Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
JAKARTA — Kebijakan yang mewajibkan pemenuhan kebutuhan dalam negeri alias domestic market obligation (DMO) minyak sawit mentah (CPO) menjadi pintu masuk bagi kasus pemufakatan jahat yang melibatkan pejabat Kementerian Perdagangan dan sejumlah perusahaan minyak goreng. Awalnya, kebijakan DMO dicetuskan pada Januari lalu sebagai solusi untuk mengatasi kenaikan harga dan kelangkaan stok minyak goreng akibat lonjakan harga CPO global.
Regulasi itu diteken oleh Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dan mulai berlaku pada 27 Januari lalu. Melalui regulasi tersebut, Menteri menaikkan besaran DMO dari 20 menjadi 30 persen. Artinya, produsen CPO wajib memasok 30 persen dari produksinya untuk kebutuhan dalam negeri. “Mekanisme DMO berlaku wajib untuk seluruh produsen minyak goreng yang akan melakukan ekspor,” kata Lutfi kala itu.
Ia menjelaskan, kebutuhan minyak goreng nasional sepanjang 2022 sebanyak 5,7 juta kiloliter yang terdiri atas kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan industri. Kebutuhan rumah tangga diperkirakan 3,9 juta kiloliter, yang terdiri atas 1,2 juta kiloliter kemasan premium, 231 ribu kiloliter kemasan sederhana, dan 2,4 juta kiloliter curah. Sementara itu, kebutuhan industri diperkirakan 1,8 juta kiloliter.
Tak hanya mengatur DMO, Kementerian Perdagangan juga menerbitkan kebijakan domestic price obligation (DPO). Dalam kebijakan itu, harga jual minyak sawit dalam negeri diatur sebesar Rp 9.300 per kg dan sudah termasuk pajak pertambahan nilai (PPN). Kebijakan tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 129 Tahun 2022. Keputusan ini diharapkan dapat membuat produsen minyak sawit menjual produknya ke produsen minyak goreng sesuai dengan harga acuan sehingga akhirnya produsen dapat menjual minyak ke pasar dengan harga Rp 14 ribu per liter.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo