Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Khomeini Dan Pemukulan Diri

Khomeini melarang peringatan 10 muharam dengan upacara "sinazani", tapi cerita tentang perang karbala tetap dihidupkan untuk membakar semangat berkorban melawan irak.(ag)

29 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBARIS semboyan terpasang di bazaar Teheran: "Setiap hari adalah Asyura, setiap tempat adalah Karbala." Itu terjadi di bulan Muharram, dua tahun yang lalu. Gelombang penentangan terhadap Syah sedang menjelang puncak. Semboyan itu dengan jelas mengisyaratkan, agar tiap mukmin siap mengorbankan diri. Selama tiga malam berturut-turut, laki-laki berkain putih pun muncul di jalanan, menentang jam malam yang diberlakukan. Atau naik ke atap rumah, memekikkan "ganyang Syah!" Itulah tanda mereka siap mati syahid, gugur seperti Hussein, putra Ali dan cucu Nabi, yang terbunuh di Karbala pada hari Asyura (10 Muharrasn), 13 abad yang silam. Dan benar. Menurut laporan Radio BBC, pada malam-malam pertama Muharram tahun itu, 700 orang tewas. Revolusi mendapatkan titik apinya kembali. Lalu Syah dikalahkan. Di bulan Muharram 1980 ini, tak ada lagi Syah. Tapi perang berlangsung di dekat perbatasan, melawan Irak, yang didukung Yordania dan Arab Saudi. Adakah kali ini semangat berkorban dikobarkan lagi? Nampaknya demikian, meskipun tak teramat istimewa. Kesenian Rakyat Seperti biasa, bagi para penganut Syi'ah, bulan Muharram adalah bulan berkabung. Awal Muharram tak diperingati sebagai tahun baru--apalagi bagi bangsa Iran, yang punya tahun baru sendin. Sepanjang Muharram mereka melulu mengenangkan kembali duka cerita yang dulu sering mereka pentaskan: kisah tragedi Karbala, yang dalam lakon mereka dimulai dari kisah Nabi Ibrahim serta Yusuf, dan berklimaks dengan kematian Hussein. Di kota-kota yang punya tempat ,suci malam menjelang 10 Muharram rang berkumpul. Biasanya sebuah peti besar yang berkaca dan berselaput hiam, naql, yang akan digotong ratusan orang, telah sedia. Itulah lambang peti jenazah Hussein. Sementara itu kelomok anak muda berpakaian hitam meyalakan kandil dan bernyanyi: Shab-i 'Ashurast Karbala ghawghast, Karbala che jur shin-ast, Shab-i akhirshab-ast Inilah malam Asvura, Karbala gundah gulama Karbala betapa berpasir Inilah senja terakbir Kelompok-kelompok berpakaian hitam itu, yang disebut dasta, di beberapa tempat telah datang pula untuk melakukan sina-zani: seraya berbaris, mereka memukul-mukulkan tangan ke dada -atau memukulkan rantai ke punggung,sampai berdarah. Sina-zani melambangkan penyesalan penduduk kota Kufah yang dulu membiarkan Hussein dihancurkan. Yang menarik tahun ini ialah bahwa Ayatullah Khomeini melarang upacara memukul diri dengan benda keras atau tajam. Khomeini menganggap bahwa upacara itu, apalagi yang sampai mengeluarkan darah, hanya menimbulkan kesan yang salah tentang Islam. Sebenarnya, di masa Pahlevi pun ada larangan yang semacam. Di tahun 1930-an Reza Syah melarang banyak segi dari upacara 'azadari (dukacita) itu--terutama sina-zani dan keramaian mengangkat naql. Juga pementasan drama tentang tragedi di Karbala dilarang. Di pihak lain, kaum ulama sendiri sejak dulu juga tak pernah menyetujui pementasan itu - yang tak lain memang kesenian rakyat. Kaum ulama juga memandang dasta dengan sikap mendua: setengah menyetujui. Yang benar-benar dianjurkan oleh kaum ulama hanyalah rawda, khotbah dan petuah yang biasanya mengiringi penceritaan tentang Perang Karbala. Di kalangan ulama lapisan bawah, upacara itu pada umumnya diisi sedikit pidato. Lebih banyak di sana orang menyuarakan tangis. Di kalangan atas, sebaliknya, para ulama lebih banyak memberikan ceramah. Dan yang ditekankan bukannya nasib Hussein yang menyedihkan, tapi keberaniannya menanggung mati. Tak heran, bila pemerintah Pahlevi tak menyukai rawda ini, karena isinya menyalakan api oposisi. Tahun ini sudah tentu rawda berkisar pada pengorbanan dalam perang. Dan seperti ditunjukkan oleh penduduk Teheran di pagi yang amat dingin pekan lalu, seruan Khomeini yang kurang menyetujui dasta nampaknya diindahkan. Tapi tak berarti bahwa dalam ketidaksetujuannya terhadap beberapa ekspresi tradisional dalam 'azadari, Khomeini sependapat dengan kaum cendekiawan Iran yang mengejek kebiasaan zaman lampau itu. Di kalangan cendekiawan, sejak beherapa puluh tahun yang silam, atas nama "kemajuan Islam" beberapa hal dicela. Yang terutama adalah kunjungan ke makam orang suci yang di kalangan Syi'ah, baik di Irak maupun di Iran, didirikan dengan cukup megah. Bagi mereka yang menghendaki"kemajuan" dan "pemurnian" Islam, ziarah seperti itu--sering disertai dengan menaburkan mata uang serta suara tangis -- sudah bisa dinilai "musyrik", atau memuja berhala. Terhadap ini Khomeini dengan sengit menjawab. Seperti tertulis dalam sebuah risalahnya dari tahun 1943 (1944), Kashif-i Asrar, Khomeini menganggap bahwa kaum intelektual yang merasa diri bebas dari dogma itu sebenarnya "pengikut penggembala onta yang biadab (wahshi) dari Najd." Maksudnya, tentulah, kaum Wahhabi, yang dikenal memang keras menentang segala yang berbau "musyrik". Di masa lalu bahkan kaum Wahhabi, datang dari daerah yang kini adalah Arab Saudi pernah menghancurkan makam Hussein yang didirikan di kota Karbala. Kaum Wahhabi, seraya menghormati keturunan Nabi, tak menghendaki kemungkinan makam disembah-sembah. Yang layak dicatat ialah bahwa kaum Wahhabi inilah yang jadi pemula kerajaan Arab Saudi sekarang. Dan layak dicatat pula bagaimana dalam risalahnya itu Khomeini mencemooh "sedikitnya kemajuan di padang pasir Najd serta daerah Hejaz." Tanyanya: "Haruskah kita cari nasihat tentang pembangunan dari sana?" Ditulis di awal 1940-an, 40 tahun Sebelum Irah menghadapi dunia Arab dalam sebuah perang, pertanyaan itu terasa bergema kembali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus