Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah pengangguran mencapai 7,86 juta orang per Agustus 2023. Jumlah tersebut merepresentasikan 5,32 persen dari keseluruhan angkatan kerja di Indonesia pada Agustus 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah menyebut sekitar 12 persen pengangguran di Tanah Air didominasi oleh lulusan sarjana dan diploma. Menurut dia, tingginya jumlah pengangguran dari lulusan perguruan tinggi itu disebabkan oleh ketiadaan relevansi (link and match) dengan pasar kerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Kami masih memiliki pekerjaan rumah, jumlah pengangguran lulusan sarjana dan diploma masih di angka 12 persen,” akata Ida, dikutip dari laman Universitas Gadjah Mada (UGM), Kamis, 23 Februari 2023.
Menurut Ida, jumlah kelompok kerja saat ini mayoritas berasal dari lulusan pendidikan menengah pertama (SMP) dan dasar (SD). “Kelompok yang bekerja sebagian berpendidikan SMP ke bawah, yang menganggur justru lulusan SMK, diploma, dan sarjana,” ujarnya.
Lantas, mengapa lulusan baru (fresh graduate) susah mendapatkan kerja?
Penyebab Fresh Graduate Susah Dapat Kerja
Head of Human Capital PT Praweda Ciptakarsa Informatika, Alfeus Nehemia menjelaskan beberapa alasan tingginya jumlah pengangguran yang didominasi oleh lulusan baru dari jenjang sarjana dan diploma. Berikut rinciannya:
1. Keterampilan tidak sesuai kebutuhan pasar
Alfeus mengatakan sebagai seorang human capital, dia sering kali berhadapan dengan kondisi merasa kesusahan mencari calon pekerja yang layak dan sesuai dengan kualifikasi yang diharapkan. Banyak dari pelamar yang menawarkan keahlian tidak sesuai dengan kebutuhan perusahaan.
“Kalau kalian bilang susah cari kerja, kami sebagai perusahaan juga susah cari karyawan. Akibat adanya mismatch (ketidakcocokan) antara keterampilan yang dibutuhkan dan yang ditawarkan pelamar,” kata Alfeus dalam Webinar Career Buddy Program Direktorat Pengembangan Karir, Inkubasi Kewirausahaan, dan Alumni (DPPKA) dan PT Jobhun Membangun Indonesia, Sabtu, 18 Juni 2022, dikutip dari situs Universitas Airlangga (Unair).
2. Ekspektasi terlalu tinggi
Ketika lulus dari perguruan tinggi bergengsi, kata Alfeus, tak jarang seseorang memiliki ekspektasi tinggi untuk mudah mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi. Hal itu, menurut dia, dapat membuat fresh graduate terlalu percaya diri dan melabeli diri dengan nilai tinggi. Padahal lulusan baru belum tentu dibekali dengan kompetensi yang layak.
“Perusahaan tidak hanya melihat almamatermu, tetapi juga melihat kompetensinya seperti apa, layak tidak untuk dibayar tinggi,” ujar Alfeus.
3. Minim lapangan pekerjaan
Terbatasnya penyedia lapangan kerja juga, menurut Alfeus, dapat mengakibatkan melonjaknya jumlah pengangguran. Hal itu semakin diperburuk dengan hadirnya pandemi Covid-19 yang menyebabkan pemutusan hubungan kerja atau PHK massal. Maka dari itu, jumlah lapangan kerja tidak sebanding dengan jumlah fresh graduate atau pencari kerja lainnya.
“Hampir 29,12 juta penduduk angkatan kerja terdampak pandemi. Mungkin sudah sedikit recover (pulih), tetapi perlu diingat bahwa lulusan baru yang menunggu peruntungan untuk memperoleh pekerjaan selalu bertambah di tiap tahunnya,” kata Alfeus.
Oleh karena itu, kata Alfeus, tantangan generasi muda termasuk fresh graduate usai pandemi untuk mencari kerja justru lebih berat. “Karena harus bersaing dengan ribuan orang untuk memperebutkan pekerjaan yang semakin sedikit,” ujarnya.
MELYNDA DWI PUSPITA