Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAMA Usman dan Harun mencuat lagi 45 tahun setelah jasadnya dikuburkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Nama dua anggota pasukan marinir itu menjadi nama kapal perang yang dibeli Indonesia dari Inggris. Pemerintah Singapura memprotes karena menganggap keduanya teroris yang mengebom Hotel MacDonald pada 10 Maret 1965.
Menteri Luar Negeri Kasiviswanathan Shanmugam melayangkan nota keberatan kepada Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dua pekan lalu. "Penamaan ini akan melukai perasaan rakyat Singapura, terutama keluarga korban," Shanmugam menulis dalam suratnya. Pemerintah Indonesia bergeming dan tak akan mencabut nama kapal yang baru tiba di Tanjung Priok pada Juni nanti itu.
Nama Usman-Harun untuk fregat ringan multifungsi itu sudah direncanakan sejak dua tahun lalu dan melalui proses panjang persetujuan pelbagai lembaga. Markas Besar TNI Angkatan Laut mengusulkan nama ini ketika dipimpin Laksamana Soeparno. "Riset sejarahnya panjang dan melalui tahap yang rumit," kata Soeparno kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Soeparno menyiapkan nama itu ketika kantornya mendapat kepastian Indonesia bakal mendapat tiga fregat dari Inggris. Pembelian kapal perang seharga US$ 385 juta atau sekitar Rp 4 triliun itu sempat tertunda karena diprotes Dewan Perwakilan Rakyat menyusul penolakan kapal oleh Brunei Darussalam untuk fregat serupa. Brunei beralasan ada dugaan penggelembungan harga dan pengurangan spesifikasi.
British Aerospace Systems Naval Ship memperkarakan Brunei ke Badan Arbitrase Internasional pada 2007. Arbitrase memenangkan gugatan produsen fregat itu. Mendapat kepastian hukum, pemerintah Indonesia mengajukan penawaran atas tiga kapal itu dan DPR menyetujuinya. Menurut Soeparno, sejak itu penamaannya digodok. "Idenya spontan," ujarnya. "Saya pilih nama pahlawan."
Referensi pemakaian nama pahlawan nasional untuk kapal perang dimulai pada 2006. Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Soebijanto ketika itu membuat peraturan penamaan kapal perang. Untuk jenis fregat, namanya diambil dari nama pahlawan, kapal perusak dari nama pulau besar di Indonesia, dan kapal selam dari nama senjata ampuh kesatria dalam pewayangan.
Maka waktu itu ada kapal perang yang dibeli dari Belanda diberi nama Pangeran Diponegoro. Pemerintah sempat ragu memberikan nama ini karena anak sulung Hamengku Buwono III itu dicap ekstremis oleh pemerintah Belanda. Dia memimpin Perang Jawa pada 1825-1830, yang menewaskan banyak anggota pasukan Belanda. Alih-alih memprotes, kata Soeparno, pemerintah Belanda malah membantu upacara pemberian nama itu di Den Haag.
Tim riset dan dokumentasi TNI Angkatan Laut mengusulkan tiga nama untuk tiga kapal perang yang dibeli dari Inggris, yakni Bung Tomo; John Lie atau Laksamana Muda Jahja Daniel Dharma, marinir penyusup yang selalu berhasil menembus barikade Belanda saat mengawal ekspor komoditas Indonesia ke luar negeri; serta prajurit marinir Usman dan Harun.
Soeparno sempat ragu memilih nama Usman-Harun karena sudah menduga akan mendapat protes dari Singapura atau Inggris. Dua negara itu masih menganggap Usman dan Harun sebagai teroris. Tapi ia jalan terus. Surat keputusan diteken dan ia minta disposisi kepada Panglima Tentara Nasional Indonesia, Menteri Pertahanan, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, serta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Desember 2012.
Kekhawatirannya terbukti dengan surat protes Menteri Luar Negeri Singapura itu. Tapi dia bergeming, apalagi muncul beragam pembelaan terhadap Usman dan Harun serta kecaman kepada Singapura yang dinilai turut campur pada kedaulatan Indonesia. "Saya bertanggung jawab dengan pemberian nama itu," ujar Soeparno.
Menteri Marty juga akan membalas surat protes Shanmugam tersebut dengan mengajak Singapura menutup sejarah konflik dua negara yang hampir setengah abad itu. "Indonesia dan Singapura harus tetap melanjutkan kerja sama dan memastikan tak ada efek yang tak diinginkan dari sebuah keputusan," katanya.
Syahdan, Hotel MacDonald di Orchard Road itu diledakkan Usman dan Harun pada dinihari, pukul 03.07. Hotel paling mewah di jantung Singapura itu luluh-lantak. Media-media setempat melaporkan tiga orang tewas dan sedikitnya 30 orang terluka. Pemerintah Singapura marah dan menyebut pelakunya teroris karena, meski konteksnya konfrontasi dengan Indonesia, lokasi yang diserang merupakan tempat bermukim warga sipil, bukan tangsi militer.
Data berbeda dilaporkan dalam buku Usman dan Harun Prajurit Setia, yang diterbitkan Direktorat Perawatan Personel TNI AL Sub-Direktorat Sejarah pada 1989. Di situ disebutkan korban meninggal sebanyak 30 orang dan 35 terluka. Ledakan bom nitrat 12,5 kilogram itu membikin 20 toko di sekitar hotel rusak berat dan 24 unit mobil hancur.
Sebenarnya bukan hanya dua orang itu yang berhasil menyusup ke MacDonald, melainkan juga Gani bin Arup, prajurit marinir. Ketiganya mendapat tugas menjalankan misi A Korps Komando Angkatan Laut berupa sabotase terhadap Singapura. Sabotase itu adalah rangkaian operasi militer Dwikora atas seruan ganyang Malaysia oleh Presiden Sukarno.
TNI merekrut ribuan sukarelawan untuk operasi menentang pendirian Federasi Malaysia yang meliputi Singapura, Brunei Darussalam, Sabah, dan Sarawak. Sukarno menuduh Malaysia mengkhianati perjanjian Manila yang mendukung kemerdekaan untuk keempat wilayah tersebut. Para sukarelawan Dwikora dilatih ketentaraan dan dikirim ke perbatasan Sumatera Timur hingga Kalimantan Utara.
Mereka juga diberi identitas baru. Usman bin Haji Muhammad Ali bernama asli Jalatin, prajurit marinir asal Desa Tawangsari, Purbalingga, Jawa Tengah. Nama asli Harun bin Mahdar adalah Tohir bin Said. Pelaut kelahiran Pulau Bawean, Surabaya, 4 April 1943, ini dipilih mengintai Singapura karena sudah hafal seluk-beluk negara kota itu—yang kerap dia kunjungi.
Menurut Kepala Dinas Penerangan Angkatan Laut Laksamana Pertama Untung Suropati, pengetahuan Harun tentang Singapura lumayan lengkap. "Ia paham hingga lorong-lorong Singapura," ujarnya. Maka penyusupannya berlangsung mulus hingga misi dinyatakan sukses.
Untung diraih, malang tak dapat ditolak. Usman, Harun, dan Gani memisahkan diri saat lari menuju pangkalan mereka di Pulau Sambu, Riau. Kapal yang dipakai Harun dan Usman mogok di tengah laut. Pasukan Singapura, yang mengetatkan penjagaan setelah ledakan tiga hari sebelumnya, memergoki mereka. Keduanya ditangkap dan diadili.
Pengadilan Singapura memvonis keduanya hukuman mati. Upaya pemerintah Indonesia meminta keringanan hukuman tak digubris. Pada 17 Oktober 1968, pukul 06.00 waktu setempat, keduanya hilang nyawa di tiang gantungan. Jasad kedua marinir ini dikirim ke Jakarta hari itu juga dan dimakamkan berdampingan. Adapun Gani tak ada kabar hingga kini. "Kami menerima informasi dia sudah meninggal," kata Untung Suropati.
Delapan tahun setelah pengeboman itu, Menteri Luar Negeri Singapura Sinnathamby Rajaratnam mengatakan keputusan Indonesia menjadikan Usman dan Harun sebagai pahlawan bukan urusan negaranya lagi. "Kenapa kita harus bersibuk dengan soal masa lalu?" ujar Rajaratnam kepada Tempo pada Mei 1973.
Imbauan Rajaratnam itu kini dilanggar penerusnya.
Maria Rita, Khairul Anam, Muhammad Muhyiddin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo