Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Melesatnya elektabilitas pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi sebagai calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat tak lepas dari mesin partai yang bergerak sepenuhnya mendukung mereka. Menurut Analis Indonesia Strategic Institute (Instrat) Sidrotul Naim Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi terdongkrak suaranya oleh mesin partai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Faktor Partai Golkar dan Partai Demokrat, tidak bisa kita lupakan. Bagaimanapun Dedi Mulyadi ketua DPD Golkar Jawa Barat, artinya dia bisa menggerakan (mesin partai), Demiz juga sudah dikenal sangat lama di publik, 40 tahun lebih dia berkarya,” kata Sidotul di Bandung, Rabu 9 Mei 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurut Sidotul Naim, pemilihan gubernur Jawa Barat unik karena mesin partai ada yang menentukan dan ada yang tidak untuk menaikkan elektabilitas calonnya.
Dalam survei yang digelar Instrat untuk pemilihan gubernur pada 3-8 Mei 2018 mencatat elektabilitas Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi berada di posisi teratas dengan 40,5 persen suara.
Disusul Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum (Partai Nasdem, PPP, PKB, dan Hanura) 29 persen, Sudrajat-Ahmad Syaikhu (Partai Gerindra, PKS< dan PAN) 7,7 persen, serta Tb Hasanuddin-Anton Charliyan (PDIP) 4,7 persen.
Sidrotul membandingkan dengan elektabilitas partai politik pada survei tersebut. Jika pemilu legislatif digelar har ini ada 5 partai politik yang meraih suara terbesar yakni PDIP 19,2 persen, Golkar 18,2 persen; Partai Gerindra 15,4 persen; serta PKS 5,6 persen.
Sisanya PKB 3,7 persen, Partai Demokrat 3,2 persen, Partai Nasdem 2,8 persen, PPP 2,8 persen, Perindo 2,1 persen, Partai Garuda 1,3 persen, PAN 1,1 persen, Partai Berkarya 1,1 persen, Hanura 0,6 persen, PSI 0,4 persen, PBB dan PKPI masing-masing 0 persen. Pemilih yang belum menentukan pilihan partai politiknya sebesar 21,5 persen, dan golput 1,1 persen.
Sidrotul mengatakan, survei elektabilitas PDIP terbesar dibandingkan partai politik lainnya, tapi tidak terlihat tidak signifikan pada elektabilitas kandidat yang diusungnya. “PDIP ketika pertanyaannya tentang pemilu legislatif, masih tetap tinggi, 19 persen. Butuh penjelasan mengapa tidak ada loyalitas, karena suara ke kandidat masih di bawah 5 persen,” kata dia.
Begtu juga dengan Partai Gerindra, PKS, dan PAN yang mengusung Sudrajat-Ahmad Syaikhu. Sidrotul mengatakan, kombinasi Partai Gerindra-PKS misalnya hasil elektabilitas hasil survei dan data pemilu 2014 angkanya tidak berubah di kisaran 21 persen. Di survei Instrat, PKS elektabilitasnya turun, sementara Partai Gerindra naik jika dibandingkan dengan hasil pemilu legislatif 2014. “Ketika angka 21 persen itu menjadi kandidat, hasilnya (elektabilitas Sudrajat-Syaikhu) hanya 7,7 persen,” kata dia.
Sementara pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum satu-satunya pasangan dengan elektabilitas kandidatnya di atas perolehan suara gabungan partai politik pendukungnya.
Sidrotul mengatakan, pilihan gubernur untuk kader partai di Jawa Barat kemungkinan dipengaruhi preferensi pribadi masing-masing pemilih. “Ada sesuatu sehingga pemilih tidak punya loyalitas, artinya dia tetap loyal ke partai, tapi tidak memilih atau tidak mendukung orang yang didukung partai. Ini fenomena menarik untuk Jabar,” kata dia.
Sidrotul mengatakan, survei yang dilakukan hanya bisa melihat tren saja. “Orang memilih itu personal. Yang bisa kita lihat trennya, yang bisa dikatakan fenomena secara keseluruhan,” kata dia.
Survei Instrat juga mendapati pemilih pemula tidak otomatis memilih pasangan gubernur yang usianya muda. “Pemilih pemula berdasarkan data, sebarannya merata. Kemarin kita berpikir kalau pemilih muda akan lebih memilih yang muda juga, artinya pada Kang Emil dan Uu, tapi data tidak menunjukkan seperti itu,” kata Sidrotul.