Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Bagi penyandang disabilitas pendengaran dengan kategori sangat berat (Profound atau ambang dengar di atas 80 desibel), ada beberapa solusi yang bisa dilakukan untuk berkomunikasi. Ada kelompok yang memilih menggunakan bahasa isyarat, namun ada pula yang memilih menggunakan teknologi bantu dengar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada dua jenis teknologi bantu dengar yang biasa direkomendasikan dunia kesehatan. Pertama Alat Bantu Dengar atau ABD dan kedua adalah implan koklea. Menurut ahli Audio-Vestibular yang juga Spesialis THT dari Rumah Sakit Premiere Bintaro, Siti Faisa, ada perbedaan mendasar antara alat bantu dengar dengan implan koklea.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca juga:
Cara Agar Difabel Tak Ditolak Membuka Rekening di Bank
4 Syarat Ini Harus Dimiliki Hakim yang Menangani Kasus Difabel
"Alat bantu dengar bekerja dengan hanya mengeraskan suara yang masuk ke telinga," ujar Siti Faisa saat diwawancara di Kasoem CTEC, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Kamis 12 Juli 2018. Alat bantu dengar, lanjut Faisa, merupakan alat sederhana yang terdiri dari mikrofon, amplifier, dan loudspeaker berukuran mini.
Karena bersifat mengeraskan suara, bagi beberapa penyandang disabilitas pendengaran dengan kategori sangat berat, ragam dan jenis suara yang dihasilkan alat bantu dengar tidak dapat teridentifikasi dengan baik. "Misalnya, yang sebelumnya tidak mendengar ketokan pintu, jadi mendengar ada suara, tapi tidak mengetahui jenis bunyinya bunyi apa," ujar Faisa.
Adapun pemasangan implan koklea direkomendasikan kepada penyandang disabilitas pendengaran -terutama balita dan anak-anak, setelah ada pemeriksaan lanjutan di rumah siput. Bila diagnosa menyatakan ada kerusakan di rumah siput, barulah pemasangan implan koklea dapat dilakukan. "Implan Cochlea membantu puluhan saraf di rumah siput mengantarkan jenis bunyi sekaligus kata-kata ke pusat otak (dequoting)," ujar Faisa.
Ilustrasi pemeriksaan telinga. shutterstock.com
Pemasangan dan penggunaan implan cochlea, menurut Faisa, merupakan cara memperjelas sekaligus mendetailkan jenis suara. Janis suara ini termasuk kata-kata dalam bahasa verbal. Sebab itu, meski implan koklea sudah terpasang, penyandang disabilitas pendengaran tetap harus melakukan terapi bicara, terutama yang mengalami gangguan pendengaran sejak lahir.
"Perlu ada persamaan persepsi terhadap bunyi, misalnya 'makan' dengan 'macan'. Artinya berbeda meski satu konsonan," ucap Faiza. Karena dapat melakukan "dequoting", penyandang disabilitas pendengaran pengguna implan koklea dapat menggunakan bahasa verbal dengan lebih baik.