Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) Anas Urbaningrum kembali menyinggung sumpahnya beberapa tahun silam yang mempersilakan dirinya digantung di Monas jika terbukti terlibat kasus korupsi pembangunan Pusat Pelatihan, Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang. Anas yang telah menjalani hukuman penjara kini mengubah pernyataannya soal "Gantung di Monas" adalah bukan dirinya, tetapi harapannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ya makanya itu harapannya adalah gantungkan harapanmu di atas langit. Di bawah langit ada Monas," kata Anas saat memberikan pidato politiknya di kawasan Monas, Jakarta Pusat, Sabtu 16 Juli 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Soal banyaknya orang yang menagih janji Anas akan gantung diri Monas, mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu malah menyebut ada para pihak yang mendorong hal tersebut.
"Tidak apa-apa, karena itu digerakkan oleh grup yang memang punya kepentingan politik tersendiri, itu hal yang silahkan saja," kata Anas.
Namun, Anas tidak secara gamblang siapa grup yang mendorong agar Anas menunaikan janjinya akan gantung diri di Monas.
"Sudah tahu kan, masa tanya," kata Anas.
Sumpah Anas 11 tahun lalu
Anas mengeluarkan pernyataan meminta di gantung di Monas, pada 9 Maret 2012 lalu. Sumpah itu dikeluarkan karena dia yakin tidak menerima uang sepeser pun dari kasus korupsi Hambalang.
"Satu rupiah saja Anas korupsi Hambalang, gantung Anas di Monas," ujar Anas pada saat itu.
KPK kemudian menetapkan Anas sebagai tersangka dalam kasus korupsi Hambalang pada 22 Februari 2013. Sekitar setahun berselang, Anas juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana pencucian uang.
Anas Urbaningrum tak hanya terjerat kasus korupsi P3SON Hambalang. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjerat Anas dalam berbagai proyek.
Pada persidangan, jaksa KPK mengajukan tiga dakwaan terhadapnya. Dalam dakwaan pertama, jaksa KPK menyebut Anas selaku Anggota DPR RI menerima Toyota Harrier senilai Rp 670 juta, Toyota Vellfire senilai Rp 735 juta, Survei Pemenangan senilai Rp 478 juta, uang Rp 116,525 juta dan USD 5,261,070.
Pemberian tersebut berasal dari berbagai pihak. Mulai dari PT Adhi Karya sebagai penggarap proyek Hambalang hingga koleganya di Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, pemilik perusahaan Permai Group yang juga terlibat dalam banyak korupsi proyek.
Jaksa menyatakan suap tersebut dilakukan untuk Pengurusan proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON) Hambalang di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), proyek-proyek di perguruan tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) dan proyek-proyek lain yang dibiayai APBN yang didapatkan Permai Group.
Anas disebut menggunakan posisinya sebagai Ketua DPP Bidang Politik Partai Demokrat dan Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR RI untuk mengatur proyek-proyek pemerintah yang sumber pembiayaannya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) tersebut.
Selanjutnya, istri Anas tercatat sebagai pemilik saham di perusahaan yang ikut garap Hambalang
Nama Anas disebut masuk dalam beberapa perusahaan yang terafiliasi dengan Permai Grup seperti PT Panahatan. Istri Anas, Athiyah Laila, juga disebut masuk ke dalam daftar pemegang saham PT Dutasari Citra Laras dan juga sebagai komirasir. Athiyah disebut memiliki saham sebesar Rp 1,625 miliar dalam akta perusahaan tersebut.
Dutasari mendapat proyek elektrikal dan mekanikal dari kerja sama operasi PT Adhi Karya-Wijaya Karya, kontraktor Hambalang, senilai Rp 324 miliar. Dutasari menerima pembayaran Rp 170,3 miliar meski pembangunan fisik belum dimulai.
Anas sempat menyatakan bahwa Athiyah mundur dari PT Dutasari pada 2009, sebelum proyek Hambalang dimulai. Tetapi dalam sidang kasus P3SON Hambalang dengan terdakwa Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Andi Mallarangeng terungkap bahwa perubahan akte perusahaan itu dibuat bertanggal mundur.
Direktur Keuangan PT Dutasari Citralaras (DCL) Roni Wijaya mengaku sempat diminta Machfud Suroso, Direktur Utama PT Dutasari, mencari notaris untuk mengurus perubahan akte perusahaan tersebut. Perubahan itu, menurut Roni, terjadi pada 2011. Dia mengaku tak paham maksud dan tujuan kenapa perubahan akta perusahaan itu dibuat bertanggal mundur.
"Maksudnya, tujuannya apa tidak tahu. Tetapi, terus terang saya memang disuruh mencari notaris yang bisa membuat mundur (akte perusahaan)," jawab Roni.
Selanjutnya, Anas dituding cuci uang Rp 20,880 miliar
Selain itu, dalam dakwaan kedua, jaksa KPK menyebut Anas melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) senilai Rp 20,880 miliar. Anas disebut membeli tanah di wilayah Duren Sawit, Jakarta Timur dan Yogyakarta dari uang hasil korupsi.
Dalam dakwaan ketiga, jaksa KPK menjerat Anas soal pencucian uang sebesar Rp 3 miliar yang bersumber dari Permai Group untuk pengurusan izin usaha pertambangan atas nama PT Arina Kota Jaya seluas 5 ribu - 10 ribu hektare di Kalimantan Timur.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis Anas Urbaningrum terbukti bersalah seperti dalam dakwaan pertama dan kedua pada 24 September 2014. Majelis hakim menjatuhkan hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta saat itu.
Anas juga dihukum membayar uang pengganti Rp 57.592.330.580 dan USD 5.261.070 subsider dua tahun penjara. Sementara untuk dakwaan ketiga, hakim menilai tak terbukti.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperingan hukuman kepada Anas di tingkat banding. Hukumannya didiskon menjadi 7 tahun penjara saja sementara denda dan uang pengganti tetap.
Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung justru menambah berat hukuman terhadap Anas Urbaningrum. Majelis Hakim yang dipimpin oleh Artidjo Alkostar menyatakan menghukum Anas Urbaningrum 14 tahun penjara.
Artidjo cs juga menambahkan hukuman kepada Anas berupa pencabutan hak untuk dipilih dan memilih dalam jabatan publik. Hukuman itu berlaku selama lima tahun usai Anas menyelesaikan masa hukuman penjara.
Anas kemudian mengajukan Peninjauan Kembali pada 2018. Di tingkat PK inilah MA kemudian kembali memotong hukuman Anas kembali menjadi 8 tahun penjara. Dia pun dinyatakan bebas murni pada Senin, 10 Juli 2023.
Rentetan kasus korupsi ini tak hanya menjerat Anas Urbaningrum. Sejumlah kader Partai Demokrat lainnya pun ikut terseret seperti Andi Malarangeng, Muhammad Nazaruddin dan Angelina Sondakh. Ketiganya pun kini telah keluar penjara.
ADE RIDWAN YANDWIPUTRA