Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAS sebulan setelah kunjungan PM Republik Sosialis Vietnam Pham
Van Dong, Jumat pekan lalu datang lagi satu tamu dari Indocina
Wakii PM Kamboja Ieng Sary. Selain Menlu Mochtar Kussumaatmadja
dan para pejabat lain, turut menyambutnya di lapangan terbang
Abang dan None Jakarta Kunjungan resmi 5 hari ini merupakan
yang pertama bagi pejabat Republik Demokrasi Kamboja sejak
jatuhnya Lon Nol.
Kedatangannya yang tidak berselang jauh dari kunjungan Pham Van
Dong saja cukup memberi gambaran. Kamboja, yang saat ini sedang
bentrok dengan Vietnam, tidak ingin tertinggal oleh tetangganya
itu dalam usaha mendekati ASEAN. Tapi ASEAN ternyata bukan
satu-satunya sasaran pendekatan Kamboja. Perkembangan terakhir
menunjukkan Kamboja sedang merubah sikap atau berganti siasat.
Selama 3 tahun terakhir sejak negeri ini dikuasai komunis tidak
ada negara yang begitu sering di kecam dunia seperti Kamboja.
Bahkan Komisi Hak-hak Asasi PBB secara resmi menuduh negeri ini
melanggar semua pasal Deklarasi Hak-hak Asasi PBB. Ribuan
pengungsi Kamboja bertebaran di beberapa negara tetangganya.
Konon, jumlah rakyat Kamboja yang tewas karena kelaparan, kerja
paksa dan dibunuh sampai lebih dari sejuta. Penduduknya kini
kira-kira 4 juta. Tidak heran, banyak yang menyebutnya sebagai
pembantaian terbesar setelah Perang Dunia II.
Tadinya apa yang terjadi di Kamboja tidak diketahui. Belakangan
cerita pengungsi serta laporan pengunjung membuka tabir apa yang
terjadi. Phnompenh hampir menjadi kota mati karena penduduknya
dipaksa bekerja di proyek pertanian di luar kota dalam program
sosialisasi Kamboja dengan korban ratusan ribu. Keganasan
tentara dan pemerintah Kamboja terungkap juga lewat laporan
wartawan Eropa Timur yang bisa masuk. Kecaman dan kritik bahkan
datang juga dari negara Komunis lain, termasuk RRC setelah
Kelompok Empat yang semula mendukung rejim Pol Pot - Ieng Sary,
jatuh.
Setelah 3 tahun menutup diri dan tidak peduli dengan omongan
dunia luar, Kamboja akhirnya terpaksa merubah sikap. Mungkin
perang dan konfliknya dengan Vietnam turut mendorong perubahan
ini.
Untuk pertama kalinya, dalam kunjungannya menghadiri sidang PBB
Ieng Sary menyelenggarakan konperensi pers. Ditunjukkannya foto
Pangeran Sihanouk yang dikatakannya dalam keadaan sehat. Ia
mengundang Sekjen PBB Kurt Waldheim mengunjungi Kamboja untuk
melihat sendiri keadaannya. Diterangkannya juga wartawan Amerika
akhir tahun ini boleh mengunjungi Kamboja.
Hubungan Indonesia (yang mendukung rejim Lon Nol, bahkan
mengundangnya mampir waktu ia meninggalkan negerinya) dengan
Kamboja praktis nol. Hubungan dagang begitu juga karena Kamboja
secara ketat mencoba menjalankan berdikari. Sekalipun beberapa
proyek industri sempat dikunjungi Sary. "Satu-satunya yang kita
harap dari kunjungan ini adalah kesediaan Kamboja untuk
mendukung keamanan dan stabilitas Asia Tenggara," kata seorang
pejabat tinggi pada TEMPO. Indonesia jelas tidak akan berusaha
menjual gagasan ASEAN, karena Kamboja -- seperti tercermin dalam
pernyataan Ieng Sary di Manila -- tidak berniat masuk ASEAN atau
bergabung dalam Federasi Indocina.
Balas-membalas
Indonesia sendiri agaknya tidak ingin dijadikan ajang Kamboja
untuk melampiaskan kecamannya pada Vietnam. Di Manila, sebelum
konperensi pers, dipertontonkan film Peristiwa Sebenarnya dari
Agresi Vietnam pada Kamboja. Pernyataan tertulis Sary setibanya
di Jakarta juga dikembangi kecaman pada Vietnam, walau tentu
saja tidak dilupakan keyakinan bahwa kunjungan ini
"mengembangkan lebih lanjut saling pengertian timbal balik,
serta memperkuat persahabatan dan hubungan bilateral antara
kedua negara, sesuai dengan keinginan dan kepentingan sah kedua
bangsa."
Agaknya untuk lebih meningkatkan saling pengertian ini, Menlu
Mochtar Kussumaatmadja akan mengunjungi Hanoi dan Pnompenh mulai
10 Nopember mendatang. "Bukan apa-apa. Itu hanya kunjngan
balasan. Kan wajar kalau orang mengunjungi kita, lalu kita balas
berkunjung ke rumahnya," kata seorang pejabat Deplu.
Selain balas-membalas kunjungan itu, yang menarik adalah rencana
pembukaan hubungan diplomatik, yang oleh penguasa Kamboja
sekarang dianggap baru samasekali. Dan Indonesia yang pernah
punya hubungan diplomatik dengan pemerintah Lon Nol dulu,
menerima saja keinginan pemerintah Kamboja yang sekarang untuk
"melihat ke depan dan meninggalkan masa yang lalu."
Maka disepakati dalam waktu dekat Indonesia akan menempatkan
kuasa usaha berpangkat dubes di Phnompenh, sedang Kamboja akan
mengangkat dubes untuk Indonesia berkedudukan di Bangkok. Kalau
itu terjadi, maka negeri tertutup yang mulai menguakkan pintunya
ke luar itu akan memiliki tiga kedubes: di Peking, Vientianne
dan yang berdomisili di Bangkok nanti. Kabarnya di Phnompenh
sendiri kini baru ada kurang dari 10 perwakilan asing, baik
bertingkat kedubes maupun belum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo