Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIAP kali Irwansyah Siregar pulang dari Markas Kepolisian Daerah Bengkulu, isi dompetnya bertambah. Jumlahnya sekitar Rp 300 ribu—setara dengan pendapatan kotor dia berjualan ikan di Pasar Panorama, Kota Bengkulu. Lain waktu, uang diantarkan polisi ke rumahnya. "Sejak dioperasi, saya tak bisa mencari nafkah. Polda yang menanggung," kata Irwansyah, Jumat pekan lalu.
Pada 5 Oktober lalu, Irwansyah dioperasi di Rumah Sakit Bhayangkara Bengkulu. Dari betis kanannya, dokter mengangkat proyektil yang telah bersarang sejak 2004. Menurut polisi, anak peluru tersebut dimuntahkan pistol Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Bengkulu waktu itu, Inspektur Satu Novel Baswedan—kini berdinas di Komisi Pemberantasan Korupsi dengan pangkat komisaris polisi.
Irwansyah rutin bertemu dengan polisi sejak akhir September lalu. Polisi menyusul ke pasar dan memintanya datang ke Polda Bengkulu. Bersama Dedi Mulyadi, Irwansyah diperiksa soal penembakan di Taman Wisata Pantai Panjang pada 18 Februari 2004 malam, setelah mereka ditangkap polisi dengan tuduhan hendak mencuri sarang walet. Polisi lalu menawari Irwansyah mengangkat proyektil di kakinya.
Selepas operasi, pada 9 Oktober, Irwansyah dan keluarganya diinapkan polisi di Hotel Mentari, tak jauh dari Markas Polda. Bersama mereka, menginap pula Dedi Mulyadi dan Rizal Sinurat, juga bekas terpidana pencuri sarang walet. Hingga 13 Oktober, mereka tinggal di kamar nomor 27, 30, dan 31. Tagihan dialamatkan kepada Polda Bengkulu.
Menurut seorang sumber, hotel itu dimiliki seorang pejabat polisi. Sang pemilik pula yang memesan kamar untuk ketiga bekas tersangka tadi. Didatangi pada pekan lalu, para pegawai hotel menutup mulut rapat-rapat. Juru bicara Polda Bengkulu, Ajun Komisaris Besar Hery Wiyanto, juga menolak berkomentar. Alasannya, penyidikan kasus Novel dihentikan sementara. Wakil Kepala Kepolisian RI Komisaris Jenderal Nanan Soekarna mengaku tak mengetahui proses hukum di Bengkulu. "Itu urusan penyidik."
Berbekal pengakuan saksi, termasuk Irwansyah, Dedi, dan Rizal, polisi berupaya menangkap Novel di kantor KPK pada 5 Oktober lalu. Tindakan itu dianggap perlawanan polisi terhadap KPK, yang sedang mengusut korupsi di tubuh Polri. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun menilai tindakan polisi tidak tepat. Polisi lalu tiarap, walau diam-diam tetap berusaha menjerat Novel.
Empat hari sebelum Idul Adha, Irwansyah Siregar kembali dipanggil Polda Bengkulu. Bersama Rizal Sinurat, ia diminta lagi menceritakan kejadian 2004. Kali ini Dedi Mulyadi—dalam surat kuasa tertulis Dedi Nuryadi—tak ikut diperiksa. Polisi juga mendatangkan dua bekas tersangka pencurian sarang walet, yakni Doni Yefrizal dan M. Rusliansyah alias Ali, sebagai saksi tambahan.
Setelah menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan karena terbukti mencuri sarang walet, Doni dan Ali mengembara ke sebuah kota di Sumatera Utara. Ketika diperiksa penyidik, Rizal Sinurat mengatakan keduanya kini hidup di Medan. Seorang sumber menyebutkan Doni dan Ali sampai di terminal Bengkulu dengan bus Putra Raflesia dari Sumatera Utara pada 19 Oktober.
Keduanya lalu diinapkan di Hotel Madelin, yang juga tak jauh dari Polda Bengkulu. Didatangi pada Jumat pekan lalu, pegawai hotel enggan membuka siapa saja tamunya selama Oktober. "Ini rahasia konsumen," kata resepsionis. Namun, pada 22 Oktober, Doni dan Ali dipindahkan ke Hotel Mentari. "Mereka menginap di sana. Saya sih tidak," kata Irwansyah Siregar.
Irwansyah tak mengetahui apa saja yang ditanyakan polisi kepada Doni dan Ali. Tapi, menurut seorang polisi, keduanya disuruh membuat pengakuan yang menyudutkan Novel. Selesai dimintai keterangan, Doni dan Ali pulang ke Sumatera Utara pada 24 Oktober. Hotel Mentari kembali mengirimkan tagihan ke alamat Polda Bengkulu.
Selama di Bengkulu, menurut seorang polisi, Doni dan Ali diberi uang saku Rp 300 ribu per hari. Sebelum pulang, keduanya masing-masing menerima lagi Rp 2,5 juta. Ongkos bus pulang-pergi sudah ditanggung polisi. Untuk pemeriksaan menjelang Idul Adha, Irwansyah juga mengaku menerima uang, tapi tak sampai jutaan rupiah. "Yang lain, saya tidak tahu dapat berapa," ujarnya.
Dibayarnya saksi-saksi oleh polisi makin menguak kejanggalan kasus Novel. Semula polisi berkeras kasus 2004 itu dibuka kembali karena Irwansyah mengeluh kerap merasakan nyeri pada kaki yang bekas ditembak. Irwansyah dan Dedi Mulyadi, menurut polisi, kemudian memberikan kuasa kepada Yuliswan, kerabat Irwansyah yang berprofesi sebagai pengacara, untuk mengajukan permohonan keadilan.
Versi polisi, surat kuasa diteken Irwansyah dan Dedi pada 3 September. Adapun surat permohonan keadilan tertanggal 21 September. Belakangan, diketahui kedua surat itu bertanggal mundur. Kepada Tempo, Irwansyah mengaku meneken surat kuasa pada akhir September. Adapun kepada Komisi Kepolisian Nasional, ia mengaku baru membubuhkan tanda tangan sesaat sebelum operasi pada 5 Oktober.
Berdasarkan jejak digital, surat permohonan keadilan baru diketik pada 29 September 2012 pukul 08.45. Di properties-nya juga terlihat surat terakhir dicetak pada 3 Oktober, setelah kasus Novel "resmi" diusut pada 1 Oktober ("Saling Silang di Pantai Panjang", Tempo edisi 22-28 Oktober 2012). Yuliswan, pengacara Irwansyah, telah membantah memanipulasi surat.
Kini kejanggalan baru terdapat pada surat penghukuman disiplin untuk Novel. Menurut polisi, akibat kekerasan terhadap tersangka pencuri sarang walet pada 2004—yang menyebabkan salah seorang tersangka itu, Mulyan Johani alias Aan, meninggal—Novel menjalani sidang disiplin. Berdasarkan surat penghukuman disiplin bernomor SKPD/30/XI/2004/P3D tertanggal 26 November 2004, Novel dihukum kurungan 7 hari.
Perwira yang kini berpangkat komisaris itu merasa tak pernah menerima surat tersebut. Novel menyatakan hanya menerima surat nomor SKPD/10/VI/2004/P3D tertanggal 25 Juni 2004. Berdasarkan surat ini, Novel hanya dijatuhi hukuman teguran keras. Menurut Novel, ia tak ikut menembak para tersangka pencuri sarang walet. Untuk memperkuat argumentasinya, ia bercerita, pada saat kejadian, istrinya sedang hamil tua mengandung anak pertama mereka. "Di kalangan polisi, tabu menembak pada saat istri hamil tua," tuturnya.
Kedua surat tersebut diteken Kepala Polres Bengkulu saat itu, Ajun Komisaris Besar Elia Wasono Mastoko. Kini Elia menjabat Direktur Samapta Polda Jawa Timur dengan pangkat komisaris besar. Dihampiri ke kantornya pada Kamis pekan lalu, Elia enggan menjelaskan ihwal kedua surat itu. "Tanyakan ke Mabes Polri," katanya. Tim pembela Novel menuding surat tertanggal 26 November merupakan dokumen lancung.
Kepala Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Bengkulu Ajun Komisaris Besar Hendrik Marpaung mengatakan baik surat 25 Juni maupun surat 26 November asli. Setelah surat 25 Juni terbit, Kepala Polda Bengkulu menilai isinya tak sesuai dengan perbuatan yang dituduhkan kepada Novel. Karena itu, kata Hendrik, Kepala Polda memerintahkan Kepala Polres menerbitkan surat baru tertanggal 26 November. "Itu untuk merevisi keputusan sebelumnya," ujar Hendrik.
Dalam "buku daftar tentang pidana dan pemberian hadiah" milik Novel—semacam sertifikat bagi polisi—sanksi yang tercatat hanya "teguran keras" pada 25 Juni. Dokumen itu merekam prestasi dan hukuman yang diterima Novel selama berkarier di Bengkulu sejak ia lulus dari Akademi Kepolisian pada 1998. Kepala polisi di setiap resor tempat ia bertugas membubuhkan tanda tangan dan cap sebagai penanda keabsahan dokumen.
Menurut catatan tersebut, kolom "pidana atau hadiah" baru terisi ketika dia bertugas di Polres Bengkulu dari 2003 sampai Desember 2004. Untuk yang sifatnya "pidana", pada kolom tersebut hanya terekam hukuman teguran keras yang berdasarkan surat 25 Juni 2004 tadi. Tanda tangan Kepala Polres Elia Wasono juga dibubuhkan di situ.
Anton Septian (Jakarta), Phesi Ester Julikawati (Bengkulu), David Priyasidharta (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo