Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Gejolak tanah dan imbas keterbukaan

Banyak masyarakat mengadukan nasib tanahnya. ada yang mengatakan, ini imbas dari iklim keterbukaan dan meningkatnya kesadaran akan haknya. contoh kasus yang ramai adalah protes doso, cimacan dan majalengka.

16 Maret 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI-HARI belakangan ini, pelataran gedung DPR sering kedatangan tamu berombongan. Beberapa kelompok dengan mudah sampai di gedung para wakil rakyat itu, dengan kendaraan carteran. Tapi ada juga yang berangkat dari kampungnya, sendiri-sendiri, menghindari petugas yang siap menghalangi keberangkatan mereka ke Jakarta. Satu saja tujuan mereka: mengadukan nasib tanahnya. Kamis dan Jumat pekan lalu, misalnya. Ada rombongan dari Cimacan dan Majalengka, Jawa Barat, yang meminta perhatian anggota dewan tentang nasib tanah garapannya. Bahkan sebelumnya, ada juga warga dari Buleleng, Bali, mengadukan soal yang sama. Boleh jadi semangat "mengadu" ini terimbas karena iklim keterbukaan. Seperti kata Kepala Badan Pertanahan Nasional Soni Harsono. "Ini memang menunjukkan kemajuan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan haknya," katanya. Mungkin, itu pula sebabnya ada yang mencium peluang -- entah bisnis, entah politis -- di balik persoalan tanah ini dengan membuat kalender. Di Salatiga, Jawa Tengah, Senin pekan lalu, aparat kepolisian setempat menyita almanak tahun 1991, yang diberi judul "Tanah untuk Rakyat". Kalender itu dinilai punya tendensi politis yang cenderung menyinggung perasaan pejabat serta kewibawaan negara, kata Wakapolres Salatiga Mayor (Polisi) Ondang Sutarsa. Ilustrasi yang ada dalam kalender itu berkisar apa lagi kalau bukan soal tanah dalam bentuk gambar karikatural. Antara lain melukiskan berbagai aksi protes warga karena soal tanah di Kedungombo, Cimacan, Majalengka, dan sebagainya. Kalender yang dijual Rp 1.500 itu lumayan laris. Pangdam IV Diponegoro Mayjen. R. Hariyoto P.S. menilai, tak tertutup kemungkinan kalender itu bertendensi politik. "Tapi saya tak berani menyimpulkannya. Kalau masalah ini terus ke pengadilan, biarkan pengadilan saja yang memutuskannya," tegasnya. Tapi Ketua Komisi II DPR R.K. Sembiring Meliala, dari fraksi ABRI, punya pendapat lain. "Aparat yang menangani soal tanah belum banyak. Sedangkan kualitasnya juga belum bisa berpacu dengan kebutuhan pembangunan." Ia juga menilai, berlarut-larutnya soal ini karena sejak dulu beleid pertanahan belum dipikirkan secara konsepsional dan strategis. "Penyelesaian yang ada selama ini hanyalah kasus per kasus," keluhnya. Entah mana yang benar. Yang jelas, gelombang warga yang mengadukan nasib tanahnya tampak semakin besar. Berikut ini beberapa contoh kasus yang cukup ramai. Protes Doso SIAPA bisa menyangsikan Doso, 57 tahun, sebagai pemilik sepenggal tanah di Kedungombo? Orang sedesanya tahu, laki-laki ber- wajah renta ini secara turun-temurun telah menjadi warga Dusun Mlangi, Kecamatan Kemusu, Boyolali, Jawa Tengah, di wilayah hilir Kedungombo. Sertifikat tanah memang belum pernah ia miliki, tapi secarik girik yang dikeluarkan lurah telah mengukuhkan kepemilikannya. Kini tanah, rumah, dan pekarangan miliknya telah tenggelam di dasar waduk. Doso pun menerima ganti rugi, Rp 360 per m2 untuk tanah pertanian dan Rp 750 per m2 untuk pekarangan. Tapi ia masih belum rela. Alasannya, nilai ganti rugi yang diterimanya sekitar tiga tahun lalu itu ditetapkan tanpa musyawarah. "Kami dipaksa cap jempol," ujarnya. Doso pun protes. Ia menolak pergi. Di awal penggenangan, 1.500 keluarga (6.000-an jiwa) bertahan tinggal di areal waduk -- antara lain di Dusun Mlangi, Tremes, Kedungiyu, Kedungpring, Guyuban, yang berada di kawasan Kedungombo hilir, Kecamatan Kemusu. Ketika air menggapai, mereka bergeser ke tempat yang lebih tinggi. Perlawanan yang gigih itu membuat Gubernur Ismail tak berdaya. Pemda Ja-Teng kemudian membuka lahan bekas Perhutani, tak jauh dari genangan, untuk mereka. Semua boleh mengambil tanah pekarangan 500 m2 sampai 1.000 m2, ditambah beberapa ratus meter persegi untuk berkebun. Pemda menentukan harga Rp 2.000/m2 -- boleh dicicil selama lima tahun. Maka, lahirlah dua dusun baru di hulu Kedungombo, Kedungmulyo dan Kedungrejo namanya. Ada SD dan tempat ibadah hadiah Pemda. Penghuninya bertani dan beternak ikan -- memanfaatkan air waduk. Penghasilan mereka Rp 3 ribu sampai Rp 5 ribu, sehari. Namun, hampir 600 keluarga (2.000-an jiwa) masih tetap menolak. Alasannya, tanah Perhutani itu tak bisa dimiliki secara permanen. Lagi pula, "Kami tidak mampu kalau harus membeli," kata Doso. Uang hasil ganti rugi telah jauh-jauh hari ludas. Doso kini menempati gubuk kecil di bibir waduk, di daerah sabuk hijau, yang mestinya hanya boleh untuk tanaman keras. "Biarlah saya tinggal di sini, bersama ayam dan kambing saya," ujarnya lirih. Sementara itu, di Kedungpring 40-an anak usia sekolah harus berhenti belajar. Kelompok belajar bikinan budayawan Yogya Romo Mangun telah dibekukan oleh Camat Kemusu. Para orangtua murid protes dengan cara tak mengizinkan anaknya sekolah di tempat lain. Perlawanan orang-orang Kedungombo hulu belakangan ini menular pada bekas penduduk Kedungombo hilir. Sebagian besar, mereka telah menerima uang ganti rugi dan sekarang bermukim di Kecamatan Sumberlawang dan Miri, Kabupaten Sragen. Mereka mengorganisasikan diri, dan telah tiga kali unjuk rasa di Gedung DPR RI Senayan dalam setahun ini. Tuntutan mereka: nilai ganti rugi harus ditinjau kembali. Perlawanan pasif gaya Kedungombo mengundang rasa simpati dan dukungan terutama dari kalangan mahasiswa Yogya, Surakarta, Semarang, dan Salatiga. Ini melahirkan intimidasi, paksaan cap jempol, dan "teror ET" (eks tapol) pada KTP penduduk yang dianggap bandel. Kedungombo sendiri sebetulnya sebuah proyek mulia, kendatipun harus menenggelamkan 60 km2 (6.000 ha) tanah pedesaan dan menggusur 5.400-an kk yang bermukim di atasnya. Proyek ini dimak- sudkan untuk mengendalikan Sungai Serang, yang biasa uring-uringan, mendatangkan banjir di daerah hilir. Maka, sungai itu dibendung. Airnya untuk memutar turbin listrik yang berkapasitas 22,5 MW, sebelum dialirkan ke jaringan irigasi yang bisa mengairi persawahan seluas 10.000 ha. Tapi apa daya, Doso dan kawan-kawannya merasa harus membayar terlalu mahal. Protes Cimacan KAMIS pagi pekan lalu, sekitar 150 warga Cimacan tiba di DPR dengan bis yang dicarter Rp 300 ribu. Tetapi, hanya 25 orang yang boleh memasuki lantai gedung DPR/MPR. Mula-mula mereka diterima oleh Fraksi Karya Pembangunan (FKP), dan setelah itu, mengadu ke Komisi II DPR. Mereka didampingi Rambun Cahyo dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung. Kedatangan mereka ke DPR kali ini masih berkaitan dengan nasib malang. "Buldoser menghancurkan tanaman kami," kata Amir, juru bicara warga Cimacan, kepada wakil-wakil rakyat. "Bawang atau brokoli yang siap dipanen dibuldoser oleh PT BAM. Ditanam lagi, dibuldoser lagi," Amir melanjutkan dengan meledak-ledak. Sepak terjang buldoser itu terjadi di atas tanah garapan seluas dua hektare. Ini adalah sebagian kecil dari 33,4 hektare tanah titisara di Kampung Rarahan, yang disewakan kepada PT Bandung Asri Mulya (BAM) yang akan membangun lapangan golf dan tempat rekreasi. Konflik antara petani dan PT BAM pecah pada 1987. Bermula ketika Kepala Desa Cimacan, waktu itu, R. Arifin, menyewakan seluruh tanah titisara kepada PT BAM senilai Rp 90 juta selama 30 tahun. Padahal, penduduk telah menggarapnya secara turun-temurun sejak 1940 dan setiap tahun diwajibkan membayar sewa Rp 1 juta ke kas desa. Celakanya, mereka hanya sanggup menyetor separuhnya. Itu sebabnya, Kepala Desa berpaling ke PT BAM. Dan sekitar 287 keluarga dipersilakan hengkang pada 1988 dengan ganti rugi Rp 30 per meter persegi. Beberapa peristiwa susul-menyusul. Dengan nekat, warga terus menggarapnya. September 1989, mereka menyerbu areal lapangan golf yang mulai digarap, lalu unjuk rasa di pendopo Kabupaten Cianjur. Patok-patok plang nama yang dipasang PT BAM dicabuti. Maka, Oktober 1989, Pemerintah Daerah dan PT BAM menggugat penggarap dengan tuduhan menyerobot tanah. Warga pun menggugat balik. September 1990, Pengadilan Negeri Cianjur memenangkan Pemda dan PT BAM. Setelah penasihat hukum warga naik banding ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat, seluruh tanah itu dinyatakan dalam sengketa dengan status conservatoir beslag (CB) alias sita jaminan. Artinya, kedua belah pihak tidak boleh menggarapnya sebelum pengadilan mengambil keputusan. Tapi, atas dasar kemanusiaan, majelis hakim masih mengizinkan warga menggarap dua hektare tanah. "Tanah itulah yang kami garap bersama-sama," ujar Solichin, seorang warga yang diterima DPR. Dan menurut warga, sejak Januari lalu, dua buah buldoser yang disewa PT BAM beraksi. Plang-plang nama sita jaminan juga dihantam. Bahkan, tiga aliran Sungai Cikundul dan Cibeureum dibuldoser jadi satu aliran. Atas nama warga, Amir, sang juru bicara, meminta DPR mengurus persoalan mereka. "Kalau bisa, tanah garapan itu dikembalikan. Kami harus makan apa kalau tanah garapan diambil?" Ketua Komisi II DPR R.K. Sembiring Meliala, dari Fraksi ABRI, kontan gusar. "Mengapa Bapak-Bapak diam saja? Setop buldosernya, bawa sopirnya ke pinggir jalan. Suruh pulang," ujar Sembiring. Dia menganjurkan warga terus berjuang, kalau perlu, menggugat aparat pemerintah yang terlibat. Wakil-wakil rakyat juga berjanji akan ikut mencari jalan keluarnya. Dari Bandung terdengar bantahan Raden Juanda, S.H., pengacara PT BAM. "Kami tidak membuldoser tanah dua hektare yang masih menunggu keputusan hukum itu meskipun kami berhak melakukannya. Kami hanya membuldoser tanah yang di luar penetapan pengadilan," kata Juanda. Semuanya kan masih dalam status sita jaminan? Protes Majalengka JUMAT pekan lalu, sekitar 75 warga dari tujuh desa di Kecamatan Ligung, Majalengka, mendatangi gedung DPR. Mereka mengadukan nasib tanah yang dianggap sudah menjadi milik mereka. Yakni sebagian dari tanah seluas lebih seribu hektare di lingkungan Lapangan Udara Sugiri Sutani. Sejarah tanah yang dituntut oleh warga petani ini bermula ketika masa pendudukan Jepang di Indonesia, 1942. Saat itu, menurut cerita petani, banyak tanah di Desa Beber, Beusi, Buntu, Cibogor, Wanasalam, Salawana, dan Jatisura dirampas Jepang. Tentara Jepang membutuhkan tanah untuk membangun lapangan terbang, asrama, gudang, dan bungker. Ketika Jepang kalah, rakyat kembali memasuki kawasan tersebut dan menggarapnya. Masalah muncul ketika, pada tahun 1950, Komando Lapangan Udara Cibeureum, Tasikmalaya, membutuhkan tanah tersebut untuk lapangan Sugiri, di Jatiwangi, Majalengka. Akibatnya, rakyat, yang merasa punya hak atas tanah berdasarkan letter C yang mereka pegang, diusir. Tentu saja rakyat protes. Mereka menolak alasan bahwa hak rakyat atas tanah tersebut sudah tidak ada karena mereka sudah diberi ganti rugi baik oleh pemerintah Jepang maupun pihak Kementerian Dalam Negeri pada masa lalu. "Dalam keadaan terpaksa seperti itu, secara hukum tidak bisa disebut terjadi jual beli sewa-menyewa yang sah," kata seorang petani. Kedatangan mereka ke DPR ketika itu akhirnya diterima oleh Fraksi Karya Pembangunan. Tiga wakil rakyat, yakni Aboeng Koesman, Adjat Soedradjat, dan Mohammad Sapingi, yang ketiga-tig- anya berasal dari Jawa Barat meladeni mereka. Dengan bahasa Sunda campur Indonesia, Entis mewakili teman-temannya, mengadukan soal tanah 85 ha yang di-pasihkan (disuruh garap) oleh TNI AU. "Kami keberatan kalau hasil garapan kami tersebut dipajaki," kata Entis. Memang menurut ketentuan yang diputuskan oleh TNI AU, petani penggarap di lingkungan lapangan udara tersebut harus menyisihkan 15% dari hasil garapan mereka untuk AURI dan kepala desa. "Soalnya, kami juga dibebani membayar Ipeda dan PBB," kata Entis. Pengadu lain bahkan menuntut agar tanah garapan yang sekarang dimiliki AURI itu dikembalikan. "Saya tidak merasa menjual tanah tersebut dan saya punya letter C," kata kakek tersebut. Menanggapi keluhan petani Majalengka itu, Aboeng Koesman mencoba menjelaskan bahwa secara hukum tanah tersebut milik TNI AU. Ia menunjuk pada surat TNI AU yang mengatakan tanah tersebut sudah disertifikatkan oleh pihak Lanud ke Badan Pertanahan Nasional. "Nah, kalau Saudara-Saudara ingin menggugat hak tanah itu, silakan ke pengadilan," katanya, dalam bahasa Sunda. Ditambahkan lagi oleh Adjat, hak atas bekas lapangan terbang Jepang itu otomatis menjadi hak Pemerintah begitu Jepang meninggalkan Indonesia. Rustam F. Mandayun, Ivan Haris (Jakarta), dan Ahmad Taufik (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus