Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Pernah menjadi korban pelecehan seksual di bus Transjakarta membuat AS selalu waswas setiap kali menggunakan angkutan umum. Namun perempuan berusia 25 tahun itu tidak punya pilihan. Ia cuma bisa mengandalkan transportasi publik untuk berangkat dan pulang kerja. Hanya, sekarang dia menjadi lebih waspada. “Sebelum naik, aku biasanya lihat-lihat dulu,” kata perempuan yang tinggal di Jakarta Barat ini, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut AS, pengalaman di bus Transjakarta yang membuatnya trauma itu terjadi beberapa bulan lalu. Saat itu bus penuh penumpang. Seorang laki-laki yang berdiri di belakangnya melakukan tindakan tidak senonoh. Secara spontan AS berteriak. Petugas Transjakarta yang berjaga di dalam bus pun dengan sigap memberikan bantuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kini, AS lebih sering menggunakan KRL Commuter Line. Namun kewaspadaannya tidak pernah surut. Ia selalu memilih gerbong khusus perempuan. Kalau terpaksa berada di gerbong umum, ia berusaha berdiri di pojok dekat pintu atau di dekat petugas keamanan. “Kalau terlalu penuh, aku milih menunggu kereta berikutnya,” kata dia.
Calon penumpang membubuhkan tanda tangan sebagai simbol dukungan atas pencegahan tindakan pelecehan seksual saat kampanye pencegahan dan pelaporan tindakan pelecehan seksual di Stasiun Pasar Senen, Jakarta, 29 Juni 2022. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Kejahatan seksual di angkutan umum bukan cerita baru. Para pelaku bebas berkeliaran tanpa terkena jeratan hukum. “Tapi sekarang sudah ada Undang-Undang TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual),” kata komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, Dewi Kanti. “Kami berharap korban bisa mendapat keadilan dengan adanya undang-undang ini.”
Sayangnya, kata Dewi, pemerintah belum menyelesaikan aturan turunan Undang-Undang TPKS. Aturan turunan ini penting bagi petugas di lapangan agar dapat menindak para pelaku. “Tapi setidaknya ini bisa menjadi kepastian hukum bagi korban,” kata dia.
Dewi mengatakan Komnas Perempuan telah bertemu dengan PT KAI untuk membahas prosedur standar dan penanganan kasus pelecehan seksual di kereta. Salah satu materi yang dibahas adalah pola dan modus kejahatan yang dilakukan pelaku. Selain itu, perlu dibuat mekanisme yang memudahkan korban melapor.
Khusus untuk mencegah kejahatan seksual di KRL, kata Dewi, dimungkinkan menggunakan kamera CCTV agar bisa membatasi ruang gerak pelaku. “CCTV disebar di sejumlah titik dan terintegrasi dengan monitoring system,” ujarnya. “Itu cukup mendukung untuk mengidentifikasi pelaku.”
Koordinator Humas KRLmania, Gusti Raganata, berharap Undang-Undang TPKS benar-benar bisa menjadi panduan untuk menjerat pelaku kejahatan seksual di angkutan umum, termasuk di KRL. “Kalau ada unsur pidananya, ya, ditindak,” kata dia. Dengan adanya hukuman, pelaku akan berpikir dua kali untuk mengulangi perbuatannya.
Pengamat transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno, mengatakan pelecehan seksual di angkutan umum memang sering terjadi. Pelaku umumnya adalah orang-orang iseng atau memang memiliki kelainan jiwa.
Menurut Djoko, tidak mudah memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan seksual. Namun dia mengapresiasi langkah yang dilakukan PT KAI terhadap seorang pria yang kedapatan melecehkan seorang perempuan di kereta api, beberapa waktu lalu. “Mem-blacklist nama pelaku itu adalah suatu kemajuan,” kata dia. Dengan memasukkan nama pelaku dalam daftar hitam, kata Djoko, orang tersebut tidak bisa lagi menggunakan kereta api. “Itu bagian dari bentuk pelayanan terhadap penumpang.”
Djoko mengatakan PT KAI dimungkinkan untuk menerapkan mekanisme tersebut karena setiap penumpang kereta api harus menggunakan data lengkap saat membeli tiket. Namun, untuk transportasi publik, seperti KRL dan Transjakarta, pola itu tidak bisa dijalankan. Karena itu, tiap angkutan umum perlu membuat prosedur standar untuk mencegah kejahatan seksual. “Misalnya dengan membatasi jumlah penumpang agar tidak berdesak-desakan,” katanya. “Bisa juga dengan menambah jumlah petugas untuk pengawasan.”
Vice President Public Relations PT KAI, Joni Martinus, mengatakan manajemen memberi perhatian kepada pencegahan kejahatan seksual di kereta api. Karena itu, di setiap kereta yang dioperasikan, selalu ada petugas yang ditempatkan untuk berpatroli. Di setiap gerbong kereta juga dipasang nomor pengaduan agar penumpang mudah memberi laporan. “Petugas kami akan siap menindaklanjuti setiap laporan,” kata dia. “Kami pastikan juga CCTV selalu dalam kondisi baik.”
Untuk langkah pencegahan, kata Joni, PT KAI berupaya mengedukasi pelanggan agar saling menghormati. Sosialisasi dilakukan melalui pengumuman di stasiun ataupun selama perjalanan kereta. “Sedangkan untuk kasus pelecehan seksual, sesuai dengan Undang-Undang TPKS, itu masuk delik aduan,” katanya. “Kami siap mendukung korban jika mau mengambil langkah hukum.”
RIRI RAHAYUNINGSIH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo