Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mengapa Rakyat Mengadu Ke Pusat

Penduduk Angsana melaporkan penyelewengan kepala desanya pada DPRD, akibatnya mereka ditahan. Penyelesaian pengaduan rakyat di luar forum DPRD lebih cepat. Kemudian rakyat mengadu ke pusat. (nas)

7 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUNUWARDOYO, 43 tahun, guru SD Karangtalun, Cilacap, siang 12 Maret lalu baru pulang dari melapor dan memberikan data-data tambahan pada Opstib Pusat di Jalan Diponegoro Jakarta. kembali ke tempat penginapannya, Sunu membaca berita koran: "DPR membuka pintu untuk segala keluhan rakyat. " Kontan ini membuat Sunu dan teman-temannya girang dan bergairah. Mereka merasa mendapat tempat mengadu lebih banyak. Segera esoknya mereka datang ke DPR-RI di Senayan. Naik bis kota. Tapi kali itu mereka gagal. Humas DPR menjelaskan pada Sunu cs bahwa DPR sedang reses. Baru 20 Maret lalu mereka berhasil bertemu dengan Fraksi Karya Pembangunan (FKP) dan Fraksi PDI. Apa yang diadukan mereka? Sunuwardoyo bersama Soeparman, 67 tahun, pensiunan guru SD Karangtalun, dan Suryadi (44 tahun) melaporkan tentan~g manipulasi ganti rugi tanah rakyat untuk pembangunan pabrik semen Nusantara, Cilacap. Pada 12 Pebruari 1975, 187 warga desa Karangtalun dikumpulkan di balai desa untuk menghadap Panitia Pembebasan Tanah untuk pembangunan pabrik semen Nusantara yang diketuai Bupati Cilacap RYK Mukmin. Rakyat meminta harga Rp 2.000 per mÿFD sedang Panitia menawar Rp 500. Sampai sore tawar menawar tak kunjung rampung Rakyat minta perundingan diundur sampai esok harinya, tapi panitia keberatan dan menyatakan "po~koknya harus selesai hari ini," cerita se~orang penduduk. Pertemuan berakhir jam setengah tujuh malam tanpa hidangan apa pun kecuali segelas teh. Penduduk terpaksa menyetujui harga yang ditetapkan Panitia. "Pokoknya Panitia tidak memaksa, tapi harus boleh dengan harga yang telah ditetapkan," ujar seorang penduduk menirukan ucapan Panitia. Keputusan Panitia tidak boleh ditolak. Harga tanah kelas I per ubin (14 mÿFD) Rp 12.000. Kelas II dan III masing-masing Rp 8.500 dan Rp 5.000. Rakyat menerima dengan mendongkol. "Yah, mau bagaimana lagi. Kami kan rakyat kecil yang tidak bisa apa-apa," cerita mereka pada TEMPO. Belakangan mereka tahu PT Semen Nusantara ternyata membeli tanah itu dari Panitia sebesar Rp 1.950 per mÿFD tanpa mengadakan klasifikasi tanah. Kedongkolan itu mengendap sampai lahirnya Opstib di pertengah~n 1977 Sunuwardoyo yang mengaku an~gota Golkar bersama beberapa temannya segera menulis laporan yang dikirm ke Kotak pos 999 pada 10 Nopember 1977. Pebruari lalu, Opstipda memeriksa Sunu cs secara rahasia. Menyusul kemudian pada Mei 1978 beberapa or~an~g yang tanahnya tergusur paksa itu dipanggil juga oleh Opstibda. Semua ini menggembirakan Sunu cs. TAPI penyelesaian yang mereka tunggu tak kunjung tiba. Dengan memberanikan diri pada 19 September 1978 mereka menanyakan penyelesaian laporan mereka lewat surat ke Opstibda dengan tembusan ke Pangkopkamtib Sudomo dan Menteri PAN J.B. Sumarlin. Tali balasan yang ditunggu tak juga datang. Akhir Desember lalu Sunu dan seorang temannya datang ke Jakarta, menemui Opstib Pusat. Letkol Polisi Soejatno yang menerima mereka, kata Sunu, mengatakan: "Lho, Pusat belum menerima laporan tentang itu." Kedatangan Sunu kemudian dianggapnya laporan yang pertama kali. Maret lalu Sunu kembali ke Jakarta, membawa data-data tambahan, sampai terbaca koran yang membawa mereka melapor ke DPR. Mengapa mereka tidak melapor ke DPID Cilacap saja? "Bukan saya tidak percaya pada DPRD, tapi saya mengharapkm penyelesaian yang tuntas dan tidak berlarut-larut," jawab Sunu. Mereka pergi ke Jakarta dengan biaya sendiri. "Walau kami membawa mandat dari warga desa, kami tidak berani minta iuran karena toh belum tentu hasilnya," kata Sunu cs pada TEMPO pekan lalu. Bagaimana sikap DPRD Cilacap? "Masalah ini kami percayakan pada Opstib maka kami tidak berani turun tangan," kata Ketua DPRD Cilacap Soedarso. Daerah Karangtalun termasuk jalur industri yang sudah ditetapkan pemerintah dan sudah diclaim oleh gubernur sebagai Kepala Daswati I. Panitia Pembebasan Tanah Tingkat II bekerja di bawah Panitia Tingkat I. Apakah pembebasan tanah Karangtalun wajar? "DPRD tidak pernah diajak rundingan dalam menentukan harga tanah itu," jawab Soedarso. Ia tidak merasa dilangkahi karena Sunu cs langsung melapor ke pusat. Tapi ia masih curiga. "Saya menduga kalau ada unsur politiknya. Walau saya nggak pasti politik yang mana, yang jelas politik ekonomi," katanya. Soedarso juga menduga: "Dalam situasi menjelang berakhirnya masa jabatan bupati, janganjangan mereka memanfaatkan untuk menjelek-jelekkan bupati." Bupati Cilacap RYK Mukmin akhir April depan akan berakhir masa jabatannya. Sunuwardoyo cs tampaknya mewakili gambaran dari suatu proses sosial yang sedang berlangsung di Indonesia. Rakyat biasa makin banyak datang ke DPR-RI di Senayan untuk mengadu atau menyampaikan keluhan. Mereka seakan menemukan di lembaga yang menempati gedung megah di Senayan itu suatu tumpuan harapan. Bahwa keluhan mereka, ketidak adilan yang mereka rasakan, didengar, disalurkan dan akan diselesaikan. Gejala apa ini? Apa yang mendorong rakyat sederhana dari udik --banyak di antaranya yang belum pernah menginjak Jakarta -- datang mengadu ke DPR? Sebuah delegasi dari Bengkulu datang nenemui Amin Iskandar dari Fraksi Persatuan Pembangunan, mengadukan kasus mereka karena mereka pernah mendengar nama Amin Iskandar di daerah asal mereka. Warga desa Patimuan Cilacap, yang sebagai petani penggarap bersengketa dengan perkebunan datang ke fraksi PDI karena mereka merasa warga PDI. Sedang Sunu cs dan banyak lagi datang ke FKP karena mereka mengaku warga Golkar. Mengapa mereka tidak mengadu ke DPRD setempat? Atau mencari penyelesaian pada pihak yang berwajib setempat? Daryatmo menyebut beberapa alasan mengapa rakyat mengadu langsung ke DPR. Mungkin keluhan rakyat "dipetieskan" atau tidak diperhatikan di tingkat daerah. Faktor lain yang mendorong rakyat berdatangan ke DPR adalah situasi dan kondisi yang memungkinkan untuk berbuat demikian. Ketua DPR ini sependapat dengan Presiden bahwa tiap orang harus berani memberikan kritik dan kritik yang baik itu harus diterima dengan senang. Bagaimana cara penyelesaian kasus yang diadukan rakyat? "Secara koordinatif FKP dan DPP Golkar selalu bersama-sama menangani masalah," kata Ketua FKP Sugiharto. Menurut Ketua Tim Tanah FKP Oka Mahendra, bila masalahnya bersifat nasional, FKP akan membawanya ke komisi dan pejabat pemerintah yang bersangkutan. "Kalau masalahnya mendesak, kita panggil pemerintah untuk apat kerja." Juga laporan peninjauan anggota FKP dipakai melengkapi laporan sekaligus memberi bukti benar tidaknya laporan itu. Bahwa FKP berusaha berdiri di tempat terdepan untuk menyelesaikan kasus-kasus yang masuk ke DPR bisa dimengerti. Karena umumnya pengaduan rakyat itu melibatkan pejabat yang secara formil bercap Golkar. "Usaha membersihkan oknum bercap Golkar yang kurang ajar memang perlu ditingkatkan. Banyak yang bercap Golkar tapi itu hanya capnya saja. Tindakamlya tidak sesuai dengan garis Golkar," kata anggota FKP Suharto Kusumohartono. Munculnya rakya yang menjejakkan kaki mereka di gedung DPR Senayan tampaknya memberi angin segar pada lembaga perwakilan ini. Seakan memberi rangsangan semangat pada para wakil rakyat untuk bisa benar-benar berfungsi sebagai "wakil rakyat." Bukan pemandangan asing lagi kini bagi karyawan dan anggota DPR melihat orang-orang dengan tampang udik bersahaja, datang dengan wajah capai, baju kotor bau keringat dengan sandal plastik menenteng map lusuh berisi bukti-bukti pengaduan. Mereka umumnya tertegun dan bingung kalau masuk lift menuju ke ruangan fraksi. PEKAN lalu misalnya, datang Ki Winoto Sagimin (57 tahun) petani Kebon Dalem, Kecamatan Bangun Rejo, Banyuwangi bersama Syamiun (52 tahun) bekas lurahnya. "Jadi ruangan ini kepunyaan Golkar, pak," tanya Syamiun ketika diterima di ruang FKP. Mereka mengadukan keputusan Mahkamah Agung untuk kemenangan pihak mereka yang belum juga bisa dilaksanakan sekalipun mereka sudah melapor ke Ditjen Agraria dan Opstib. Lain dengan Ny. Anny. Ia bersama 14 rekannya dari Yayasan Kesejehtaraan Veteran Jakarta mengadukan ganti rugi tanahnya yang digusur BPO Pluit pada 1974 yang sampai sekarang belum diterimanya. Berapi-api, sambil menangis, ia selalu menyebut "Pak Daryatmo" pada Wakil Ketua DPR Isnaeni yang menerimanya. "Maaf, saya memang belum mengenal wajah Pak Isnaeni. Saya hanya tahu Ketua DPR itu Pak Daryatmo," katanya. Kamad Karnadi, rekannya senasib mengaku terpaksa mengadu ke DPR setelah 153 surat yang dikirimnya di samping menemui beberapa pejabat belum juga menyelesaikan kasus mereka. Mengapa rakyat lebih suka mengadu ke DPR daripada ke DPRD? "Karena komposisi anggota DPRD yang terlalu banyak pegawai negeri," kata anggota DPRD Tingkat I Sumatera Barat dari FKP A.A. Navis pada TEMPO "Pegawai negeri di republik ini kan mentalnya anak buah. Sebagai anak buah ia tidak bisa berbuat banyak rerutama jika pengaduan rakyat menyangkut ulah 'bapak buah'," kata Navis. Pers daerah dianggapnya juga kurang memberi tempat bagi kegiatan DPRD ketika membahas atau menyidangkan acara yang menyangkut keluhan rakyat. Ramli, anggota DPRD Tingkat II Sumatera Barat Utara malahan tegas-tegas mengakui bahwa dewan yang diwakilinya memang impoten. Maksudnya tidak berani menindak atau membongkar penyelewengan pejabat karena takut kehilangan abatan. Agaknya banyak anggota DPRD yang merasa tidak bebas berbicara. Buktinya waktu ketua DPP Golkar Amir Murtono tiga pekan lalu mengunjungi Sumatera Barat, dalam suatu pertemuan ada anggota DPRD yang "mohon agar anggota DPRD diberi kebebasan sedikit untuk bicara hingga rakyat tidak cuma mengadu langsung ke DPR Pusat." Kontan Amir Murtono menukas: "Siapa yang melarang saudara?" Larangan semacam itu, tegasnya, tidak pernah ada. Itu diakui para anggota DPRD. "Tapi bila perangai pejabat kita sebut, bisa-bisa jadi kita dituduh runcing tanduk, "kilah seorang anggota DPRD Tingkat II 50 Kota. Artinya: bisa mengancam kedudukan anggota DPRD itu. Ada DPRD yang merasa tidak dilangkahi rakyat karena langsung mengadu ke DPR Pusat, tapi ada juga yang gusar karena itu. Brigjen Adjat Sudradjat, Ketua DPRD Jawa Barat berpendapat bahwa rakyat yang melaporkan kasusnya ke DPR Pusat sebagai bermental penjilat. "Padahal kasus yang diselesaikan ke DPRD Tingkat I maupun II senantiasa diselesaikan dengan baik," katanya. Ia menunjuk kasus Lurah Angsana. Walaupun dilaporkan ke DPR Pusat akhirnya toh kembali ke daerah juga. Kenapa DPR melayani mereka? "Saya tidak tahu. Yang jelas saya bukan politikus, cuma orang yang ingin melihat pembangunan lancar dan sukses," kata sang Brigjen. DPRD Jawa Barat katanya lebih suka menyelesaikan kasus secara diam-diam. "Yang penting kan penyelesaiannya, bukan sohornya," katanya. Ia tak menyebutkan bahwa "penyelesaian" itu, jika memang ada, perlu diketahui rakyat. Tanpa itu rakyat cuma tahu DPRD terlalu "tenang" alias membisu. DPRD ini memang kelihatan tidak sibuk. Selama setahun ini, DPRD ini mengadakan 14 kali Sidang Paripurna, 30 kali rapat Panitia Musyawarah, 85 kali Rapat Komisi dan 20 kali rapat Panitia Khusus. Hasilnya: 9 keputusan, 4 Peraturan Daerah dan 93 Risalah alias laporan. Satu di antara Peraturan Daerah itu merupakan inisiatif dari dewan, yang lainnya "dropping dari Pemda." Apa fasilitas yang diterima anggota? "Kotor, Rp 93.000 per bulan," kata Hijaz. Tidak termasuk uang saku Rp 1.500 sekali sidang. Bisa juga diperoleh kredit untuk membeli skuter Vespa. Kini bebeù rapa anggota dikabarkan berusaha menapat kredit untuk membeli tanah. Dari Sulawesi Selatan ada pendapat lain tentang kurang berfungsinya DPRD. "Dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan di Daerah memang DPRD merupakan bagian dari Pemerintah Daerah," kata H.R. Salampessy dari Fraksi ABRI DPRD Sulawesi Selatan. "Jadi katakanlah 30% saya ini wakil rakyat, 70% sebagai pemerintah," seorang anggota lain mengakui. Kalau ada masalah, biasanya ditampung DPRD lalu diteruskan ke eksekutif untuk diatasi. "Sesudah itu kita tidak tahu kabar beritanya lagi, " komentar beberapa anggota. Ada hambatan lain. Banyak Ketua DPRD Tingkat II yang anggota ABRI dan pangkatnya jauh lebih rendah dari Bupati yang juga ABRI. "Hingga pernah kejadian, seorang Ketua DPRD, Tingkat II disuruh beli rokok oleh Bupati," kata seorang anggota yang menolak disebut namanya. DPRD Sul-Sel juga mempunyai hambatan psikologis. Letak gedungnya yang di luar kota agaknya menjauhkan minat rakyat untuk mengadu ke sana. BELUM pernah bersidangnya DPRD untuk khusus membahas pengaduan rakyat tidak berarti tidak adanya rakyat yang mengadu. "Pengaduan itu umumnya kita selesaikan di luar DPRD sebab di daerah kecil begini hubungan pribadi antara anggota DPRD dan pejabat kabupaten biasanya erat," cerita Emil Sarosa, wakil ketua DPRD yang juga Ketua Golkar Lumajang, Jawa Timur. Emil mengakui, penyelesaian pengaduan rakyat di luar forum DPRD lebih cepat. "Kalau lewat sidang DPRD bisa jadi 3 bulan baru selesai satu masalah." katanya. Cara penyelesaian yang sama ditempuh juga oleh DPRD Tingkat I Jawa Timur. "Ada 3 cara penyelesaian di sini," kata Blegoh Sumarto, Ketua DPRD Ja-Tim. "Saya sampaikan langsung kepada Gubernurj diselesaikan lewat Badan Pertimbangan Daerah dan diselesaikan secara sidang. Tapi belum ada yang sampai diplenokan." Sekitar 70 pengaduan rakyat, hampir semuanya lewat surat, sekarang ditangani DPRD Tingkat I ini. Betulkah pengaduan ke DPR-RI akan lebih berhasil dibanding jika mengadu ke DPRD? Tampaknya ada juga hasilnya. Pengaduan sekitar 10 ribu penduduk Boyolali beberapa bulan lalu ke DPR tentang digelapkannya uang pembayaran sertipikat tanah mereka oleh beberapa Lurah cukup membikin geger Boyolali. "Kita berkeringat jadinya. Sekarang ini masalah ini sedang diselesaikan. Hasilnya akan cukup baik, bijaksana dan adil," kata Sudjadi, Humas Pemda Boyolali pada TEMPO. Penyelesaian yang diusulkan Gubernur Jawa Tengah Supardjo berpokok pada: rakyat tidak boleh dirugikan. Tak urung DPRD Boyolali tersengat oleh erosi kepercayaan rakyat Boyolali pada wakilnya di tingkat II. "Jika terus-terusan begini, tentu saja DPRD bisa kehilangan muka," kata Sugeng Mulyo, Ketua DPRD Boyolali. Ketua DPRD DKI Jaya, Darmo Bandoro tidak setuju dengan istilah erosi kepercayaan pada DPRD. "Jangan bilang krisis kepercayaan pada DPRD, itu terlalu ekstrim," katanya. Walau menganggap pengaduan rakyat ke DPR suatu hal yang positif, sebaiknya pengaduan melalui DPRD dulu. Perjuangan DPRD banyak juga yang berhasil. Darmo Bandoro menunjuk penyelesaian pemindahan Tempat Pemakaman Umum Blok P, Kebayoran yang dianggapnya berhasil sekali. "Saya sampai kewalahan menerima ucapan terimakasih," katanya. Sementara DPR sibuk dengan wajah barunya sebagai tempat pengaduan rakyat, ada juga DPRD yang menyibukkan diri dengan soal lain. Misalnya di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Banyak rakyat yang menyesalkan para wakilnya yang tampaknya lebih sibuk mengurus jatah kredit bis mini Colt. Setelah kredit keluar, para wakil rakyat ini ganti sibuk mempersoalkan lin mana yang harus dilewati mobil milik mereka. "Mereka terlalu sibuk mengurus fasilitds, hingga lupa mengurus rakyat," keluh seorang penduduk. Maksudnya, ketika timbul ribut-ribut soal ganti rugi tanah di Kuala Tanjung untuk Proyek Asahan, para wakil rakyat ini "lupa" membawa persoalan itu secara serius ke sidang DPRD. Akibatnya rakyat langsung mengadu ke pusat, di antaranya ke Opstib.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus