Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tepuk tangan mengiringi naiknya Yosua Michael Maranatha, 15 tahun, ke atas panggung. Gedung Jogja Expo Center di Jalan Gedong Kuning, Yogyakarta, pun bergemuruh. Bocah kelahiran Sleman ini dinobatkan sebagai pemenang kategori teori terbaik dalam International Junior Science Olympiad (IJSO) II, di Kota Gudeg, Senin pekan lalu.
Yosua berhasil mengumpulkan nilai tertinggi 92,25, menyisihkan 329 peserta lain dari 34 negara. Siswa kelas satu SMA Negeri 3 Yogyakarta ini terus mengumbar senyum saat Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo memeluknya setelah menyerahkan trofi. Beberapa guru yang hadir terlihat menitikkan air mata.
Indonesia menjadi juara umum dalam Olimpiade ilmiah ini dengan menyabet 6 medali emas, 4 perak, dan 2 perunggu. Keenam medali emas diraih Yosua, Arie Prasetyo (SMA Negeri 1 Sukoharjo), M. Firmansyah Kasim (SMP Islam Atthirah Makassar), David Halim (SMA Xaverius 2 Bandarlampung), Fernaldo Richtia Winnerdy (SMP Kanisius 7 Jakarta), dan Winson (SMP BPK Penabur 7 Jakarta).
Selain medali emas, mereka juga memperoleh uang masing-masing Rp 15 juta. ”Uangnya mau saya tabung,” kata Yosua disambut anggukan kepala teman-temannya.
Pelajaran yang diujikan dalam Olimpiade itu adalah fisika, kimia, dan biologi. Sempat bingung menghadapi soal pilihan ganda pada biologi, Yosua mengaku tak menemui kesulitan menghadapi soal fisika.
Lain lagi pengalaman M. Firmansyah Kasim, 14 tahun. Remaja asal Makassar ini pusing saat mengerjakan soal berikut ini: air dan pasir yang massanya sama, jika dijemur di bawah sinar matahari, mana yang lebih panas? Ia menjawab kapasitas panas air lebih besar karena air lebih transparan. ”Ternyata logika berpikir saya salah, justru pasir yang lebih hangat,” kata putra bungsu dari empat bersaudara pasangan Farida dan Kasim ini.
Arie Prasetyo juga bingung saat menjawab soal pilihan ganda: jika batu kapur dicampur dengan asam yang terbentuk dari CO2 yang terlarut dalam air, hasilnya apa? Mendapati soal sulit seperti ini, ia biasanya mencari jawaban yang salah dulu. ”Sisa pilihan jawaban itu yang saya kira-kira,” ujarnya sambil tertawa.
Soal yang sukar memang tak gampang hilang dari benak para juara. ”Setelah keluar dari ruangan tes, yang terus saya ingat adalah soal yang sulit,” kata David Halim dari Bandarlampung. Biasanya mereka kemudian membahas soal-soal sukar itu bersama-sama. ”Kalau jawaban kita di ruang tes salah, kita cuma ketawa aja,” kata Fernaldo asal Jakarta.
Semua peraih medali emas ini langganan juara kelas. Yosua, putra keempat pasangan Pujo Sutrisno dan Sofia Inayati, selalu juara sejak kelas empat SD sampai SMP. Padahal ia jarang belajar. ”Kalau disuruh belajar malah main play station,” kata Pujo. Yosua sangat suka matematika, fisika, dan biologi. ”Karena hafalannya sedikit dan saya belajar kalau mau ujian saja,” ujar remaja yang mengagumi Isaac Newton dan Albert Einstein ini.
Yosua juga pernah merebut medali emas dalam Olimpiade Matematika Tingkat Nasional pada 2004. Untuk menghadapi IJSO II, ia bersama sebelas temannya mengikuti latihan di Lippo Karawaci, Tangerang, sejak April lalu. Padahal saat itu ia baru diterima di SMA Negeri 3 Yogyakarta, sehingga praktis belum sempat mengikuti pelajaran.
Di bawah bimbingan pakar fisika Yohanes Surya, setiap hari Yosua mengerjakan soal-soal latihan fisika, kimia, dan biologi. Latihan itu berlangsung pukul 08.00-15.00 atau 17.00 WIB. ”Kalau ada waktu luang, saya main game atau Internet,” kata remaja periang ini.
Adapun Arie Prasetyo terpilih mengikuti IJSO II setelah lolos seleksi di sekolah. ”Guru minta saya seleksi, ya, saya ikut,” kata pengagum Thomas Alfa Edison ini. Siswa kelas satu SMA Negeri 1 Sukoharjo itu juga belum sempat mengikuti pelajaran.
Pemuda pendiam itu mengaku tak suka belajar. Bila orang tuanya—Sukidi dan Mariyem—menyuruhnya belajar, ia malah mengelabui mereka dengan pura-pura membaca. ”Padahal yang saya baca komik,” kata penggemar komik Shincan, Doraemon, Asterix, dan Tintin ini.
Teman sekelasnya jelas takjub. Mengapa orang yang jarang belajar ini selalu menjadi juara kelas? ”Buat saya, belajar adalah kebutuhan. Kalau mau ulangan, ya, belajar,” ujar bocah yang menggemari pelajaran matematika dan fisika itu.
Firmansyah, 14 tahun, juga terpilih menjadi peserta IJSO II melalui seleksi di sekolah sampai tingkat provinsi. Ia bercita-cita menjadi ilmuwan dan sangat menyukai fisika. ”Hafalannya tak banyak,” ujarnya.
Para siswa berotak encer ini rata-rata memang tak menyukai pelajaran menghafal. ”Fisika itu mudah dimengerti. Meskipun soalnya dibolak-balik, kalau rumusnya tahu, itu gampang,” kata David Halim. Medali emas ini kedua kali didapatnya. Tahun lalu ia pernah meraih medali emas pada Olimpiade Sains Nasional di Riau. Begitu pula dengan Winson dari Jakarta, yang menyukai matematika. ”Lebih gampang dan tak banyak hafalan,” ujar remaja berkacamata minus tiga ini.
Yohanes Surya melihat, dalam kejuaraan itu tim Taiwan cukup tangguh karena persiapan mereka cukup lama. Mereka memulai pelatihan sejak Januari 2005, sedangkan tim Indonesia sejak Mei 2005. Maka, jika ingin mempertahankan posisi juara umum pada IJSO III di Brasil 2006, Yohanes menyarankan agar persiapan dibuat lebih lama. ”Tidak terburu-buru seperti sekarang,” ujarnya.
Eni Saeni, Syaiful Amin (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo