Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

Masyarakat Sunda Wiwitan Patungan Beli Kembali Tanah Leluhur

Masyarakat adat Sunda Wiwitan terpaksa patungan membeli kembali tanah leluhur mereka yang sudah menjadi hak milik pemerintah.

4 September 2017 | 05.31 WIB

Dewi Kanti, buyut Madrais (pendiri sunda wiwitan) di rumah paseban, Kecamata Cigugur, Kab Kuningan, Jabar, 24 Agst 2017. DEFFAN PURNAMA
Perbesar
Dewi Kanti, buyut Madrais (pendiri sunda wiwitan) di rumah paseban, Kecamata Cigugur, Kab Kuningan, Jabar, 24 Agst 2017. DEFFAN PURNAMA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - - Masyarakat adat Sunda Wiwitan asal Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, terpaksa patungan untuk membeli kembali tanah leluhur mereka yang sudah menjadi hak milik pemerintah. "Kami harus patungan untuk membeli wilayah yang dahulu adalah situs kami yaitu Curug Goong," kata Girang Pangampi masyarakat Sunda Wiwitan, Oki Satrio di Cirebon, Minggu 3 September 2017.

Sampai saat ini, menurut Oki, masyarakat adat Sunda Wiwitan baru bisa membeli kawasaan Curug Goong seluas satu hektare dan masih ada dua hektare yang belum terbeli. Situs masyarakat adat Sunda Wiwitan sekarang ini sudah banyak yang berpindah tangan dan banyak juga hilang, karena bergantinya tampuk kekuasaan. "Situs kami banyak yang hilang seiring adanya berbagai aturan," tuturnya.

Jaka Rumantaka. Elik Susanto

Pembelian situs Curug Goong merupakan salah satu cara, untuk masyarakat adat mempertahankan peninggalan leluhur mereka, agar kelak anak cucu mereka bisa mengetahui situs tersebut. "Kami membeli bukan untuk dipergunakan secara pribadi, namun kami menjadikan wilayah komunal," ujarnya.

Baca: Jaka Rumantaka: Tanah Itu Milik Ibu Saya

Sementara itu untuk situs mereka yang hilang termasuk banyak di antaranya situs Gunung Purna, Luwung Letik, Curug Goong, Sahiyang dan masih ada beberapa lainnya.

Seperti diketahui, Masyarakat penghayat Sunda Wiwitan di Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, menggelar aksi penolakan eksekusi tanah adat oleh Pengadilan Negeri Kuningan, pada Kamis 23 Agustus 2017. Dengan mengenakan pakaian adat, sejumlah anggota masyarakat penghayat Sunda Wiwitan merebahkan tubuh mereka di tengah jalan. 

Dewi Kanti, salah seorang anggota Sunda Wiwitan, mengatakan eksekusi lahan bertentangan dengan prinsip keadilan hukum dan inkonstitusional. "Lahan ini merupakan zonasi Cagar Budaya Nasional, yang sudah tercatat sejak tahun 1976 di Departemen Kebudayaan dan Pendidikan Indonesia," kata Dewi sembari menambahkan kalau amar putusan pengadilan dinilai diskriminatif dan cacat hukum karena meminggirkan nilai sejarah dan budaya.

Kasus bermula dari gugatan salah satu keturunan Pangeran Tedja Buana yang memiliki tanah adat. Jaka Rumantaka, salah satu keturunan yang mengklaim menjadi pewaris tanah adat Sunda Wiwitan yang luasnya 224 meter persegi itu mengugat ke pengadilan. Tanah adat sendiri digunakan leluhar warga adat  meski tidak membuat sertifikat tanah.  Kasus sengketa berlanjut ke Mahkamah Agung dan telah mengeluarkan putusan kasasi yang mengabulkan gugatan Jaka. MA lalu menempuh langkah eksekusi.

Kasus tanah adat ini melengkapi teror yang dialami masyarakat penghayat  Sunda Wiwitan. Sebelumnya beberapa kali mereka mengalami diskriminasi, termasuk permintaan pemerintah agar mereka mencantumkan kenyakinan mereka pada kolom agama di KTP. Masyarakat penghayat Sunda Wiwitan tersebar di sejumlah daerah di Provinsi Banten dan Jawa Barat, seperti Cigugur dan Lebak.

IVANSYAH | ANTARA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Widiarsi Agustina

Widiarsi Agustina

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus