Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HERMAN Rante, 38 tahun, akhirnya gugur sebagai pahlawan setelah
lima hari berjuang melawan maut di Rumah Sakit Bhumipol Bangkok.
Kapten Pilot DC-9 Woyla yang dibajak pekan lalu itu meninggal
dunia hari Minggu pagi lalu. Ia tak pernah sadar selama dirawat
di rumah sakit. Peluru salah seorang pembajak yang bersarang di
otaknya telah menewaskan dia. Dengan suatu upacara militer Senin
siang lalu jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata.
Herman merupakan korban kedua. Korban pertama, Leman Satu
(Anumerta) Achmad Kirang, 40 tahun, dimakamkan di TMP Kalibata
Rabu pekan lalu. Anggota pasukan khusus anti teroris ini juga
gugur karena tembakan pembajak dalam operasi pembebasan pesawat
Garuda beserta penumpangnya di Lapangan T'erbang Don Muang
Selasa pagi pekan lalu.
Seorang warga negara Amerika Serikat, Schneider, yang luka
akibat tembakan pistol pembajak tatkala mencoba melarikan diri,
dilaporkan telah membaik dan kini telah pindah di Singapura
untuk perawatan lebih lanjut.
Ko-pilot Hendhy Juwantoro yang semula diperkirakan luka ditembak
pembajak, berdasar laporan penumpang berkebangsaan Inggris
Wainwright yang berhasil melarikan diri, ternyata sehat
wal'afiat. Beberapa penumpang memang lecet-lecet tatkala lari
keluar pesawat setelah pasukan komando Indonesia menyerbu.
Seorang penumpang, St. B. Sianturi, lecet telinganya tersenggol
peluru.
Hingga bisa disimpulkan: operasi pembebasan pesawat Garuda yang
dibajak itu sangat berhasil. Dua tujuan pokok operasi tersebut
tercapai: tidak menyerah pada tuntutan teroris dan sekaligus
menyelamatkan jiwa penumpang. Disambut kembali di Jakarta
sebagai pahlawan pembebas, satuan Kopassandha yang bahkan telah
menaikkan nama Indonesia di dunia itu mendapat penghargaan:
masing-masing sebuah Bintang Sakti dan kenaikan pangkat satu
tingkat. Komandannya, Sintong Panjaitan, 38 tahun, lulusan
AKABRI 1961 -- kini Kolonel dan jadi buah bibir yang dikagumi.
Jalannya operasi pembebasan itu telah banyak dilaporkan. Namun
bagaimana penyusunan siasat melawan usaha pembajakan tersebut?
Sabtu siang 28 Maret itu seorang perwira menengah ABRI datang
membawa berita kawat dari Jakarta pada Asisten Intelijen Hankam
Letjen Benny Moerdani yang kebetulan sedang makan siang bersama
Menhankam Jenderal Jusuf. Waktu itu mereka ada di Ambon
menghadiri Rapim ABRI 1981. Isi berita: pesawat DC-9 Garuda
dibajak.
Menhankam kemudian memberikan mandat penuh pada Beny untuk
menyelesaikan masalah itu. Sebelum berangkat meninggalkan Rapim,
beberapa perwira menyalami Benny. Seorang jenderal yang dikenal
"tidak keras" secara emosional berpesan pada Benny agar jangan
sekali-kali melakukan kompromi dengan pembajak, sekalipun
keluarganya misalnya, ada di pesawat tersebut.
Dalam perjalanan ke Jakarta, kabarnya Letjen Benny sudah minta
agar pihak Garuda menyiapkan sebuah pesawat DC-10 dan juga agar
dua pesawat DC-9 disiagakan.
Sabtu siang itu juga berita pembajakan tersebut dilaporkan
Dirjen Perhubungan Udara Sugiri pada Presiden. Presiden
menggariskan kebijaksanaan pemerintah Indonesia tak akan
menyerah pada tuntutan pembajak atau teroris, namun sedapat
mungkin jiwa para penumpang juga diselamatkan. Bersama Sugiri,
Kepala Bakin Letjen Yoga Sugama malam itu juga berangkat ke
Bangkok. Menurut laporan Dubes RI di Thailand Hasnan Habib, para
pembajak mula-mula menuntut dibebaskannya 20 orang tahanan,
terutama yang terlibat Peristiwa Cicendo.
"Pesawat yang dibajak itu mendarat di Don Muang pukul 17.11,"
cerita Hasnan Habib. Semula para pembajak yang diwakili
Machrizal berunding dengan Kepala Perwakilan Garuda di Bangkok,
Suparno, tentang masalah pendaratan, bahan bakar dan kebutuhan
lainnya. Baru setelah berbicara dengan Hasnan Habib mereka
mengajukan 4 tuntutan. "Jadi tuntutan mereka berkembang, setelah
melihat situasi," kata Hasnan. (TEMPO, 4 April).
Misalnya mereka meminta untuk berbicara dengan Dubes Srilangka
di Bangkok karena para pembajak itu bersikeras untuk terus
terbang ke Kolombo.
Di Jakarta sementara itu operasi untuk membebaskan sandera
segera dimulai. Sabtu malam itu, seusai bertemu Presiden di
Cendana, Letjen Benny mengeluarkan beberapa perintah. Pasukan
Khusus Anti Teroris yang telah 3 tahun disiapkan dan terdiri
dari pasukan Kopassandha, malam itu juga langsung berlatih di
Lapangan Terbang Halim Perdanakusuma. Mereka rnemakai pesawat
DC-9, tangga serta peralatan lain yang sama yang kemudian
betul-betul dipakai dalam operasi pembebasan nantinya.
Kelompok Kecil
Kontak pun dibuka dengan pimpinan intelijen Bangkok. Perdana
Menteri Prem semula agak berkeberatan kalau pasukan Indonesia
dikirim ke Don Muang. Tapi setelah dilakukan negosiasi, baik
langsung dari Jakarta maupun melalui Yoga dan Hasnan Habib di
Bangkok, akhirnya mereka menyetujui juga. Kabarnya beberapa
perwakilan asing yang warganya turut disandera seperti AS dan
Inggris menyetujui gagasan untuk tidak berkompromi dengan
pembajak.
Namun setelah Benny beserta pasukan komando Indonesia sampai di
Bangkok, pemerintah Prem belum bisa menyetujui kalau pihak
Indonesia yang melakukan aksi penyerbuan itu. Lewat Menlu Siddhi
Savetsila, Benny akhirnya bisa meyakinkan Prem: pihak Indonesia
setuju pasukan komando Thailand yang melakukan operasi tersebut.
Namun pemerintah Indonesia tidak menginginkan kalau di belakang
hari nanti timbul anggapan seolah-olah tentara Thailand telah
membunuh sekelompok Muslim Indonesia yang fanatik.
Dikemukakan juga lebih mudah bagi pasukan Indonesia untuk
melakukan operasi itu mengingat hampir seluruh penumpang serta
pembajak berwarganegara Indonesia. Hingga tidak ada masalah
bahasa kalau dilakukan operasi pembebasan.
Perdana Menteri Prem agaknya bisa menerima semua alasan pihak
Indonesia tadi. Maka pasukan komando Thailand lun diperbantukan
sebagai pasukan pengepung.
Sabtu itu juga, beberapa jam setelah embajakan, identitas para
pembajak sudah diketahui. Pihak keamanan di Palembang segera
menyelidiki siapa yang secara berombongan membeli tiket pesawat.
Kebetulan seorang bernama Masri nomer tiketnya berurutan dengan
kelima pembajak hingga nasibnya naas: dia turut dicurigai. Itu
sebabnya dalam pengumuman resmi pertama yang dikeluarkan
pemerintah disebutkan jumlah pembajak enam orang.
Identitas para pembajak yang lebih jelas kemudian diperoleh
setelah nenek llulda Panjaitan yang dibebaskan di Penang
diwawancarai, pihak keamanan. Persenjataan para pembajak bisa
dipastikan setelah Wainwright berhasil melarikan diri.
serdasar semua informasi yang diperoleh ini kemudian rencana
penyerbuan disusun dan dilaksanakan. Hasilnya kini telah menjadi
sejarah. Sukses Operasi Don Muang ini kabarnya juga telah
mengarlgkat tinggi penilaian para perwira senior ABRI pada
kemampuan para perwira generasi muda.
Yang masih menjadi tanda tanya besar: di mana Imran sekarang?
Tokoh yang dianggap Imam oleh kelompoknya ini menurut suatu
sumber TEMPO kini bersembunyi atau "disembunyikan" di suatu
tempat. Pihak keamanan kabarnya selalu menguntit gerakan
kelompok ini.
Sekalipun mereka telah melakukan beberapa kegiatan yang ekstrim,
pihak yang berwajib rupanya tidak terlalu khawatir mereka kelak
akan bisa mencetuskan suatu revolusi di Indonesia. "Kelompok
kecil itu tak akan mendapat pasaran. Selain tak sesuai dengan
ajaran Islam, kegiatan mereka juga tak cocok dengan pembawaan
orang Indonesia umumnya yang kurang menyukai kekerasan. Yang
perlu dikhawatirkan hanya aksi teror mereka," kata seorang
pejabat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo