Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Belasan warga Desa Negeri Tamilouw diduga menjadi korban kekerasan oleh polisi.
Polisi menembak mereka dengan peluru karet meski tidak terlibat penghadangan.
Seorang nenek 63 tahun terluka akibat terkena tembakan.
LUKA tembak di dada kanan Masyuni Nusalelu terlihat basah ketika Tempo mengunjungi rumahnya di Waranolu, Desa Negeri Tamilouw, Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, Selasa, 14 Desember lalu. Darah masih menembus perban yang membalut dada perempuan 63 tahun itu. Ia diduga menjadi korban kekerasan oleh polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya tertembak oleh polisi sepekan yang lalu,” ujarnya. Masyuni tertembak ketika berada di ruang tamu rumah anaknya, Saut Tomagola, pada Selasa, 7 Desember lalu, sekitar pukul 06.20. Saat itu, Masyuni sedang berjalan menuju teras rumah untuk mengecek suara tembakan yang terdengar dari dalam rumah. Sebelumnya, ia mendengar suara letupan senjata api dari jalanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belum sampai teras rumah, ia melihat sejumlah mobil polisi melaju kencang di Jalan Trans Seram. Menurut Masyuni, polisi yang berada di kendaraan itu langsung menodongkan senjata ke arahnya. Tiba-tiba terdengar suara tembakan. “Dada saya langsung berdarah,” katanya. Kepolisian Daerah Maluku menyebutkan penembakan itu menggunakan peluru karet.
Baca: Wajah Polisi dalam Angka
Tubuh Masyuni hampir ambruk ke lantai. Tangannya berpegang pada dinding rumah. Ia berteriak kencang. Saut Tomagola langsung menghampiri. Ia lalu membawa ibunya ke Pusat Kesehatan Masyarakat Tamilouw. Belakangan, Masyuni dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah Masohi dan mendapat delapan jahitan untuk menutup luka tembak.
Nursalatih Sumadiryo mengalami hal yang sama. Pagi itu ia keluar dari rumahnya di wilayah Rukun Tetangga 02, Dusun Ampera, setelah mendengar bunyi tembakan dan ketukan tiang listrik. Ia tak sendiri. Sejumlah orang penasaran dengan suara yang tak pernah terdengar di kampung itu.
Tiba-tiba delapan mobil polisi melaju dari arah kampungnya menuju Negeri Tamilouw. Nursalatih melihat sejumlah polisi berbaju hitam di atas mobil menembaki penduduk yang berkerumun dengan jarak tak sampai 20 meter.
Penembakan itu terjadi hingga mobil kabin ganda terakhir melintasi kerumunan penduduk. “Kami semua langsung berhamburan,” ujar Nursalatih. Mereka berlindung di balik rumah atau langsung tiarap untuk menghindari peluru.
Baca: Hoegeng, Jenderal Sadik Pengawal Republik
Namun Nursalatih gagal menghindari peluru. Posisinya saat itu sangat dekat dengan mobil polisi. Kerongkongan Nursalatih menjadi target peluru karet yang ditembakkan polisi dari jarak dekat. Lehernya terasa sakit dan mengeluarkan darah. Nursalatih mendapat enam jahitan di leher.
Rabbian Latsoen menunjukan luka tembakan di perut. TEMPO/Jaya Barends
Tetangga Nursalatih, Rabbian Latsoen, mengatakan aksi koboi terjadi setelah polisi mengeluarkan tembakan peringatan ke langit. “Warga tidak ada yang melawan, tapi malah ditembak,” ucapnya. Rabbian, yang berdiri di dekat Nursalatih, bernasib apes. Peluru karet menghajar kepala dan perutnya. Total ada 19 warga terkena tembakan polisi.
Penembakan di Waranolu bermula dari konflik antara warga setempat dan penduduk Desa Sepa. Warga di dua desa itu meributkan batas wilayah. Diduga terjadi perusakan tanaman milik warga Sepa oleh orang-orang Tamilouw. Bentrokan meletus pada 1 November lalu, yang mengakibatkan satu penduduk Tamilouw tewas dan sejumlah orang terluka.
Ketika pembicaraan damai berlangsung pada 9 November lalu, terjadi pembakaran kantor Desa Tamilouw. Polisi menengarai Ketua Pemuda Tamilouw, Ahmat Pawae, sebagai salah satu pembakar. Bakda subuh, Selasa, 7 Desember lalu, puluhan personel Brigade Mobil bersenjata lengkap menyatroni rumah Ahmat Pawae di Dusun Ampera.
Selain menyambangi rumah Ahmat, polisi bergerak menangkap 10 terduga pelaku lain di Negeri Tamilouw. Polisi menerjunkan 247 personel dan 24 kendaraan, di antaranya dua unit barakuda, satu kendaraan water cannon, dan enam truk.
Di rumah itu, para hamba wet membawa orang yang mereka duga sebagai Ahmat Pawae. Padahal yang ditangkap oleh polisi adalah adik Ahmat, Edham Pawae. “Sudah saya jelaskan nama saya Edham dan polisi salah tangkap,” katanya.
Namun polisi tak menggubris Edham. Menurut Edham, polisi memperlihatkan foto kakaknya dan tetap menyangka dia sebagai Ahmat. Edham lalu diborgol dan diangkut ke mobil polisi. Warga Tamilouw yang datang ke rumah Edham memprotes aksi salah tangkap itu.
Tetangga Ahmat Pawae, Rajab Ode, bercerita bahwa penduduk sekitar mulai marah karena polisi ngotot membawa Edham. Mereka melempari polisi dengan batu. Polisi lalu mengeluarkan tembakan peringatan dan gas air mata. Namun bentrokan tetap terjadi. Polisi pun mulai menembakkan peluru karet. “Anak saya, Jardin, tertembak di punggung bagian kiri,” tutur Rajab.
Edham mengaku dibawa ke Kepolisian Sektor Amahai. Di sana ia ditanyai mengenai identitas diri. Lagi-lagi Edham menyebut polisi salah tangkap. Besoknya, atau pada 8 Desember, Edham dibawa ke Kepolisian Resor Maluku Tengah. Dia pun disodori berita acara pemeriksaan dan namanya tertulis sebagai saksi senjata serta bom rakitan.
Polisi juga menanyakan rencana penyerangan warga Negeri Tamilouw ke Sepa pada 9 Desember. “Saya bilang kabar itu tidak betul,” ujarnya. Belakangan, polisi membebaskan Edham.
Seorang warga menunjukan kaca jendela rumah yang rusak terkena tembakan di Negeri Tamilouw, Amahai, Maluku Tengah, Maluku, 7 Desember 2021. TEMPO/Jaya Barends
Adapun juru bicara Kepolisian Daerah Maluku, Komisaris Besar Muhammad Roem Ohoirat, menyatakan tak mengetahui peristiwa salah tangkap itu. “Saya belum tahu ada peristiwa itu,” katanya. Roem mengatakan baru empat dari sebelas pelaku pembakaran kantor Desa Tamilouw yang ditangkap.
Roem mengklaim polisi mengutamakan pendekatan persuasif dengan mendorong pelaku pembakaran menyerahkan diri. Namun para pelaku tak datang. Polisi pun memutuskan untuk menangkap mereka yang terlibat pembakaran.
Ia menuding warga Negeri Tamilouw menghalangi polisi dengan melakukan penghalangan. Menurut Roem, ada warga yang berupaya merebut paksa senjata api yang dibawa polisi. “Tujuh polisi terluka dan beberapa kendaraan rusak kacanya karena lemparan batu,” ucapnya.
Roem membantah jika polisi disebut serampangan menembak warga Negeri Tamilouw. Ia menilai ibu-ibu yang terkena tembakan tak berada di dalam rumah, tapi ikut ke jalan dan menghadang polisi.
Meski demikian, polisi berniat membantu biaya pengobatan penduduk yang terluka. Tapi hanya ada satu orang yang bersedia menerima bantuan polisi. Sisanya dibiayai oleh Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah.
Roem menyatakan polisi yang menembaki penduduk Tamilouw akan mendapat sanksi. Saat ini kasus kekerasan oleh polisi tersebut sedang diusut oleh Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam). Namun ia tak menjelaskan jumlah personel yang diperiksa Propam. “Saya belum bisa merincinya,” ujar Roem.
JAYA BARENDS (MALUKU)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo