DI suatu malam yang kelam, Katimbun (35 tahun), seorang petugas
kantor desa menyusuri lorong-lorong sambil menabuh canang.
Setiap 30 sampai 40 langkah suara canang itu hilang. Dan
terdengarlah suara Katimbun berteriak ke arah rumah-rumah di
sekitarnya: Seluruh penduduk desa diminta hadir di sopo godang
besok malam, selepas sembahyang isya -- ada hal penting yang
akan dibicarakan. Katimbun kembali berjalan sambil menabuh
canang sampai seluruh bagian desa dikitarinya.
Dan besok malamnya semua warga Desa Portibi Julu (Kecamatan
Padang Bolak, Tapanuli Selatan) berkumpul di sopo godang, yaitu
balai desa. Para hadirin sadar di mana masing-masing harus
mengambil tempat duduk. Di tempat yang lebih tinggi letaknya
duduklah raja huta (kepala desa) didampingi para kahangi
(saudara seketurunannya) dan di sisi lain terlihat para mora
(kelompok mertua -- marga isteri -- dari dua kelompok
terdahulu). Sedangkan pada lantai yang lebih rendah, disediakan
khusus untuk para anak boru dan orang kebanyakan. "Kebiasaan
seperti ini sudah turun temurun yang dikenal dari Lembaga Adat
Dalihan Na Tolu," tutur Ridwan Harahap seorang warga Portibi
Julu.
Satu-Satu Ditanyai
Dalihan Na Tolu sebagai pedoman dasar kehidupan memang masih
banyak memberi warna pada roda pemerintahan desa di sini.
Apalagi karena para tokohnya tetap dianggap sebagai pemimpin tak
resmi yang selalu dihormati. Oleh sebab itu mudah difahami bila
seorang kepala desa di Tapanuli Selatan tetap ditunjuk atau
dipilih dari marga yang dikenal sebagai pemula desa itu, yang
disebut raja. Seorang raja huta selalu didukung oleh para tokoh
Dalihan Na Tolu dan karena itu kedudukannya cukup kuat.
Memang sudah beberapa kali terjadi seorang kepala desa yang
diangkat karena ditunjuk camat -- tidak dari golongan raja.
Akibatnya berbagai cara ia dijatuhkan warga desa, misalnya
melalui ratusan protes dengan berbagai alasan pula. Kepala Desa
Tanjung, 120 km dari Padang Sidempuan (Kecamatan Barumun Tengah)
misalnya. Ia bukan penduduk asli desa itu, tapi diangkat camat
setempat. Segala pihak telah mengajukan protes kepada Camat
Barumun Tengah agar kepala desa itu diberhentikan dan diganti
oleh salah seorang penduduk asli desa itu.
Meskipun seorang kepala desa harus terdiri dari keluarga raja
(pendiri desa), tapi pengangkatannya tetap berdasarkan
pemilihan. Ini ketetuan Dalihan Na Tolu. Tongku Salam (56
tahun), Raja Huta Portibi Julu, menuturkan bahwa sebelum ia
diangkat sebagai kepala desa 1968, penduduk dikumpulkan.
Satu-satu ditanyai siapa calon yang dipilihnya dan dicatat.
"Siapa yang mendapat pendukung paling banyak, dialah pemenang,"
ungkap Tongku Salam. Tapi semenjak itu tak pernah lagi terjadi
pemilihan raja huta di desa ini dan karenanya sampai sekarang
Tongku Salam masih tetap pada jabatannya.
Di Desa Baringin, Kecamatan Sipirok, pemilihan kepala desa yang
terakhir pada 1970. Caranya: 2 orang calon dari keluarga raja
ditampilkan. Penduduk diundang ke lapangan di tempat mana kedua
calon tadi telah duduk di kursi yang telah ditentukan. Panitia
pemilihan mengumumkan, siapa yang memilih calon A harap berdiri
di belakang kursi calon itu dan siapa yang berpihak ke calon B
agar berdiri di belakangnya. Warga desa pun menentukan
pilihannya. Panitia tinggal menghitung berapa banyak pendukung
di belakang masing-masing calon itu.
Demokratiskah sistem pemilihan kepala desa di Tapanuli Selatan
ini? Menurut Tongku Guru Siregar (81 tahun), seorang tokoh Desa
Gunung Tua (Kecamatan Padang Bolak), "praktek pemilihannya
memang demokratis, tapi sayang masih berbau feodal." Maksudnya
karena para calon tetap harus terdiri dari keturunan raja di
desa itu. "Kesimpulannya, tidak demokratis murni," tambah Guru
Siregar, "sebab dalam musyawarah desa misalnya, yang didengar
pendapatnya hanya para pengetua adat dan keluarga raja, orang
kebanyakan hanya mengaminkan saja."
Berbagai gagasan memang pernah dilontarkan agar sistem pemilihan
kepala desa di daerah ini lebih demokratis. Misalnya beberapa
tahun lampau ada yang mengusulkan agar Parpol dan Golkar diberi
peranan juga dalam roda pemerintahan sehari-hari. "Tapi
herannya," kata Guru Siregar, "baik Belanda dulu maupun
pemerintah sekarang sama-sama tak suka pada partai di pedesaan."
Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan tahun lalu memang pernah
menelorkan ketentuan penggabungan desa-desa di daerah ini. Yaitu
dari 1609 desa menjadi 242 desa saja. Sehingga peranan kaum
ningrat pedesaan akan berkurang dan rasa persatuan dari berbagai
marga akan lebih menonjol. Lebih-lebih lagi karena penggabungan
itu akan lebih memudahkan komunikasi antara camat dengan para
kepala desa. Tapi sayang ketentuan itu sampai sekarang belum
mendapat pengesahan dari Menteri Dalam Negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini