Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kisah telepon nyonya tati

Adanya nomor telepon yang sama. ny. tati r. deputy general manager hotel kemang mengusut saluran teleponnya. willy munandir mengakui jaringan telepon bisa diutak-atik. (nas)

24 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG nyonya mencoba bertindak bak detektif partikelir, menelusuri ketidakberesan jaringan telepon. Suatu pagi ia mengangkat telepon dan memutar nomor 734969. Terdengar sahutan: "Hotel Garden selamat pagi... " Pembicaraan pun berlangsung sebentar. Maka nyonya itu pun merasa pasti ada ketidakberesan. Ia lantas menghubungi polisi Kores 704, Jakarta Selatan. Kasus ini memang terjadi di kawasan itu. Soalnya, nomor telepon yang dihubungi nyonya tersebut tak lain dan tak bukan adalah nomor telepon yang selama ini tercatat atas namanya sendiri. Dan sudah sejak lama, oleh Perumtel Wilayah IV DKI Jakarta, nomor itu dinyatakan rusak. Bersama anggota polisi yang kemudian datang, Tati R. Tanjung, nyonya tersebut, mengusut lebih lanjut ke Hotel Garden. Benar saja, salah satu nomor telepon hotel itu persis nomor telepon Nyonya Tati. Kasus ini kini ditangani Kores 704 untuk dicari siapa yang harus bertanggung jawab atas nomor kembar ini, tutur nyonya itu kepada TEMPO. Peristiwa di akhir Juli itu baru diungkapkan sekarang, ketika ketidakberesan rekening telepon ramai dibicarakan. Ini bisa menjadi bukti kuat atas dugaan orang selama ini bahwa jaringan telepon tidak aman. Bahkan kepada TEMPO direktur utama Perumtel, Wily Munandir, mengakui jaringan telepon bisa diutak-atik. "Secara teknis bisa saja orang berbuat begitu, hingga menyebabkan kenaikan pulsa pada nomor tertentu," kata Willy dua pekan lalu. "Apa ada orang bilang bank tidak bisa digarong?" kilahnya. Masalahnya kini, tak semua pelanggan telepon yang merasa dirugikan bisa menemukan kecurangan dengan mudah. Nyonya Tati sendiri, Deputy General Manager Hotel Kemang, pada mulanya tak acuh soal rekening. Telepon pribadinya pun kantornya yang membayar. Baru ketika kantornya menegur bahwa rekening telepon Nyonya Tati bulan Juni dan Juli melonjak tinggi (Rp 69.200 dan Rp 100.200), ia jadi curiga. Sebab, selama itu ia tak mengutik-ngutik 734969. Selama itu, ia menggunakan telepon dengan saluran nomor telepon Hotel Kemang. Bukankah 734969 dinyatakan rusak? Untunglah, dengan bantuan karyawan teknik hotelnya, dengan cara yang begitu sepele, akhirnya ditemukanlah nomor kembar itu, dl hotel tetangganya di satu kawasan. Yang seru, penemuan Nyonya Tati ini tak hanya membuktikan kemungkinan adanya "utak-atik" pada jaringan telepon. Yang dikatakan Irjen Departemen Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Seno Hartono, kepada TEMPO dua pekan lalu, sebelum bekas panglima Kowilhan IV itu naik haji, mungkin memang benar. "Orang harus streng, disiplin," katanya. "Di sipil tidak ada cara seperti itu, makanya kacau terus. Korupsi merajalela." Setidaknya korupsi moral dan mental yang merugikan pelanggan. Sebab, bila saja Nyonya Tati mendapat rekening untuk nomor 734969 dan Hotel Garden juga menerima tagihan atas nomor tersebut, berarti ada dua rekening untuk satu nomor yang sama. Pasti, yang satu aspal alias asli tapi palsu. Ini tentunya bukan permainan orang teknik, tapi administrasi. Hasnil, General Manager Hotel Garden Senin malam yang lalu membenarkan hotelnya memiliki nomor 734969. Ia, kepada wartawati TEMPO yang meneleponnya, mengatakan memasang nomor itu dengan resmi. Namun, ia tak tahu pengurusannya, karena hal itu dilakukan oleh karyawannya yang mengurus soal-soal semacam itu. Ia pun tak tahu apakah nomor tersebut ada tagihan resminya tiap bulan. Soal rekening asli tapi palsu memang baru dugaan. Tapi ini mengingatkan pendapat Achmad Subagio, wakil ketua Komisi IV DPR-RI, yang getol agar pelanggan telepon "diperlakukan secara adil." Kepada TEMPO lewat telepon, Subagio, yang berada di Purwokerto, Senin lalu mengatakan: "Saya tetap pada pendirian saya bahwa masalah langganan telepon adalah masalah jual-beli." Maksudnya, "berapa jumlah yang dibeli harus diketahui kedua belah pihak." Kalau jumlah itu hanya diketahui satu pihak, dalam hal ini pihak Perumtel yang membuat rekening berdasar angka pulsa di Sentral Telepon Otomat, "itu tidak adil." Subagio tidak menutup adanya kemungkinan catatan jumlah pada pihak pelanggan dimanipulasi. Tapi bila ada ketidakcocokan antara jumlah pulsa di pelanggan dan di STO, bagi sekretaris F-PDI itu, pihak Perumtel-lah yang harus mengusutnya. "Kalau ternyata pelanggan salah, suruh mereka bayar. Tapi dengan bukti-bukti, dan karena itu jual-beli baru bisa dikatakan adil," ujarnya. Subagio pun tak percaya gagasan Achmad Tahir, menteri pariwisata pos, dan telekomunikasi, bisa berjalan baik. Senin siang yang lalu sehabis mengadakan pertemuan dengan Mensesneg Sudharmono, A. Tahir bercerita kepada TEMPO perihal idenya mengadakan "siskamling" di sekitar titik pembagi dan rumah kabel. "Kalau yang melakukan sambungan kabel gelap itu orang dalam, bagaimana bisa diawasi?" kata Subagio pula mengomentari itikad baik Menteri. Jadi? Subagio tetap berkukuh pentingnya ada cara pencatatan jumlah pulsa tiap bulannya tidak saja di STO tapi juga di rumah pelanggan. "Agar tidak selalu deg-degan kalau nunggu tagihan telepon." Direktur Utama Perumtel, seperti dikatakan dalam wawancara dengan TEMPO di Bandung, tetap berkukuh pencatatan pulsa di Pelanggan belum perlu. Alasannya ia belum tahu-menahu adanya alat itu. "Kalau toh ada, itu harus diuji-coba Perumtel dulu, "Biarkanlah telepon sebagaimana adanya, jangan ditambah-tambahi," katanya. Repotnya, tetap ada sejumlah pelanggan yang pulsa telepon mereka terus naik, sementara mereka tak merasa menggunakannya sebanyak itu. Memang, setelah soal ini ramai dibicarakan di media massa dan di DPR-RI, ada kecenderungan jumlah pelanggan pengadu turun. Di Bandung misalnya, bila bulan Maret ada 95 pelanggan mengadu, Juni turun menjadi hanya 46, dan Agustus yang lalu cuma ada 24 pengadu. Menurut dugaan pihak Perumtel, "mungkin karena para pelanggan telah mengerti dan menyadari cara pemakaian telepon yang sebenarnya, kata Soedarsono, kepala Seksi Pengaduan Pulsa Kantor Telepon Bandung. Tapi, bila bicara soal kemungkinan, bisa saja karena pelanggan telepon gelap takut ketahuan dan menurunkan kegiatannya. Irjen Seno Hartono dan Menteri A. Tahir sudah bertekad "ingin membasmi sampai tuntas", kejahatan di kabel telepon. Bukannya tak mungkin, kasus nomor Nyonya Tati ternyata banyak terjadi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus