Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mahkamah Konstitusi menyidangkan 297 berkas sengketa pemilihan legislatif 2024.
Tiga panel hakim konstitusi akan menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan.
Jumlah permohonan sengketa hasil pemilihan legislatif terus bertambah dibanding pemilu sebelumnya.
SUDAH sejak pagi area gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, dipadati ratusan orang yang lalu lalang mengenakan pakaian toga berwarna hitam. Mereka adalah kuasa hukum dan pihak pemohon yang bersiap mengikuti sidang perdana perkara perselisihan hasil pemilihan umum (Pemilu) atau PHPU pemilihan legislatif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mahkamah Konstitusi mulai menggelar persidangan pemeriksaan pendahuluan berkas sengketa pemilu legislatif 2024, kemarin, 29 April 2024. Sidang dimulai pada pukul 08.00 hingga 15.30 WIB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sidang pemeriksaan pendahuluan dihelat Mahkamah Konstitusi dengan membagi dalam tiga panel. Satu panel berkomposisi tiga hakim konstitusi. Panel pertama terdiri atas Ketua Mahkamah Suhartoyo dengan anggota hakim konstitusi Daniel Yusmic Foekh dan Guntur Hamzah.
Kemudian panel kedua terdiri atas hakim konstitusi Saldi Isra serta beranggotakan Ridwan Mansyur dan Arsul Sani. Adapun panel ketiga berkomposisi hakim konstitusi Arief Hidayat sebagai ketua dengan anggota Anwar Usman dan Enny Nurbaningsih.
Persidangan dibuka secara bersamaan dengan mengadili perkara Nomor 03-03/PHPU.DPD-XXII/2024 dan perkara Nomor 46-01-17-16/PHPU.DPR-DPRD-XXII/2024 yang dimohonkan Partai Persatuan Pembangunan. Partai berlambang Ka'bah ini bisa disebut sebagai partai yang paling banyak mendaftarkan perkara. Partai yang gagal ke Dewan Perwakilan Rakyat karena tak memenuhi 4 persen ambang batas parlemen itu disebut mendaftarkan 29 perkara. Berdasarkan penghitungan KPU, partai ini meraih 5,8 juta suara atau 3,7 persen.
Juru bicara Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono, mengatakan lembaganya menerima 297 berkas sengketa pemilihan legislatif 2024. Dibandingkan dengan jumlah permohonan PHPU pemilihan legislatif pada 2019, permohonan bertambah 35 perkara.
Fajar menjelaskan, bertambahnya jumlah permohonan sengketa hasil pemilihan legislatif telah diperkirakan. Sebab, permohonan yang diajukan perseorangan dipisahkan dengan permohonan partai politik. “Permohonan sengketa bisa dari partai, bisa perorangan,” ujar Fajar, kemarin.
Menanggapi hal itu, pakar kepemiluan dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Yance Arizona, mengatakan penambahan jumlah sengketa hasil pemilihan legislatif seakan-akan menjadi tren yang acapkali meningkat dalam setiap penyelenggaraan pemilihan umum. “Artinya, ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan pemilu masih belum teratasi,” ujar Yance. Diperlukan evaluasi dari lembaga penyelenggara hingga pengawas pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu, untuk memutus tren kenaikan jumlah sengketa tersebut.
Berdasarkan catatan yang dihimpun Tempo, sejak dua dekade penyelenggaraan pemilu, jumlah sengketa PHPU pemilihan legislatif di Mahkamah terus meningkat. Pada 2004, terdapat 44 permohonan, 70 permohonan pada Pemilu 2009, 297 dan permohonan pada Pemilu 2014. Pada Pemilu 2019 terdapat 262 permohonan dan pada Pemilu 2024 tercatat ada 297 permohonan yang teregistrasi di Mahkamah Konstitusi. Meski pernah turun pada 2019, kata Yance, jumlah tersebut tidak stagnan. “Sepertinya tidak ada langkah perbaikan yang dilakukan KPU,” ujarnya.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengatakan kenaikan tersebut cenderung dilatarbelakangi oleh masifnya gugatan partai politik yang gagal memenuhi ambang batas parlemen. Dia menyebutkan, pada Pemilu 2024, terdapat 18 partai politik yang berkontestasi. Namun hanya delapan partai yang dinyatakan memenuhi ambang batas parlemen 4 persen.
Selain itu, Herdiansyah tidak menafikan dugaan kecurangan pemilu menjadi faktor lain bertambahnya jumlah permohonan sengketa. Pada sengketa hasil pemilihan presiden, kubu pasangan calon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. mendalilkan terjadinya dugaan kecurangan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024, dari politisasi dana bantuan sosial, pengerahan aparatur negara, hingga cawe-cawe pejabat daerah dan kepala negara untuk memenangkan salah satu pasangan calon. “Ini agak tricky, tapi based on case,” ujar Herdiansyah.
Alarm bagi KPU
Menurut Herdiansyah, permohonan angka sengketa hasil pemilihan yang kerap bertambah dari pemilu ke pemilu semestinya menjadi alarm bagi KPU untuk melakukan evaluasi. Sebab, hal yang dilakukan KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu berkelindan dengan peristiwa yang terjadi setelahnya. “Logikanya, makin luas dugaan kecurangan, makin potensial permohonan PHPU itu diajukan,” ucapnya.
Petugas kepolisian berjaga menjelang sidang perselisihan hasil pemilihan umum di depan gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, 2014. Dok. TEMPO/Aditia Noviansyah
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay mengatakan KPU mesti membenahi sistem penghitungan suara atau Sirekap, selain mengevaluasi dan bersama Bawaslu menindak dugaan kecurangan. Sebab, kata Hadar, masifnya kesalahan saat penginputan suara pada Sirekap sedikit-banyak membuat kegaduhan yang menimbulkan niat untuk membawa perkara ke Mahkamah. “Begitu pula proses verifikasi faktual partai. Sejak awal ini menjadi persoalan. Semestinya segera dievaluasi,” kata Hadar.
Adapun komisioner KPU, Mochamad Afifuddin, saat dimintai konfirmasi tak menampik ihwal bertambahnya jumlah permohonan sengketa hasil pemilihan legislatif ke Mahkamah Konstitusi. Dia mengatakan, dibandingkan dengan Pemilu 2019 secara kuantitas, pada Pemilu 2024 memang lebih banyak permohonan perkara PHPU. Namun pertambahan jumlah perkara ini terjadi karena Mahkamah tidak bertindak seperti pada 2019. “Pada 2019, permohonan yang masuk tidak semuanya langsung diregister oleh Mahkamah Konstitusi. Tapi, pada 2024, Mahkamah Konstitusi meregister semua permohonan yang diajukan,” kata Afifuddin.
Afifuddin enggan berkomentar banyak ihwal evaluasi KPU untuk memutus tren meningkatnya jumlah permohonan sengketa hasil pemilihan legislatif dari pemilu ke pemilu. Afifuddin menyarankan Tempo bertanya dan meminta pendapat kepada sejumlah pakar. Dia menegaskan, KPU siap mengikuti rangkaian persidangan di Mahkamah Konstitusi. “Sudah ada tim hukum KPU serta sudah disiapkan jawaban dan alat bukti untuk membantah dalil para pemohon,” ujarnya.
Ihwal evaluasi, Yance Arizona mengatakan, agar penyelenggaraan pemilu berjalan dengan baik, KPU harus mendapat dukungan dari banyak kalangan, misalnya dari DPR. Menurut Yance, pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Pembatasan Uang Kartal akan membantu penyelenggaraan pemilu terbebas dari politik uang. “Pengetatan aturan dana kampanye juga amat penting. Jadi tidak hanya soal teknis untuk membuat pemilu lebih baik lagi,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Eka Yudha Saputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini