Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG siswa kelas I SD dengan lancar membaca: ini budi. Gurunya lantas menghapus tulisan itu, dan menulis ini ibu. Murid itu yang diminta lagi membaca tulisan baru itu, tertegun. Lama tak keluar sepatah kata pun dari mulutnya. Beberapa temannya bisa dengan baik membaca basah atau bangka. Tapi susah pun terkadang dibaca basah, dan becak dibaca bangka pula. Itu bukan sebuah adegan drama anak-anak atau adegan film seri TVRI. Itu hanya sebuah kenyataan yang ditemukan oleh Sam Isbani, 56 tahun, dosen Fak. Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo. Semula satu survei 1978 oleh mahasiswanya menemukan bahwa para guru SD di Solo belum mempunyai sistem mengatasi kesukaran murid-murid membaca. Kemudian dosen wanita itu tertarik membuat penelitian untuk mengatasi kesulitan membaca di SD. Hasil penelitian itu akhirnya menjadi disertasi dan diajukan di IKIP Yogya, 22 Januari. Dengan disertasi berjudul Eksperimentasi Teraputik Kesukaran Membaca Komprehensif setebal 189 halaman itu ia dinyatakan berhak menyandang gelar doktor. Disertasinya mendapat predikat memuaskan. Menurut promovenda, contoh kesukaran membaca seperti yang diceritakan itu muncul karena dipakainya metode SAS (struktural analitik sintetik) pada pelajaran di SD kita dalam Kurikulum 1975. Metode itu bagi anak-anak yang pintar, katanya, pengaruhnya tidak besar. Bagi siswa kelas I dan II SD yang kurang pintar membaca itu benar-benar menjadi "pelajaran menghafal kalimat." Metode SAS mengajarkan membaca tidak berangkat dari huruf dan kata, tapi dari kalimat turun ke kata lantas ke suku kata, lantas setop. Menurut Ny. Isbani, ini menyulitkan siswa untuk nengenal huruf yan terdiri dari konsonan dan vokal itu. Dan karena membaca bulan sekadar membunyikan simbol kata -- di sini pun terjadi proses berpikir murid mengalami kerugian dalam latihan berpikir analisis dan sintetik. Bisa dipahami kalau kemudian terjadi seperti yang dicontohkan tadi. Akibatnya, menurut Ny. Isbani, bisa jauh. Kesukaran membaca bisa menjadi awal kesukaran menangkap arti kata atau kalimat. Kalau sudah begitu siswa akan kehilangan gairah membaca: "Tapi penelitian saya tak bermaksud mengubah metode SAS, lho," kata ibu dari empat anak ini. "Saya hanya membantu mencari metode perbaikan bagi anak yang kesukaran membaca." Sam Isbani mengambil 12 SD di Kecamatan Laweyan, Solo. Orangtua murid di kawasan ini cukup representatif dari buruh, tukang becak, guru, tentara hingga saudagar batik kaya raya. Persiapan penelitian itu dibuatnya sejak 1980. Tapi pelaksanaannya hanya selama tiga bulan, tahun lalu. Dari 12 SD itu diambilnya siswa kelas III saja. "Sebab, di kelas III SD-lah awal pelajaran membaca lanjutan. Di kelas I dan II baru permulaan saja, belum begitu kompleks masalahnya," tuturnya kepada TEMPO. Sembilan puluh anak yang mengalami kesukaran membaca dibaginya menjadi 9 kelompok. Perinciannya: 3 kelompok mengalami kesukaran berat, 3 lagi sedang, dan sisanya kesukaran ringan. Perincian ini kemudian diatur lagi menjadi tiga kelompok besar yang masing-masing beranggotakan kelompok kesukaran berat, sedang, dan ringan. Yang hendak diujinya ialah metode VAKT (metode pelajaran membaca lewat penglihatan, pendengaran, gerakan, dan rabaan). Metode ini biasanya digunakan untuk mengajar di sekolah luar biasa. Satu kelompok besar pertama diberi pelajaran membaca dengan VAKT yang simultan. Kelompok kedua dengan metode VAKT unit. Metode ini berbeda dengan metode SAS karena mengajarkan juga pengenalan huruf mati dan huruf hidup. Beda simultan dan unit ialah yang pertama bertolak dari bacaan satu alinea, dan yang kedua hanya dari satu kalimat. Pelaksanaan pengajaran di dua kelompok ini dilaksanakan oleh tim promovenda. Sedangkan kelompok ketiga tetap diajar dengan metode SAS, dan tenaga pengajarnya pun guru mereka sendiri. Metode VAKT memang tak sekadar belajar membaca tulisan. Siswa diminta juga memperagakan hal yang dibaca. Sewaktu membaca cerita kancil yang menyeberang sungai dengan melompat pada punggung buaya, misalnya, siswa diminta menirukan kancil melompat. Lalu siswa membaca dalam hati, membaca keras-keras, kemudian ia diminta menceritakan isi bacaan luar kepala. Itu semua untuk mengecek apakah siswa benar-benar memahami isi bacaan, bukan sekadar membunyikan kalimat. Kesimpulannya, dengan membaningkan tiga kelompok besar itu: perbaikan lewat metode VAKT, yang simultan maupun yang unit, memberi hasil memuaskan. Dalam waktu tiga bulan itu siswa yang mendapat metode VAKT mampu memahami isi bacaan dengan cepat, mampu menceritakan kembali bacaan itu luar kepala, dan mampu pula menuliskan dengan kalimat mereka sendiri isi bacaan yang baru saja mereka baca. Maka Sam Isbani, lulusan Fak. Pedagogik UGM 1961 -- fakultas ini kemudian bergabung dengan IKIP Yogyakarta -- akhirnya mengakui perlunya evaluasi penerapan metode SAS selama ini. Sebab ia menemukan, betapa jauh beda kemampuan siswa yang ditolong dengan metode VAKT dibanding yang terus-terusan diajar dengan SAS. Sebagai sampingan, Ny. Isbani pun meninjau latar belakang keluarga para siswa. Ternyata anak-anak yang pintar membaca di rumah diajari membaca oleh kakak, ayah atau ibu sendiri. Dan mereka, tentu saja, tidak memakai metode SAS, tapi dengan metode klasik: dengan cara pengenalan huruf, suku kata, lantas kata, baru kalimat. Ibu Haryono, pengusaha batik di Laweyan, misalnya, dulu terpaksa menggaji guru privat untuk putranya, yang kini duduk di kelas VI SD. "Pelajaran membaca di sekolah sekarang tidak membuat anak bisa belajar sendiri," tuturnya kepada TEMPO. "Tapi harus dibantu " Keluhan seperti itu tidak datang dari Ibu Haryono saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo