Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panda Dituntut Paling Berat
PANDA Nababan, terdakwa kasus cek pelawat, dituntut tiga tahun penjara dan denda Rp 150 juta. Jaksa menganggap Panda terbukti menerima 29 lembar cek pelawat senilai Rp 1,45 miliar dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004.
Total cek yang diterima politikus PDI Perjuangan itu semula Rp 1,95 miliar. Tapi, melalui Fadillah, stafnya, 10 lembar cek dicairkan dan dimasukkan ke rekening Fraksi PDIP atas nama Dudhie Makmun Murod.
Tuntutan terhadap Panda paling berat ketimbang 23 terdakwa lain, termasuk Paskah Suzetta, bekas Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, dan mantan anggota Badan Pemeriksa Keuangan Baharuddin Aritonang. Paskah dan Aritonang dituntut dua setengah tahun penjara, paling berat di antara terdakwa dari Golkar.
Menurut jaksa, hal yang memberatkan Panda adalah upayanya mempengaruhi saksi Fadillah. Adapun yang memberatkan Paskah, ia tak mengakui menerima cek senilai Rp 600 juta. Demikian pula Aritonang, yang tak mengaku pernah mendapat cek Rp 150 juta.
Legislator ‘Haram’ di Senayan
TERKUAKNYA pemalsuan surat putusan Mahkamah Konstitusi yang menyeret Andi Nurpati, politikus Partai Demokrat dan bekas anggota Komisi Pemilihan Umum, berbuntut panjang. Wakil Ketua Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat Ganjar Pranowo menduga ada anggota yang sebetulnya tidak layak duduk di parlemen. Dugaan itu muncul dalam pertemuan dengan Badan Pengawas Pemilihan Umum dan Komisi Pemilihan Umum. ”Ada empat surat putusan Mahkamah Konstitusi yang diduga dipalsukan,” kata Ganjar, Selasa pekan lalu. ”Maka, ujungnya ada kursi haram di DPR.”
Tim yang dibentuk sedang meneliti keempat surat yang diduga palsu itu. Dalam pertemuan itu terungkap, empat surat itu terdiri atas dua surat Bawaslu dan dua surat Mahkamah Konstitusi. Tapi, mengenai nama anggota Dewan ”haram” dan daerah pemilihan asalnya, anggota Bawaslu, Nur Hidayat Sardini, enggan mengungkapkan. ”Saya lupa siapa dan dari daerah pemilihan mana,” katanya.
Ketua KPU Hafiz Anshary mengaku tak tahu soal surat yang diduga palsu itu. Sekretariat Jenderal KPU sudah melacak. Tapi, ”Sampai penetapan anggota Dewan, kami tak tahu ada surat MK itu,” ujarnya.
Nunun Buron Interpol
KOMISI Pemberantasan Korupsi mengirim red notice atas nama Nunun Nurbaetie kepada National Central Bureau, atau Interpol, melalui Markas Besar Kepolisian RI, Rabu pekan lalu. Red notice merupakan penetapan sebagai buron dan permintaan menangkap tersangka kasus cek pelawat itu.
Sejak 23 Februari tahun lalu, Nunun dikabarkan berada di Singapura untuk berobat. Tapi Fahmi Idris, mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan, memberi informasi bahwa istri mantan Wakil Kepala Polri Adang Daradjatun itu bolak-balik Singapura-Thailand. Pada akhir Maret lalu, Nunun sempat terendus berada di Phnom Penh, Kamboja.
Kepala Kepolisian RI Jenderal Timur Pradopo mengatakan surat permintaan penangkapan Nunun mulai diproses. Setelah itu, Interpol Indonesia akan mengirim identitasnya ke kantor pusat Interpol di Lyon, Prancis. Selanjutnya, kantor pusat Interpol akan mengirim data Nunun ke 188 negara anggota Interpol lainnya. Negara anggota Interpol yang mendeteksi keberadaan Nunun wajib menyampaikan informasi itu ke Indonesia. KPK juga telah meminta Kejaksaan Agung Thailand menangkap Nunun.
Adang Daradjatun pasrah bila kelak istrinya ditangkap. ”Saya sekeluarga siap bila suatu saat nanti Ibu disidangkan,” katanya. Tapi ia mempertanyakan KPK yang tak menetapkan Ahmad Hakim Syafari alias Arie Malangjudo, anggota staf Nunun; dan Miranda Swaray Goeltom, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia yang terpilih pada 2004, sebagai tersangka.
TKI Tewas Lagi di Malaysia
ISTI Komariyah, 23 tahun, tenaga kerja asal Banyuwangi, Jawa Timur, diduga tewas setelah dianiaya majikannya di Kuala Lumpur. Ia meninggal di Universiti Malaya Medical Centre pada Ahad dua pekan lalu dengan luka di sekujur tubuh.
Petugas medis yang tak sempat menolong lantas melapor ke Polisi Diraja Malaysia. Saat ini polisi masih menyelidiki kasus tersebut dan menunggu hasil otopsi Departemen Kimia Malaysia.
Sehari kemudian, polisi langsung menahan Fang, 56 tahun, dan istrinya. Polisi juga menyita dua tongkat yang diduga alat penyiksa Isti. Suami-istri pemilik toko kelontong itu dijerat dengan Kanun Keseksaan 302 tentang penyiksaan yang menyebabkan kematian. Keduanya terancam dihukum gantung.
Dari Banyuwangi, suami Isti, Sulaiman Syafi’i, mengatakan sudah dua tahun kehilangan kontak dengan istrinya. Tapi, dari cerita yang ia dengar, Isti sudah lama tak digaji majikannya. ”Mungkin ia dianiaya karena meminta gajinya,” katanya. Pada Juli nanti, Isti mestinya pulang ke Tanah Air lantaran masa kontraknya habis.
Ary Muladi Dihukum Lima Tahun
PENGADILAN Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis Ary Muladi lima tahun penjara, Selasa pekan lalu. Ketua majelis hakim, Nani Indrawati, menyatakan Ary terbukti melakukan korupsi serta terlibat permufakatan jahat menyuap pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain dikenai pidana penjara, terdakwa diwajibkan membayar denda Rp 250 juta atau subsider enam bulan hukuman penjara.
Kasus ini bermula dari permintaan Anggodo Widjojo, adik tersangka kasus Sistem Komunikasi Radio Terpadu Anggoro Widjojo, kepada Ary. Anggodo meminta Ary menemui pemimpin dan penyidik KPK, dan melobi mereka agar kasus kakaknya tidak diproses.
Anggodo juga meminta Ary menanyakan ke KPK alasan tim penyidik menyita sejumlah dokumen PT Masaro Radiokom. Untuk itu, Anggodo mengaku menyerahkan Rp 5,1 miliar ke Ary, untuk diberikan ke pemimpin KPK.
Menanggapi putusan itu, baik jaksa KPK Suwardi maupun Sugeng Teguh Santosa, pengacara Ary, belum memutuskan untuk banding.
Legislator Demokrat Ditahan
ANGGOTA Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrat, Djufri, ditahan Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat, Kamis pekan lalu. Ia menjadi tersangka dugaan korupsi pengadaan tanah semasa menjadi Wali Kota Bukittinggi, pada 2007. Djufri jadi tersangka pada 2009, dan baru diperiksa sejak Mei lalu.
Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat Bagindo Fachmi mengatakan penahanan Djufri merupakan kewenangan penyidik dan alasannya juga tidak bisa diperdebatkan. ”Kami tidak sembarang menahan, apalagi dia kan orang besar,” kata Bagindo.
Kasus ini bermula ketika Pemerintah Kota Bukittinggi membeli tanah untuk gedung DPRD Bukittinggi dan pool kendaraan subdinas pertamanan setempat senilai Rp 3,7 miliar, pada 2007. Pengadaan itu diduga digelembungkan sehingga merugikan negara Rp 1,7 miliar. Dalam kasus ini, enam staf Djufri telah divonis bersalah hingga ke Mahkamah Agung.
Kuasa hukum Djufri, Nelson Darwis, membantah keterlibatan kliennya. Dia juga mempertanyakan alasan kejaksaan melakukan penahanan. ”Alasan takut melarikan diri, mau lari ke mana?” katanya. ”Dia anggota DPR, yang alamatnya jelas.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo