalu Basuki Rekso Wibowo, guru besar hukum Universitas Airlangga, didapuk menjadi ketua. Namun Stany tidak terima dan mengajukan gugatan ke pengadilan.
Mulai saat itulah kondisi KBS semakin memprihatinkan. Banyak hewan tak terawat dan mati. Kementerian Kehutanan turun tangan dengan mencabut izin konservasi dan membentuk tim pengelola sementara, yang melibatkan Pemerintah Provinsi, Kementerian Kehutanan, Pemerintah Kota Surabaya, dan Persatuan Kebun Binatang se-Indonesia, pada 2010. Tim yang dipimpin pemilik Taman Safari, Tony Sumampouw, ini ternyata ikut larut dalam konflik sehingga sampai tiga tahun kemudian tak kunjung terbentuk pengurus definitif. ÂStany dan Basuki lalu bersama-sama menggugat Menteri Kehutanan, dan saat ini kasusnya sudah masuk ke tingkat Âkasasi.
Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mendukung niat Risma mengambil alih bonbin dengan mendirikan Perusahaan Daerah Taman Satwa Kebun Binatang Surabaya. Tapi ia punya syarat untuk melepas hak pengelolaan: pengurus lama tidak boleh terlibat sama sekali. "Mereka bertengkar terus. Urusan makanan hewan bertengkar, urusan tiket bertengkar," kata Zulkifli, yang membantah ada niat membangun hotel di kawasan ruang terbuka hijau itu.
"Untuk sementara KBS dikelola bersama-sama," ujar Novianto Bambang, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Kehutanan.
Koleksi satwa Kebun Binatang Surabaya pernah mencapai 4.000 ekor lebih. Namun jumlahnya terus menyusut karena angka kematian lebih tinggi daripada kelahiran. Pada 2011, misalnya, binatang yang mati sebanyak 315 dan yang lahir hanya 271. Bahkan pengelola pernah menukar 39 binatang, yang terdiri atas berbagai burung, rusa, banteng, kanguru, dan orang utan, dengan mobil Kijang Innova dan sepeda motor. "Ditukar dengan kendaraan operasional yang kita butuhkan," kata juru bicara KBS, Agus Supangkat. Penerima binatang adalah Lembaga Konservasi Lembah Hijau di Bandar Lampung. Sebelumnya mereka membarter 49 binatang berbagai jenis ke Taman Satwa Mirah Banyuwangi, yang mengongkosi pengangkutan jerapah dari Kebun Binatang Berlin ke Surabaya Rp 600 juta.
Kebun binatang Surabaya tak pernah menambah koleksi baru dalam beberapa tahun terakhir. "Banyak satwa sudah tua dan tidak produktif," kata Rahmad Suharto, dokter hewan di situ. Namun dia membantah kabar bahwa satwa mati karena kurang makan. Menurut dia, banyaknya kematian akibat kandang kumuh. Air yang masuk ke kandang juga tidak higienis karena langsung dari air sungai. "Mau gimana lagi, hewan kan tidak bisa dideteksi kapan dia minum air sungai itu?" katanya.
Jumlah pengunjung pun terus merosot. Menurut catatan Badan Perencana Pembangunan Kota Surabaya, pada 1990-an jumlah tamu sekitar 2 juta, tapi pada 2010 tinggal 1,2 juta. Menurut Catherina, ibu rumah tangga yang tinggal di Sidoarjo, keluarganya lebih memilih mengunjungi Taman Safari di Prigen daripada ke Wonokromo. "Binatangnya kurus-kurus dan kandangnya kotor," katanya. "Apalagi banyak orang pacaran, jadi kurang bagus buat anak-anak."
Pemerintah Surabaya tampaknya harus bekerja keras jika ingin menghidupkan lagi pamor bonbin. Risma berjanji membangun water treatment, seaworld, dan night zoo, sehingga derenten bisa menjadi lokasi konservasi, pendidikan, sekaligus hiburan. "Masih banyak dead zone yang bisa digunakan," kata Risma. Dari lahan 15 hekÂtare, baru sekitar 15 persen yang terpakai.
Bila dikelola dengan benar, ia yakin Kebun Binatang Surabaya mampu hidup lagi. Risma optimistis, dalam 12 tahun, pengelola sudah untung. Apalagi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Surabaya sudah menyediakan anggaran, sehingga pemerintah tidak perlu mencari investor.
Dewan sudah menyetujui alokasi anggaran Rp 5 miliar sebagai modal awal untuk pengelolaan kebun binatang ini. Dana tersebut sudah termasuk biaya renovasi fisik dan pembentukan direksi badan usaha milik daerah seperti diminta Kementerian Kehutanan. "Kami sudah menyiapkan dana sampai Rp 60 miliar. Jadi, untuk dana pengelolaan tidak usah khawatir," kata Ketua DPRD Surabaya Muhammad Mahmud. "Bila kurang, silakan mengajukan anggaran lagi."
Namun masalah sepertinya belum akan berakhir. Kubu Stany dan Basuki, yang sudah islah, mengancam akan menggugat Wali Kota jika tidak dilibatkan dalam pengelolaan kebun binatang. "Kami akan menuntut Pemerintah Kota di Pengadilan Internasional di Den Haag," ujar Otje Rao, sekretaris Kubu Basuki.
Si Manis, yang semakin sepuh, barangkali tidak akan mengecap lagi masa-masa manis bonbin Wonokromo ini seperti ketika ia remaja dulu.
Agus Supriyanto, Endri Kurniawati, Agita Sukma Listyanti, Arief Rizqi Hidayat
Ruwet Sengketa Bonbin
Kebun Binatang Surabaya, yang sempat menjadi kebun binatang terbaik dan terlengkap se-Asia Tenggara, berantakan karena sengketa kepengurusannya.
1916
Soerabaiasche Planten-en Dierentuin atau Taman Flora dan Satwa Surabaya didirikan jurnalis berkebangsaan Belanda, H.F.K. Kommer.
1920
Pindah dari Kaliondo dan Grudo ke Wonokromo atas jasa Maskapai Kereta Api.
1950-1970
Menjadi kebun binatang terlengkap dan terbaik se-Asia Tenggara.
1981
Dikuasai Mohammad Said sebagai Ketua Pengurus Pleno dengan Ketua Pengurus Harian Stany Soebakir.
1997-1998
Terjadi perkubuan karyawan dan pengurus. Kesejahteraan satwa terabaikan.
2001
Mohamad Said merangkap jabatan Ketua Pengurus Pleno dan Pengurus Harian. Tanah kebun binatang dihibahkan ke Pemerintah Kota Surabaya.
2001-2003
Kamilo Kalim dan I Komang mengambil alih kepengurusan. Keduanya sempat dipenjara menyusul hilangnya burung jalak Bali.
2003
Stany Soebakir kembali mengambil alih kebun binatang melalui rapat umum anggota luar biasa pada Februari 2003. Terbentuk perkumpulan Taman Flora dan Satwa Surabaya (TFSS), yang diketuai Stany. Ia terpilih lagi menjadi ketua hingga 2011.
2009
Rapat umum anggota menolak laporan pertanggungjawaban tahunan Stany Soebakir. Profesor Dr Basuki Rekso Wibowo ditunjuk sebagai Ketua TFSS.
Januari 2010
Soebakir mengangkat Sadewo sebagai Ketua Dewan Pembina dan Soejatmiko sebagai Ketua Pengurus.
Februari 2010
Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan mengambil alih Kebun Binatang Surabaya (KBS) dan membentuk Tim Manajemen Sementara KBS.
Agustus 2010
Menteri Kehutanan mencabut izin lembaga konservasi KBS dan membentuk Tim Pengelola Sementara KBS dengan Ketua Hadi Prasetyo dan Tony Sumampouw.
Mei 2013
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini berkirim surat ke Kementerian Kehutanan meminta izin mengelola KBS. Risma mengancam mengambil paksa lahan KBS.
Juli 2013
Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengizinkan Pemerintah Kota mengelola KBS setelah memenuhi persyaratan konservasi.
Kubu Stany dan Basuki islah dan menolak pengambilalihan KBS oleh wali kota. Mereka menunggu putusan pengadilan soal sengketa lahan yang kini sudah sampai di tingkat kasasi.
Agus Supriyanto, Arief Rizqi Hidayat (Berbagai Sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo