Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ganjalan Pasal Sebelas

Aceh punya undang-undang pemerintahan baru. Masih ada protes dan mogok massal.

17 Juli 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DISIRAM gemerlap lampu di Anjong Mon Mata, Pendapa Gubernuran di Banda Aceh, acara itu menggelinding lurus, Kamis pekan lalu. Para pejabat dan tokoh politik Tanah Rencong tampak hadir. Hari itu, utusan Dewan Perwakilan Rakyat menyerahkan teks resmi Undang-Undang Pemerintahan Aceh secara simbolis kepada mereka.

Disahkan parlemen dua hari sebelum-nya di Jakarta, undang-undang itu melewati jalan berliku. Di tengah panasnya silang pendapat antara Aceh dan Ja-karta, parlemen akhirnya mematang-kan 278 pasal dari 40 bab. ”Ini h-asil maksimal yang kami mampu,” ujar Fer-ry Mursyidan Baldan, Ketua Panitia Khu-sus Rancangan Undang-Undang itu, saat memberi kata sambutan.

Acara penyerahan itu berjalan lancar, tapi sayangnya tak bulat. Meski sudah diundang, wakil Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tak tampak hadir di Anjong Mon Mata. ”Kami menahan diri untuk tak datang,” ujar Munawar Liza, juru bicara gerakan itu.

GAM menilai undang-undang itu belum sepenuhnya sejalan dengan kese-pakatan damai di Helsinki, Agustus si-lam. ”Kami masih mempelajari deta-ilnya,” ujar Liza. Kritik mereka atas p-roses undang-undang itu sudah di-lan-carkan berkali-kali. Mereka ce-mas ka-lau produk itu bakal membokong p-er-janjian Helsinki.

Kajian lebih mendetail memang belum dilakukan. Faisal Putra, pejabat GAM yang menjadi konsultan hukum bagi gerakan ini, mengatakan bahwa peme-rintah belum memberikan naskah resmi undang-undang itu kepada GAM. Dari teks yang beredar, dia melihat sejumlah pasal bisa berbuntut cekcok. Misalkan Pasal 11 ayat 1 tentang standar atau norma dan prosedur yang ditetapkan secara nasional. Pada ayat berikutnya memang disebutkan pemerintah tak akan mengurangi kewenangan pemerintahan Aceh, tapi dalam praktek akan ada kendala. Misalnya, pasal itu bisa menghambat kreativitas daerah menarik investor. ”Pada ujungnya, pasti harus ada izin dari departemen tertentu,” ujar Faisal.

Soal pembagian isi perut bumi juga jadi sorotan. Bagi GAM, aturan pengelolaan migas tak seturut MoU Helsinki. Bahkan perkara minyak dan gas se-betulnya soal ekonomi. ”Jadi, tak masuk enam butir wewenang pemerintah pusat,” kata Faisal. Undang-undang itu mengatur otoritas Jakarta hanya meng-atur enam hal: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, fiskal nasional, plus urusan tertentu da-lam bidang agama.

Karena punya bibit keributan, undang-undang itu pun dibahas di Aceh Monitoring Mission (AMM). Sesuai de-ngan MoU, misi pemantau itu berkewa-jiban mengawal proses pembentukan Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Pada rapat Komisi Pengaturan Keamanan (COSA) yang digelar di Banda Aceh, Rabu pekan lalu, soal ini menjadi hangat. Pemerintah Indonesia diwa-kili Menteri Komunikasi dan Informasi Sof-yan Djalil, Perwakilan RI di AMM Mayjen TNI Bambang Darmono, dan Pangdam Iskandar Muda Mayjen TNI Supiadin .

Dari kubu GAM hadir M. Nur D-juli, Bakhtiar Abdullah, Mukhsalmina, dan Irwandi Yusuf. Ketua AMM Pie-ter Feith menjadi penengah pertemuan itu. Sof-yan Djalil sepakat kalau undang-undang itu dipelajari kembali oleh GAM dan AMM. Menurut dia, Aceh kini mendapat r-uang gerak lebih besar. Bahkan Qanun (peraturan daerah) le-bih berperan ka-rena jumlahnya mencapai 94. ”Peraturan pe-merintah hanya dua, tiga lainnya adalah keputusan pre-si-den,” ujar Djalil.

Bukan cuma GAM yang protes. Saat undang-undang itu disahkan, mogok mas-sal damai sempat terjadi. Sentral Informasi dan Referendum Aceh (SIRA) menyerukan warga Aceh menghentikan aktivitas setengah hari di seluruh Aceh. ”Kami ingin agar Jakarta mengerti jika undang-undang itu tak aspiratif,” ujar Taufik Abda, koordinator mogok massal itu.

Meski tak semua kota ikut mogok, sejumlah warga di Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Bireuen sempat menghentikan kegiatan mereka. Terminal bus le-ngang, begitu juga kedai di pasar ke-camatan tutup setengah hari. Merasa sudah men-cukupi target, panitia mogok itu pun bubar. ”Kami akan terus berjuang dengan cara yang damai,” ujar Taufik.

Sebetulnya, tak semua bagian dari un-dang-undang itu buruk. Menurut Nur Djuli, mereka hanya membahas bagian yang sulit diterima. Keputusan menolak pun akan diambil kalau ada butir yang sungguh melanggar MoU Helsinki. Kalau ada perselisihan soal undang-undang ini, maka akan dibawa ke AMM.

AMM sendiri belum ambil sikap apa pun atas soal ini, tapi Feith menangkap kesan awal, ”Secara prinsipil, undang-undang itu sesuai nota kesepakatan.” Misi Pemantau Aceh itu juga menghargai kerja keras DPR. Tapi, sikap persisnya masing-masing pihak akan diputuskan pada pertemuan mereka selanjutnya.

Nezar Patria, Adi Warsidi (Banda Aceh)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus