Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kongres ajaran pakde narto

Kongres ke-11 pangestu di istana mangkunegaran solo memilih menkeh soedjarwo sebagai ketua periode 1986-1990. pangestu adalah organisasi kebatinan di indonesia yang berpangkal pada wahyu r. soenarto m.(nas)

10 Mei 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIAM-DIAM, di Kota Solo, Pangestu melaksanakan kongres ke-11 pekan lalu. Tak kurang dua menteri, Ismail Saleh dan Soepardjo Rustam, datang memberi pengarahan. Dihadiri 900 lebih peserta, dan ditutup dengan pementasan wayang yang ditonton sekitar 5.000 orang - kongres yang diselenggarakan di Istana Mangkunegaran itu dengan adem-ayem menetapkan Pancasila sebagai asas organisasi . Tidak mengagetkan, tentu. Sebab, inilah organisasi kebatinan yang antara lain mengajarkan ihwal rela (rila), menerima (narima), serta adalah kewajiban hormat terhadap segala sesuatu yang ambil bagian dalam kekuasaan pemerintah. Yang terakhir ini boleh berwujud lembaga atau hukum, bahkan seorang pribadi pejabat. Agaknya, karena itulah pula Menteri Kehutanan Soedjarwo terpilih kembali sebagai ketua periode 1986-1990. Ini berarti tak ada perubahan pimpinan puncak Pangestu sejak ia diangkat 17 tahun lalu. Soedjarwo sendiri seperti diketahui, sudah sejak zaman Orla menjadi pejabat pertama dalam urusan kehutanan. Soedjarwo, 64, menyebut akan tetap bergairah memimpin Pangestu. Sebab, "Sejak muda saya sudah akrab dengan ajaran-ajaran Pangestu," katanya. Pangestu, katanya mengajarkan orang agar berhati bersih dan berpikiran bening. Padahal, beberapa anggota Pangestu punya peranan dalam menentukan kebijaksanaan pemerintah. "Kalau penentu kebijaksanaan berhati bening dan berpikiran bersih, pasti keputusannya berguna untuk rakyat," demikian Soedjarwo. Pangestu atau lengkapnya Paguyuban Ngesti Tunggal didirikan 20 Mei 1949 di Solo. Ajaran Pangestu berpangkal pada wahyu yang diterima R. Soenarto Mertowardojo pada tahun 1932-1933. Adalah dua orang notulis yang kemudian menyuratkan wahyu-wahyu yang diterima Pakde Narto ini. Hasilnya sebuah buku yang berjudul Serat Sasangka Jati. Karya ini kelak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan juga Inggris The True Light. Ajaran Pakde itu pernah pula dibela secara ilmiah, oleh Sumantri Hardjoprakoso - dalam sebuah disertasi berjudul Een Indonesisch Mensbeeld yang dipertahankan di Universitas Leiden, Negeri Belanda. Siapa saja, dari agama apa saja, boleh menjadi anggota Pangestu. "Sebab, Pangestu bukan agama, dan juga bukan klenik," kata Soedjarwo. Organisasi kebatinan terbesar di Indonesia ini (kini beranggota 103 ribu lebih tersebar di 174 caban). hanyalah kancah pendidikan dan pengolahan jiwa. "Anggota namanya siswa, dan Pangestu itu diibaratkan sebagai Fakultas Psikologi," kata Soedjarwo. Tapi inilah "fakultas" yang mahagurunya cuma satu, yakni Sang Guru Sejati. "Fakultasnya buka 24 jam, dan ujiannya juga terus-menerus." Ada banyak organisasi kebatinan. Mayoritas didirikan pada masa setelah tahun 1950. Ini memang masa sulit, kabinet jatuh bangun, pemberontakan timbul, suatu masa penuh janji dan slogan. Di daerah Jawa Tengah dan Yogya saja, pernah terdapat hampir 300 kelompok kebatinan. Setelah peristiwa G-30-S meletus, ada yang dilarang atau dibubarkan, dan jumlah itu makin lama kian berkurang. Pada 1969, misalnya, untuk Jawa Tengah dan Yogya jumlah itu tinggal 103. "Golongan kepercayaan itu memang macam-macam, ada yang pakai jimat, ada yang pakai dukun," kata Soedjarwo. Namun, adalah Pangestu yang paling banyak anggotanya, baru kemudian Sapta Dharma, dan Subud. Yang menarik pada perkembangan kemudian ialah ketiganya lahir di Jawa Tengah, tapi akhirnya berkantor pusat di Jakarta. Bahkan, Subud membuka cabang di Amerika dan Eropa. Ia bergerak meninggalkan Jawa pedalaman, menjauh dari pusat lama yang bernama keraton. Tetapi Pangestu yang - meminjam Dr. S. de Jong - tergolong "setia" pada Jawa. Ajaran Pakde Narto tergolong tidak disebarkan ke luar Jawa. "Dari 174 cabang, hanya 13 di luar Jawa," ujar Soedjarwo. Pertambahan anggota pun stabil. "tidak ada kejutan." Yang belum jelas ialah apakah orang muda kini, terutama di kota, tertarik pada kebatinan. Sebab, daya tampung perguruan tinggi yang sempit, lapangan kerja yang langka, memang masalah sosial yang tak mudah obatnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus