Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Palu - Kementerian Sosial turut membantu memenuhi kebutuhan korban asusila berinisial RO asal Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah dan keluarganya. "Keluarga korban masuk dalam kategori kurang mampu, sehingga perlu diberi bantuan, dan bantuan itu diperintahkan langsung oleh Kementerian bukan hanya untuk korban tetapi juga untuk kebutuhan orang tua yang mendampingi," kata Pekerja Sosial Kemensos Yulianingsih di Palu, Selasa, 6 Juni 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Yulianingsih diperintahkan Kemensos melihat kondisi korban yang masih dirawat di Rumah Sakit Undata di Palu. Dia menjelaskan bantuan yang dimaksudkan yakni pemenuhan sehari-hari selama perawatan di rumah sakit.
Tidak hanya itu, rencananya Kemensos juga memberikan bantuan pendidikan lanjutan kepada RO. "Bantuan itu diharapkan bisa membantu korban hingga mendapat pekerjaan yang layak seperti anak pada umumnya," katanya.
Dia menambahkan Kemensos juga memberikan bantuan untuk keluarga korban di kampung halaman, mulai dari kebutuhan pokok hingga bantuan sekolah untuk adiknya. "Kemensos memberikan bantuan secara komprehensif, sehingga bukan hanya untuk korban tetapi juga keluarganya,” kata Yulianingsih.
Ia menuturkan Kemensos telah menawari tempat untuk orang tua korban di sentra Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kemensos Kota Palu. Kemudian bantuan berlanjut berupa dana untuk orang tua korban sebagai modal membuka usaha. “Khusus korban rencananya usai perawatan medis akan kami beri pendampingan ke psikologi, hipnoterapi hingga akhirnya sampai menamatkan sekolah untuk bisa hidup mandiri," kata Yulianingsih.
Sebelumnya, kasus perkosaan yang menimpa RO disorot oleh publik. Sebab korban diperkosa oleh 11 orang, mulai dari kepala desa, guru, bahkan anggota kepolisian. Namun dalam konferensi pers 31 Mei 2023, Kapolda Sulawesi Tengah Irjen Agus Nugroho memilih diksi persetubuhan anak di bawah umur dibanding pemerkosaan. Alasannya karena tidak ada unsur kekerasan maupun ancaman, sehingga tidak memenuhi dalil pemerkosaan dalam KUHP.
"Dalam perkara ini tidak ada unsur kekerasan, ancaman, ataupun ancaman kekerasan, termasuk juga pengancaman terhadap korban," kata Agus Nugroho.
Agus berujar perubahan diksi perkosaan menjadi persetubuhan anak itu beracukan pada dalil KUHP. "Mengapa? Karena apabila kita mengacu pada istilah pemerkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 KUHP, ini secara jelas dinyatakan bahwa unsur yang bersifat konstitutif di dalam kasus pemerkosaan adalah adanya tindakan kekerasan atau pun ancaman kekerasan, memaksa seorang wanita untuk bersetubuh dengannya di luar perkawinan," kata dia.
Agus Nugroho menuturkan peristiwa tersebut dikatakan sebagai persetubuhan anak di bawah umur karena kejadiannya tidak dilakukan secara bersama-sama. Sebelas terduga pelaku disebutnya melakukan perbuatan secara sendiri-sendiri dan di waktu yang berlainan.
Pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda menilai kapolda keliru bila menyebut kasus tersebut bukan pemerkosaan. "Persetubuhan terhadap anak itu masuk kategori non-forcible rape (perkosaan tanpa paksaan). Jadi keliru Kapolda,” kata Chairul Huda saat dihubungi Tempo, Kamis, 1 Juni 2023.
Chairul berpendapat kapolda hanya mengambil perspektif berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Padahal, ujar Chairul, korban anak semestinya memakai perspektif Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. "Harus pakai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016," ujar Chairul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
ANTARA | TIKA AYU
Pilihan Editor: Menganulir Diksi Persetubuhan Anak dalam Kasus Pemerkosaan di Parigi Moutong