SEORANG pria, 28 tahun, keturunan Cina, tinggal di Yogya. Kakek-nenek dan kedua orangtuanya lahir di Kota Gudeg itu. Ia tak tahu lagi siapa sebenarnya leluhurnya di Cina sana. Sehari-hari ia bicara dan bertingkah laku Jawa. Ia tak tahu -menahu bahasa dan budaya Cina. "Dalam segala hal kami ini orang Indonesia," katanya. Cina peranakan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, katanya, merupakan kelompok ekonomi daripada kelompok rasial atau kebudayaan. "Lambat-laun kami tak akan bisa lagi dibedakan dari orang Jawa lainnya, kecuali dari keadaan kami yang lebih makmur dan unggul dalam bidang perdagangan dan keahlian tertentu," katanya. Inilah potret peranakan Cina di bawah usia 40 tahunan. Mereka, menurut Prof. Stuart William Greif, dalam buku WNI: Problematik Orang Indonesia Asal Cina, telah luntur karena proses asimilasi. Greif merekam persepsi keturunan Cina di Indonesia tentang keindonesiaan dan kecinaannya. Ia mewawancarai 25 orang Cina di Jawa dan Bali Kesimpulannya, mereka tak kenal lagi bahasa dari adat Cina. Mereka telah tercerabut sama sekali dari tanah leluhurnya. Mereka sudah berbaur menjadi orang Indonesia. Namun, tidaklah berarti bahwa masalah pembauran selesai sudah. Isu pribumi dan nonpribumi, setelah 46 tahun kemerdekaan, masih saja ditiupkan. Yang menjadi masalah saat ini, tampaknya, bukan lagi soal mata sipit, warna kulit, bahasa Cina, atau upacara di kelenteng seperti yang sering menjadi pemicu konflik pada masa lalu. Proses pembauran, sedikitnya, telah "menjinakkan" katup-katup itu. Yang menjadi soal, kesenjangan antara pri-nonpri itu tampak mulai bergeser dari masalah-masalah rasial dan budaya ke bidang ekonomi. Nonpri punya kelebihan di bidang ini, dan bahkan dianggap terlalu dominan. Pada waktu Pemerintah membuka keran deregulasi, misalnya, kelompok Cina lebih cepat menangkap peluang dan meraup untung. Mereka maju lebih cepat di bidang ekonomi. Disebut-sebut, sekitar 200 konglomerat yang bangkit sampai awal tahun ini, 75% adalah milik etnis Cina. Untuk mengurangi kesenjangan itu, mereka bukan hanya diimbau untuk tak pamer kekayaan di depan sebagian besar kaum pribumi yang 30% masih di bawah garis kemiskinan. Mereka juga diminta menggandeng pengusaha pribumi yang "lemah" dan koperasi. Maksudnya, supaya mereka berbagi rezeki, peluang usaha, dan pengalaman. Persoalan kesenjangan sosial semacam itu bukan hanya muncul setelah Pemerintah mengendurkan tali regulasi di bidang ekonomi. Dalam sejarah penjajahan, kelompok etnis Cina itu pernah "dimanjakan" penguasa, yakni Belanda. Selain diberi kelas sosial lebih tinggi dari kaum pribumi, mereka juga mendapat hak istimewa menumpuk kekayaan sebagai pemungut jalan tol, pajak, dan agen bisnisnya. Di samping itu, mereka pun dikumpulkan di permukiman khusus atau pecinan, terasing dari orang pribumi. Dalam proses pembauran, ada beberapa ganjalan yang membuatnya tersendat. Bukan hanya soal mau integrasi (bergabung sebagai suku tersendiri) atau asimilasi (ajur-ajer atau melebur ke dalam kelompok pribumi). Apalagi, pemerintah Cina telah melepas ikatan sama sekali dengan mereka yang di perantauan. Dalam perjalanannya, kadang-kadang sempat terjadi percikan api, darah tercurah, atau suplai kebutuhan pokok terganggu beberapa saat di sejumlah tempat yang sering bisa dengan cepat diatasi. Kalau diamati, cara menangani kelompok nonpri ini sering membingungkan. Sebagai warga negara Indonesia (WNI), mereka selayaknya punya hak dan kewajiban sama sebagai warga negara. Yang harus ditangani secara khusus hanya keturunan Cina yang masih WNA atau stateless yang menurut catatan, konon, tinggal sekitar 550 ribu orang dan hampir seluruhnya lahir di sini. Namun peraturan yang dibuat sering memukul rata semua keturunan Cina, tak peduli yang sudah WNI. Rambu-rambu dipasang bagi mereka, baik dalam pendidikan, bukti diri, maupun pelayanan masyarakat lainnya. Namun, kalau ada letupan kesenjangan sosial, yang paling gampang menjadi kambing hitam adalah mereka. Tuduhan yang sering terdengar, mereka terlalu eksklusif. Dahulu mereka eksklusif dalam bahasa, adat, dan permukiman. Kini bentuknya punya warna baru seperti, lingkungan kerja, pergaulan, atau dalam bermitra usaha. Ini tampaknya bukan lagi "monopoli" kaum nonpri. Di kalangan pribumi pun mulai punya kecenderungan serupa. Pembauran, untuk menjadi satu bangsa yang utuh dan kukuh, agaknya tak akan menggelinding hanya dengan satu roda, kelompok nonpri. Dibutuhkan sikap terbuka, saling mengerti dan menghormati -- tanpa prasangka dan kebencian -- antara, kedua pihak (pri-nonpri), bahkan antara setiap orang. Ada sejumlah orang, sebagai contoh, yang ternyata memang berhasil membaur dan diterima lingkungannya. Juga sebuah contoh bagaimana negeri tetangga Muangthai mengelola masalah etnis Cina itu. Setelah dunia semakin terbuka, kelihatannya masalah etnis mungkin akan semakin terkikis. Seperti terlihat di Amerika Serikat, Eropa, atau Australia. Mereka menjadi bangsa tempat mereka bernegara. Bukan etnis asal leluhurnya. Kebetulan mereka mendapat perlakuan hukum yang sama. Ini semua kami sajikan dalam Laporan Utama kali ini. Suatu potret kebangsaan Indonesia, pada hari ulang tahun ke-46 kemerdekaan ini. A. Margana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini