Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendidikan

LBH APIK Kritik Polisi soal Penanganan Kasus Kekerasan Seksual

Dalam rangka pemenuhan hak korban kekerasan seksual, LBH APIK meminta polisi mereformasi perspektif institusinya.

25 November 2018 | 16.25 WIB

Massa yang mengatasnamakan Jaringan Muda Menolak Kekerasan Seksual melakukan aksi Bunyikan Tanda Bahaya disela Hari Bebas Kendaraan di Bunderan Hotel Indonesia, Jakarta, 15 Mei 2016. Mereka meminta pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Penghentian Kekerasan Seksual. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
Perbesar
Massa yang mengatasnamakan Jaringan Muda Menolak Kekerasan Seksual melakukan aksi Bunyikan Tanda Bahaya disela Hari Bebas Kendaraan di Bunderan Hotel Indonesia, Jakarta, 15 Mei 2016. Mereka meminta pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Penghentian Kekerasan Seksual. TEMPO/Eko Siswono Toyudho

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) menyoroti cara polisi melakukan penyelidikan terhadap korban dalam berbagai kasus kekerasan seksual. Menurut LBH Apik, polisi belum berotientasi pada pemenuhan hak korban dan kerap tak mempertimbangkan psikologi mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

"Misalnya, polisi seringkali meminta korban untuk mencari alat bukti," kata pengacara publik LBH Apik, Citra Referandum, saat ditemui dalam konferensi pers Potret Buram Kekerasan Seksual di Dunia Pendidikan di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Ahad, 25 November 2018.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam proses pengungkapan fakta kasus kekerasan seksual, kata Citra, korban acap kesulitan mencari bukti. Begitu juga mencari saksinya. Hal itu diakui pula oleh YF, 33 tahun, seorang korban kekerasan seksual oleh empat mantan petugas Transjakarta. Kasusnya mencuat pada 2014 lalu.

Dalam wawancara bersama Tempo pada 18 November lalu, YF mengaku tak dapat menunjukkan alat bukti lain kecuali pakaian yang dikenakan. Selain alat bukti, korban mengaku tak memiliki saksi yang komprehensif. Saksi yang ada di lokasi kerap memihak pada pelaku.

Tak hanya soal alat bukti dan saksi, Citra mengatakan polisi acap meminta korban untuk memperagakan ulang tragedi pelecehan seksual. Hal itu pula yang diakui oleh YF. YF mengatakan sempat frustrasi lantaran diminta polisi merekonstruksi peristiwa yang dialaminya di Halte Harmoni pada 20 Januari 2014.

Citra mau tak mau mengikutinya dengan dalih pihak berwenang supaya kasusnya segera kelar. Dalam hal ini, LBH Apik menilai polisi tak mempertimbangkan kondisi kejiwaan korban. Kasus kekerasan seksual kerap disamakan dengan kasus-kasus lain.

Dalam rangka pemenuhan hak korban, Citra pun meminta polisi mereformasi perspektif institusinya. "Polisi harus memberi pemahaman lembaganya untuk berpihak pada korban dan membuka serta mengecek kasus-kasus yang pernah masuk untuk dikerjakan secara cepat," ujarnya.

Kepala Divisi Humas Mabes Polri Brigadir Jenderal Mohammad Iqbal mengatakan polisi selama ini telah memenuhi fungsinya. Salah satunya menjamin hak korban.

Iqbal mengatakan seluruh korban kekerasan seksual akan diperiksa oleh unit khusus yang bernama Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA). Petugas PPA diisi oleh para polwan yang kompeten di bidangnya.

Mereka telah dilatih menghadapi psikologi korban kekerasan seksual. Korban juga akan memperoleh pendampingan dari psikolog yang disediakan oleh pihak kepolisian. "SOP kami, korban pasti didampingi psikolog," kata Iqbal kepada Tempo saat dihubungi terpisah.

Sementara itu, ihwal rekonstruksi kasus, Iqbal mengatakan polisi tak akan melibatkan korban. Ia juga menganulir pernyataan LBH Apik yang menyebut polisi kerap melibatkan korban untuk mempraktikkan ulang peristiwa pelecehan seksual. "Enggak ada itu. Enggak benar," kata dia.

Koordinator Perubahan Hukum LBH Apik Veni Soregar mengatakan, selain pihak keamanan seperti polisi, pemerintah harus kooperatif dalam pengusutan kasus sensitif ini. Salah satunya dengan mendorong Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Dengan adanya UU ini, korban akan terjamin haknya untuk memperoleh keadilan dalam kasus tersebut.

Francisca Christy Rosana

Lulus dari Universitas Gadjah Mada jurusan Sastra Indonesia pada 2014, ia bergabung dengan Tempo pada 2015. Kini meliput isu politik untuk desk Nasional dan salah satu host siniar Bocor Alus Politik di YouTube Tempodotco. Ia meliput kunjungan apostolik Paus Fransiskus ke beberapa negara, termasuk Indonesia, pada 2024 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus