Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah waria yang tergabung dalam kelompok kesenian transgender Sanggar Seroja mendirikan sejumlah usaha kuliner berskala kecil pada masa pandemi ini. Berkat usaha-usaha tersebut, mereka yang rata-rata tinggal di kawasan Kampung Duri, Jakarta Barat, bisa bertahan hidup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mulanya, para transpuan di Kampung Duri kepayahan karena tak bisa mendapatkan uang dari bekerja di salon, sebagai penata rias, atau pekerjaan informal lain. Mereka sempat berupaya mendapatkan bansos. Tapi, dari puluhan transpuan yang mengajukan diri, hanya 2-3 orang yang diakomodasi oleh perangkat pemerintah setempat. Padahal, menurut Mama Atha, salah satu anggota Seroja, semua anggota Seroja sudah punya KTP bahkan nomor pokok wajib pajak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kondisi memprihatinkan itu mendorong sejumlah pegiat dari komunitas Queer Language Club (QLC) membuka penggalangan dana #BantuanUntukWaria, dan terkumpul sekitar Rp 100 juta. Dana itu dipakai untuk membeli bahan pokok dan nasi bungkus untuk makan sehari-hari para waria. Sebagian dijadikan modal usaha kuliner rumahan, seperti kue bolu, jajanan pasar, kue kering, dan bawang goreng. Para pegiat QLC juga membantu mempromosikan produk mereka di media sosial dengan iklan yang menarik hingga bisa laris terjual.
Mama Atha bercerita, ada enam produk makanan yang dibuat dan dipasarkan para anggota Seroja: Risol Teteh Uti, Bolu Mama Pandan, Bawang Goreng Neng Metta, Sambal Dapur Miss Wanty, Kue Peranakan Madam Seroja, dan Cumi Pedas Nona Indri. Sejak empat bulan lalu, mereka membuat dapur bersama di kawasan Krendang, Tambora, Jakarta Barat, sebagai tempat untuk memproduksi makanan jualan mereka.
Pendistribusian bantuan bagi transpuan di Kampung Duri, Jakarta Barat, 2020 lalu. Dok. QLC Jakarta
Pada pertengahan masa pandemi, sejumlah anggota Seroja sempat kembali bekerja di salon dan menjadi penata rias. Tapi, gara-gara PPKM, aktivitas itu terhenti lagi. “Akhirnya kami mengandalkan pemasukan dari usaha kuliner. Alhamdulillah pesanan ada terus yang masuk,” kata Mama Atha yang memiliki usaha Bolu Mama Pandan, Sabtu, 10 Juli 2021.
Transpuan lain yang menjalankan usaha kuliner berkat bantuan modal itu ialah Uti, yang sempat kehilangan pekerjaan di sebuah salon kecantikan. Ia kini punya usaha produksi dan penjualan aneka kue serta jajanan pasar dengan nama Risol Teteh Uti. “Awalnya jualan risoles karena memang aku punya resepnya, dan memang sejak lama aku bisa bikin kue dan aneka jajanan pasar,” kata Uti kepada Tempo, beberapa waktu lalu.
Produk-produk Uti dikemas dengan kemasan menarik dan dipromosikan di media sosial. Pemesannya datang dari berbagai wilayah di Jabodetabek. “Aku kirim dengan memberdayakan warga sekitar yang bekerja jadi tukang ojek, jadi saling membantu,” ujarnya. Dalam beberapa kesempatan, seperti bulan Ramadan, Uti juga membuka lapak berjualan di sekitar tempat tinggalnya.
Bagi Uti, bantuan permodalan ini menjadi gagasan cemerlang untuk kalangan transpuan. “Kami terbantu banget, jadi bisa punya usaha sendiri dan tak bingung lagi cari uang untuk makan,” katanya. Hal yang tak kalah penting, kata Uti, dengan adanya kegiatan membuat kue ini, ia tak lagi stres memikirkan tekanan hidup akibat pandemi.*
PRAGA UTAMA