Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Empat alat berat perata tanah di lahan PT Situbondo Metallindo di kawasan Desa Lamongan, Kecamatan Arjasa, Situbondo, diam membisu. Mesinnya berhenti menderu sejak awal Desember lalu. Tak lagi terlihat puluhan pekerja yang biasanya bermandi keringat di situ. Kini, di lahan seluas 10 hektare itu, yang masih terlihat adalah 27 tiang pancang yang tegak berdiri membentuk rangka bangunan.
"Biasanya yang bekerja sampai 30 orang," kata seorang warga setempat, Selasa pekan lalu.
Mereka sebenarnya mulai bekerja sejak Juni lalu. Namun, pada awal Desember, aktivitas pembangunan pabrik berhenti dan para pekerja menyingkir. Usut punya usut, ternyata izin pembangunan pabrik itu belum komplet. Menurut rencana, di lokasi ini bakal berdiri smelter alias pabrik pengolahan bahan tambang atau mineral. Di sini PT Situbondo berfokus pada peleburan bijih nikel laterit.
"Pertengahan tahun lalu, perusahaan baru menyelesaikan surat izin usaha perdagangan," ujar Absari, petugas perizinan di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Situbondo, Selasa pekan lalu. Tapi pendirian pabrik itu masih memerlukan izin mendirikan bangunan dan izin gangguan. Jika kelak beroperasi, kata Sekretaris Kabupaten Situbondo Syaifullah, smelter itu bisa menyerap lebih dari 6.000 tenaga kerja dari Situbondo.
Selain membeli tanah di Desa Lamongan, menurut Syaifullah, perusahaan yang berpusat di Cina itu membeli lahan di Desa Agel dan Pesanggrahan, Kecamatan Jangkar. Lahan yang telah dibebaskan baru 25 hektare dari total kebutuhan 100 hektare. Nilai investasinya Rp 4 triliun dengan kapasitas produksi 243.600 ton ferronickel alloy per tahun.
Pabrik yang ditargetkan beroperasi pada 2014 itu akan memurnikan nikel, yang rencananya didatangkan dari Sulawesi Tenggara. Untuk menampung pengiriman nikel dan pengiriman hasil produksi, PT Situbondo akan membangun dermaga di Pelabuhan Jangkar, Situbondo. Sedangkan untuk pasokÂan energi, perusahaan akan mendirikan pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batu bara.
PT Situbondo merupakan satu dari beberapa smelter yang akan didirikan di Jawa Timur. Asisten Gubernur Bidang Ekonomi dan Pembangunan Jawa Timur Hadi Prasetyo menyatakan smelter lain yang segera didirikan di antara PT Bhirawa Steel di Margomulyo di Surabaya, PT Jatim Taman Steel di Sidoarjo, dan PT Dampar di Lumajang.
Pembangunan smelter hari-hari ini sangat krusial. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) segera diberlakukan tanpa pengecualian. "Sesuai dengan perintah undang-undang itu, mulai 12 Januari 2014 kita tidak bisa lagi mengekspor bahan mentah," ujar Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa di kantornya, Kamis tiga pekan lalu.
Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat telah sepakat menjalankan undang-undang tersebut. Karena itu, pemerintah akan meminta perusahaan-perusahaan tambang segera membangun smelter dan mempercepat pembangunan smelter yang sudah melakukan peletakan batu pertama (groundbreaking).
Menurut Direktur Niaga dan Manajemen Risiko PT PLN (Persero) Hari Jaya Pahlawan, ada tiga daerah yang siap menjadi basis smelter. Lokasi yang kuat melayani kebutuhan listrik untuk smelter adalah Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Jawa Tengah. "Daerah itu sudah punya pasokan 65-300 megawatt," ujarnya.
Pendirian smelter memang tak bisa sembarangan. Hadi menyebutkan sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Selain pasokan listrik yang cukup, daerah tempat pendirian harus memiliki pelabuhan yang memadai, pabrik pupuk, dan pabrik semen. Pelabuhan diperlukan untuk menampung pengiriman bahan tambang dan pengiriman hasil produksi. Sedangkan pabrik pupuk dan pabrik semen diperlukan untuk menyerap produk sampingan yang dihasilkan oleh smelter.
Jawa Timur, menurut Hadi, memenuhi persyaratan itu. Dua daerah lain, Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan, dinilai kurang. Pasokan energi Jawa Tengah memadai, tapi di sana tak ada pabrik pupuk dan semen. Sedangkan di Sulawesi Selatan terdapat pabrik semen, tapi tak ada pabrik pupuk.
"Jawa Timur adalah satu-satunya daerah yang siap menampung industri smelter," kata Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jawa Timur Dewi J. Putriatni. Surplus listrik hingga 4.200 megawatt dan produksi gas bumi yang melimpah merupakan daya tawar menarik bagi calon investor smelter. Ketersediaan gas bumi penting karena merupakan bahan bakar industri smelter.
Dewi mengakui potensi gas bumi masih kurang maksimal karena keterbatasan infrastruktur pipa gas. Namun, pada 2017 atau 2018, Jawa Timur dipastikan semakin berkelimpahan gas bumi. Saat itulah beberapa perusahaan energi memulai produksi komersial, seperti Husky CNOOC Madura Limited dan Petronas Carigali.
"Infrastruktur pelabuhan pun siap," kata Kepala Badan Penanaman Modal dan Perizinan Kabupaten Gresik Agus Mualim. Kawasan Berkah Manyar Sejahtera di Kecamatan Manyar milik PT Berlian Jasa Terminal Indonesia (BJTI) dan PT AKR Corporindo menyediakan lahan 2.500 hektare.
Senior Manager PT BJTI Putut SriÂmulyono menyatakan, dari 2.500 hektare lahan industri di Berkah Manyar, sebagian digunakan untuk lapangan penumpukan tambang mineral. Saat ini realisasi pembebasan lahan masih berjalan 1.300 hektare. Selain membangun kawasan industri, BJTI dan AKR Corporindo membangun dermaga seluas 300 hektare. Dermaga ini dikelola PT Berlian Manyar Sejahtera. "Dikonsep ada penampungan mineral tambang. Soal berapa hektare untuk penampungan mineral, masih dibicarakan. Kami menunggu keseriusan investor dulu," kata Putut.
Menurut Agus, sudah ada dua-tiga investor yang tertarik membangun smelter di dua kawasan itu. "Calon investor sudah ada, tapi belum pasti soal rencana pembangunannya," katanya di Jakarta, Selasa tiga pekan lalu. Ia enggan menyebutkan siapa calon investor itu.
Kegairahan mendirikan smelter juga diungkapkan Presiden Direktur Nusantara Smelting Melvin Korompis. Perusahaannya akan membangun smelter tembaga di Gresik dengan nilai investasi US$ 1,2 miliar atau sekitar Rp 13,27 triliun. Pabrik ini akan menempati lahan 100 hektare di zona industri Sedayu. Pasokan tembaga tergantung produktivitas dan kapasitas PT Newmont Nusa Tenggara (NNT). "Input dan output-nya tidak konstan, naik-turun setiap tahun," kata Melvin tiga pekan lalu setelah meneken perjanjian jual-beli konsentrat dengan PT NNT.
Selain itu, PT Nusantara Smelting berencana menggandeng PT Freeport untuk membangun smelter tembaga. Jika belum mencukupi, Nusantara Smelter akan mengimpor konsentrat tembaga.
Proyek Nusantara Smelting ditargetkan rampung pada akhir 2018 dan beroperasi penuh pada 2019. Pabrik ini akan memproduksi 200 ribu ton katoda tembaga per tahun. Produk sampingannya adalah anode slime 400 ton per tahun, asam sulfat 600 ribu ton per tahun, serta bahan lain, seperti gipsum. Kini Nusantara Smelting sedang menjalankan studi kelayakan. Studi itu akan berlangsung delapan bulan dan diteruskan dengan penyusunan skema pendanaan dari bank Eropa dan Jepang.
Hadi Prasetyo optimistis Jawa Timur bisa menampung sekitar 10 smelter. Meski begitu, ia masih sangsi akan pasokan bahan tambang yang hendak diolah. Padahal urusan kontinuitas pasokan sangat penting karena smelter butuh pasokan yang rutin dengan jumlah yang telah ditentukan. Pasokan tembaga dari Freeport dan Newmont, kata Hadi memberi contoh, beberapa tahun terakhir tersendat-sendat karena berbagai persoalan.
Dengan kondisi seperti itu, Hadi menilai Undang-Undang Mineral dan Batu Bara terlalu terburu-buru diberlakukan karena kurangnya dukungan prasyarat. "Itu lonesome regulation, aturan yang kesepian," katanya.
Endri Kurniawati, Agus Supriyanto, Diananta P. Sumedi, Edwin F. Suko, Ikaningtyas, Maria Yuniar, Apriliani G. Fitria
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo