Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepuluh tahun lebih tinggal di Inggris, Benny Wenda beroleh simpati pejabat Kota Oxford, sekitar satu jam ke arah barat dari London. Laki-laki asal Lembah Baliem, Papua Barat, itu diizinkan membuka kantor Organisasi Papua Merdeka di sana. Pada 26 April 2013, organisasi ini resmi punya kantor pertama di dunia, yang menyatu dengan rumah Benny di Marston Road.
Peresmian kantor itu dihadiri Wali Kota Oxford Mohammad Niaz Abbasi. Hadir juga bekas wali kota Elise Benjamin dan anggota parlemen Inggris, Andrew Smith. Situs berita Oxford Mail melaporkan, pada saat peresmian, Benny memakai pakaian adat Papua. Sembari tersenyum, keempatnya berfoto memegang bendera Bintang Kejora, simbol Organisasi Papua Merdeka, dikerumuni warga kota.
Menurut Ketua Parlemen Nasional Papua Barat Buchtar Tabuni, pendirian kantor OPM di Inggris digagas sejak 2004. Benny, yang menerima suaka politik dari Inggris, giat berkampanye ke kampus-kampus, komunitas masyarakat, lembaga pemerintah, dan parlemen di negara itu. "Kami menyiapkan bahan dari sini untuk disuarakan Benny Wenda di luar negeri," kata Buchtar, Rabu pekan lalu.
Esther Cann dari Tapol Inggris, organisasi yang mengadvokasi tahanan politik di berbagai negara, mengatakan hampir seluruh proses dan biaya pendirian kantor OPM di Oxford dibantu Free West Papua Campaign. Organisasi relawan itu memiliki kantor permanen di Oxford dan Port Moresby, Papua Nugini.
Menurut Buchtar, gagasan pendirian kantor di Oxford dimulai ketika Benny terpilih menjadi koordinator diplomasi internasional soal Papua dalam konferensi parlemen nasional Papua Barat di Jayapura pada 5 April 2012. Konferensi yang dihadiri anggota 22 parlemen daerah OPM itu diumumkan di Lapangan Sentani empat hari kemudian.
Setelah itu, Benny mengadakan pertemuan dengan masyarakat sipil yang tergabung dalam International Parliamentarians West Papua di Westminster Abbey, membahas status Papua Barat, pada 23 Oktober 2012. Pertemuan juga membicarakan Act of Free Choice 1969, Perjanjian New York 1962, dan hak penentuan nasib sendiri bagi Papua.
Pertemuan International Parliamentarians West Papua dihadiri pemimpin diplomasi internasional untuk kemerdekaan Papua Barat, di antaranya Caroline Lucas, pemimpin Partai Hijau dari Brighton Pavilion. Hadir pula Andrew Smith dari Partai Buruh, sejumlah pemimpin tahanan politik Down to Earth, Jaringan Pertambangan London, serta pengacara dari Oxford University.
Gerak Benny semakin lincah mengkampanyekan kemerdekaan Papua ke berbagai negara lewat forum diskusi dan seminar setelah Interpol mencabut namanya dari daftar red notice, permintaan penangkapan dengan tuduhan tindak pidana kriminal, pada 2012. Interpol tak menemukan bukti tindak kejahatan Benny seperti yang dilaporkan pemerintah Indonesia. "Saya sangat optimistis cita-cita OPM bisa tercapai," kata Benny, seperti dikutip Oxford Mail edisi 29 April lalu. Benny juga berencana membuka kantor di tiga negara Amerika Selatan dan Asia-Pasifik.
Mantan Menteri Luar Negeri OPM Nick Messet menganggap pembukaan kantor Oxford tak berarti apa-apa. "Saya berjuang 40 tahun untuk Papua," ujarnya kepada Tempo pekan lalu. "Tapi tanah ini tak berubah. Perjuangan saya sia-sia."
Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Resolusi 1752 pada 15 Agustus 1962 dan Resolusi 2504 pada 19 Agustus 1969 menganggap Papua bagian dari Indonesia. Karena itu, pemerintah Indonesia memprotes pemerintah Inggris atas pembukaan kantor OPM di Oxford. Duta Besar Inggris di Jakarta, Mark Canning, buru-buru menegaskan dukungan terhadap pemerintah Indonesia.
Maria Rita Hasugian (Jakarta), Jerry Omona (Jayapura)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo