Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Lapor Covid-19 dan CISDI menyatakan layanan kesehatan di Indonesia, khususnya Pulau Jawa, dalam kondisi genting.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Relawan tim Bantu Warga LaporCovid-19, Tri Maharani, mengatakan bahwa tanda-tanda kolaps layanan kesehatan sebenarnya sudah terindikasi sejak September 2020, yang kemudian mereda pada periode pemberlakuan PSBB di Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Menjelang pertengahan November 2020, saat pelaksanaan pilkada serentak dan libur Nataru, memperburuk ketidakmampuan RS menampung pasien," kata Tri dalam siaran tertulisnya, Jumat, 15 Januari 2021.
Tri menjelaskan, situasi ini mempengaruhi keselamatan masyarakat karena terhambatnya upaya penanganan segera bagi pasien Covid-19 maupun nonCovid-19.
Sejak akhir Desember 2020 hingga awal Januari 2021, LaporCovid-19 menerima total 23 laporan kasus pasien yang ditolak rumah sakit karena penuh, pasien yang meninggal di perjalanan, serta meninggal di rumah karena ditolak rumah sakit. "Laporan datang dari wilayah Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur," ujarnya.
Tri mengatakan, Lapor Covid-19 menemukan di lapangan bahwa sistem rujuk antar fasilitas kesehatan tidak berjalan dengan baik, sistem informasi kapasitas RS tidak berfungsi. Banyak warga yang memerlukan penanganan kedaruratan kesehatan akibat terinfeksi Covid-19 tidak mengetahui harus ke mana.
Kondisi tersebut diperparah dengan permasalahan sistem kesehatan yang belum diatasi, seperti keterbatasan kapasitas tempat tidur, minimnya perlindungan tenaga kesehatan, dan tidak tersedianya sistem informasi kesehatan yang diperbarui secara real time.
Direktur Kebijakan CISDI Olivia Herlinda mendorong langkah-langkah drastis oleh pemerintah agar layanan kesehatan nasional tidak runtuh. “Komunikasi publik yang berbasis bukti, fokus, dan tidak terdistorsi dengan narasi-narasi palsu harusnya sejak awal pandemi telah dilakukan," katanya.
Menurut Olivia, ketidakmampuan pembuat kebijakan dalam membangun strategi maupun melaksanakan praktik komunikasi yang transparan dan akuntabel menyebabkan gagalnya masyarakat menyadari kegawatan situasi pandemi Covid-19.
Hal ini, kata dia, juga menyebabkan upaya pemerintah menambah kapasitas tempat tidur dan tenaga kesehatan tidak akan pernah mencukupi kebutuhan layanan kesehatan di tingkat rujukan, untuk menampung jumlah pasien dalam kondisi sedang hingga berat dan kritis.
"Selain itu, perbaikan sistem informasi kesehatan sudah tidak mungkin ditunda lagi. Publik harus mendapatkan akses terhadap pendataan dan informasi dengan pembaruan real-time," ujar Olivia.