Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENDUKUNG Akbar Tandjung bagai burung disiram air dingin. Loyo. Pada Rapat Kerja Nasional I d
Hotel Indonesia, Jakarta, 7-10 Maret lalu, nama Habibie berkibar-kibar. Akbar cuma menguntit di urutan kedua. Lalu diikuti Jenderal Wiranto, Sri Sultan Hamengku Buwono X, dan Ginandjar Kertasasmita. Itulah klasemen sementara calon presiden dan wakil presiden dari Partai Beringin, hasil laporan 27 pengurus daerah, SOKSI, MKGR, Kosgoro, plus lima organisasi pendukungnya. Cuma, skor itu belum final. Keputusan akhir soal RI-1 dan RI-2 baru akan diketok palu di rapat pimpinan nasional mendatang.
Kemurungan para pendukung Akbar terlihat dari komentar salah satu ketua Golkar, Freddy Latumahina. "Saya sedih," katanya sambil menyayangkan ketidaktegasan jagoannya. Ia yakin, kalau saja Akbar siap, hasil akhir akan berbeda. Lepas dari itu, inilah perhelatan terpenting Golkar semenjak menjadi (dan tegas disebut) partai politik dan setelah ditinggal bos besarnya, mantan presiden Soeharto, yang lengser Mei lalu. Munculnya banyak calon presiden belum pernah dicetuskan Partai Beringin sebelumnya. Tak ada lagi penyaringan dengan pola tiga jalur: A (ABRI), B (Birokrasi), dan G (pengurus Golkar).
Pendeknya, rambu-rambu tempo dulu maunya diterombol. Namun, harapan pada Akbar untuk mendobrak tradisi lama agaknya cuma di atas kertas. Freddy dan kelompoknya pantas kecut. Sang ketua ibarat sedang berdiri di dua perahu: mau maju sendiri atau mau mendukung Habibie. Gegap gempita dukungan mereka bukan saja tak bersambut. Akhir-akhir ini Akbar malah getol memuja-muji Habibie. Dengarlah pidatonya di penutupan rakernas, "Dari seluruh kader, yang tertinggi adalah B.J. Habibie."
Sebaliknya, para pendukung Habibie amat fanatik. Seorang sumber TEMPO menyoroti model kampanye seorang pengusaha beken yang juga duduk di pimpinan pusat. "Karena sama-sama orang Sul-Sel, saya mendukung Habibie," katanya menirukan. Saking jengkelnya, ia sampai menyamakannya dengan sumpah pengikut Partai Nasional Indonesia: pejah gesang nderek (mati hidup ikut) Bung Karno?tentu saja kali ini "pokoknya Habibie". Suara miring itu ditepis pendukung Habibie. Salah seorang anggota pimpinan pusat, Priyo Budi Santoso, menyatakan kalau suara itu murni aspirasi daerah.
Namun, kelompok Akbar tak surut langkah. Wakil Sekjen Mahadi Sinambela, misalnya, masih optimistis mengais dukungan. Salah satu "sumber pendapatan" masih akan datang dari pengurus daerah yang menyembunyikan nama. Belum lagi, katanya, ada para pengurus yang belum mengusung Akbar karena, ya itu tadi, belum menyatakan kesediaannya. Dan, kalaupun rapat pimpinan mendatang menggelindingkan Habibie, kata akhir ada di fraksi Golkar di Sidang Umum MPR. Kelompok Akbar rupanya berancang-ancang mengutak-atik tata tertib MPR, sehingga pemilihan presiden tidak lagi berdasarkan suara fraksi, tapi menggunakan aturan: satu orang satu suara.
Mahadi bisa salah hitung. Soalnya, seorang sumber TEMPO di pengurus Jawa Barat justru mengendus indikasi lain. Ketua Golkar Ja-Bar, Nurhaman, ditudingnya sebagai barisan pendukung Edi sejak Musyawarah Nasional Luar Biasa Golkar tahun lalu. Meski tak jelas kebenarannya, pola serupa terjadi di Golkar Ja-Tim. Menurut sumber TEMPO di sana, pengurus daerah ini pun didominasi purnawirawan pendukung Edi. Sebelum berangkat ke Jakarta, mereka sempat menelurkan nama Try Sutrisno yang merupakan penasihat Partai Keadilan dan Persatuan, tempat Edi menjabat ketua umum.
Ada persoalan lain menyangkut "berdiri di dua perahu" itu. Kali ini soal gugatan untuk menendang salah satu ketua Golkar yang dekat dengan Habibie, Adi Sasono. Suara paling nyaring datang dari Yogyakarta dan Jawa Tengah. Beberapa "dosa politik" Adi diungkit, dari keengganannya berkampanye sampai keterkaitannya dengan Partai Daulat Rakyat. Yang menarik, manuver menggoyang pendukung Habibie itu lalu ditangkap kelompok Akbar. Mahadi, misalnya, terang-terangan menuntut Menteri Koperasi itu untuk mengundurkan diri.
Suara Akbar juga mengeras. Ia bilang bahwa di awal tahun, Adi telah meneken surat untuk tak lagi aktif sebagai koordinator wilayah karena kesibukannya di kabinet. "Tapi kalau itu alasannya, siapa yang lebih sibuk dari saya?" katanya sengit. Tudingan terdahsyat menyangkut keterlibatan Adi di "perahu" lain. Santer terdengar?meski selalu dibantah?keterkaitan antara Persatuan Daulat Rakyat yang didirikan Adi dan Partai Daulat Rakyat. Akbar bilang telah mendapat masukan soal keterkaitan kedua organisasi itu. Ia pun diberi amanat dewan pimpinan untuk mengonfirmasikannya. Kalau terbukti, Adi harus menentukan pilihannya, tetap di Golkar atau check-out. Dan ini bisa punya arti penting bagi Akbar. Tentu, jika ia berani bersikap tegas.
Karaniya Dharmasaputra, Darmawan Sepriyossa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo