Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Momen

3 November 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rizieq Terbukti Bersalah

MAJELIS hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum Ketua Front Pembela Islam Rizieq Shihab satu setengah tahun penjara, Kamis pekan lalu. Ia dinyatakan terbukti bersalah menganjurkan dan membiarkan orang lain melakukan kekerasan.

Menurut Ketua Majelis Hakim Panusunan Harahap, Rizieq seharusnya bisa menggunakan pengaruhnya untuk menghindari terjadinya penyerangan terhadap massa Aliansi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Lapangan Monas, Jakarta, pada 1 Juni lalu. Namun ia tidak mencoba menghalangi atau melarang anggotanya bertindak keras. "Terdakwa telah memberikan kesempatan dan harus bertanggung jawab atas perbuatan pengikutnya," kata Panusunan.

Rizieq menilai putusan majelis itu tidak mendasar. "Keputusan ini kabur, ngawur, dan zalim," katanya. Ia menyatakan akan banding. Dalam sidang terpisah untuk kasus yang sama, Panglima Laskar Pembela Islam, Munarman, juga divonis satu setengah tahun penjara.

Amrozi Cs. Siap Dieksekusi

TIGA terpidana kasus bom Bali: Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Ghufron alias Mukhlas, siap dieksekusi pekan ini. Jaksa Agung Hendarman Supandji menegaskan, waktu eksekusi sudah ditetapkan dan tidak akan ditunda lagi. "Saya tidak akan menyebutkan harinya," kata Hendarman akhir pekan lalu.

Jumat pekan lalu, satu tim eksekutor dari Kejaksaan Tinggi Bali dilaporkan sudah tiba di Nusakambangan, tempat trio pengebom ini dibui. Sejak itu, semua kapal laut yang melayani penyeberangan menuju Nusakambangan diminta berhenti beroperasi.

Di Jakarta dan kota besar lainnya, polisi meningkatkan penjagaan di pusat keramaian dan kantor kedutaan asing. Kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat, Australia, dan Inggris mendapat pengawalan ekstra. Akhir pekan lalu, polisi menemukan dan menjinakkan dua bom di Poso, Sulawesi Tengah. "Aksi teror bom ini berhubungan dengan rencana eksekusi," kata Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Brigadir Jenderal Suparni Parto.

Imam Samudra, Amrozi, dan Mukhlas dipidana mati lima tahun lalu setelah terbukti terlibat dalam peristiwa pengeboman di Bali pada Oktober 2002. Sampai sekarang, mereka tidak menunjukkan tanda penyesalan atas aksi brutal yang menewaskan 202 orang, termasuk 88 turis Australia itu.

RUU Antidiskriminasi Disahkan

DEWAN Perwakilan Rakyat mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, Selasa pekan lalu. Pembahasan undang-undang ini memakan waktu 10 tahun.

"Ini bukti kemajuan demokrasi di negara kita, karena penghapusan diskriminasi sudah diundangkan dan bukan sekadar tradisi," ujar Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono.

Undang-undang ini memberikan sanksi lebih berat daripada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) bagi tindakan pidana yang didasari kebencian terhadap ras dan etnis tertentu. Menurut Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Ras, Murdaya Poo, ancaman ini dibuat untuk memberikan efek jera.

Undang-undang ini juga mengatur sanksi pemberian pidana kepada korporasi yang melakukan tindakan diskriminasi ras dan etnis. Hukuman denda untuk pelaku korporasi akan ditambah sepertiga daripada pelaku perorangan.

Polisi Lepas Tersangka Teroris

DETASEMEN Khusus 88 Antiteror Markas Besar Kepolisian melepas empat tersangka kasus aksi terorisme yang ditangkap tiga pekan lalu di Plumpang, Jakarta Utara. Mereka adalah Imam Basori, Nurhasani, Muntasir, dan Budiman. "Hari ini kami sudah menerima surat pembebasannya," ujar Achmad Michdan, pengacara dari Tim Pengacara Muslim, Rabu pekan lalu.

Surat ini keluar menyusul surat penangguhan penahanan yang diajukan sehari sebelumnya. Surat pembebasan ditandatangani Kepala Detasemen Brigadir Jenderal Surya Darma. Salah satu surat diberikan kepada Budiman, yang sehari kemudian meninggal di Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur.

Menurut Michdan, mereka dilepas karena tidak terkait secara langsung dengan temuan sejumlah bahan peledak di dekat Depo Pertamina Plumpang. Mereka hanya dinilai mengetahui tersangka terorisme tapi tidak melaporkan ke petugas.

Enam Jaksa Dipecat

Kejaksaan Agung memecat enam jaksa yang terbukti melanggar disiplin lembaga. Salah satunya bekas Kepala Kejaksaan Negeri Tilamuta, Boalemo, Gorontalo, Ratmadi Saptondo. "Dia itu terbukti memeras pejabat pemerintah daerah," kata Darmono, Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan, di kantornya, Selasa pekan lalu.

Kasus Ratmadi selanjutnya diserahkan ke Kejaksaan Tinggi Gorontalo untuk ditangani. Jika ternyata tindak pidananya bersifat umum, kasusnya akan ditangani polisi. Lima orang jaksa lainnya berasal dari Kejaksaan Negeri Poso, Sulawesi Tengah, yang terbukti memakai narkotik. Seorang jaksa dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat dan seorang dari Nusa Tenggara Timur diberhentikan karena terbukti memeras. Adapun seorang jaksa Kejaksaan Negeri Karawang, Jawa Barat, dicopot karena menyebabkan seorang tahanan kabur. Sementara itu, seorang jaksa Kejaksaan Negeri Timika, Papua, dicopot karena membolos lebih dari setahun.

Saat ini delapan orang jaksa lainnya sedang menunggu vonis dari Majelis Kehormatan Jaksa. Seorang di antaranya dianggap bersalah karena menikah lagi. Pengamat pembaruan hukum, Mas Achmad Santosa, mendukung pencopotan tersebut. Untuk kasus korupsi, ia menyarankan diserahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi.

Calon Legislator Palsukan Ijazah

Komisi Pemilihan Umum mengumumkan 13 calon legislator yang diduga memalsukan ijazah. Empat orang di antaranya dicoret dari daftar calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat 2009: Sukmawati Soekarnoputri dan Agustina Nasution (PNI Marhaenisme), La Bakry (Partai Demokrasi Pembaruan), serta Ukik Widyastuti (Partai Republika Nusantara).

Komisi dan Badan Pengawas Pemilihan Umum akan melaporkan kasus ini ke kepolisian. "Kami tetap memproses penggunaan dokumen yang diduga dipalsukan ketika mencalonkan diri," kata anggota Badan Pengawas, Bambang Eka Cahya Widodo, Senin pekan lalu. Sukmawati, misalnya, mengundurkan diri sejak 23 Oktober 2008.

Komisi juga mencoret empat calon yang bermasalah. Calon dari Partai Amanat Nasional, Wulan Guritno, dicoret dari daftar karena tak menyerahkan ijazah yang telah dilegalisasi.

Kesaksian Polisi Beratkan Muchdi

DUA penyidik polisi memastikan semua pemeriksaan terhadap saksi-saksi pegawai Badan Intelijen Negara dalam kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir dilakukan tanpa tekanan. "Bagaimana mau menekan? Semua saksi dalam pemeriksaan didampingi staf BIN," kata Komisaris Polisi Daniel Tifaona, salah satu penyidik kasus ini, kepada majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kesaksian itu disampaikan dalam sidang lanjutan dengan terdakwa Muchdi Purwoprandjono, mantan Deputi Kepala BIN Bidang Penggalangan, yang dituduh terlibat membunuh Munir.

Sebelumnya, tiga saksi dari BIN: Kawan, Zondhy Anwar, dan Aripin Rachman, yang semula memberikan keterangan memberatkan Muchdi, satu demi satu mengubah kesaksiannya. Saksi lain dari BIN, seperti Budi Santoso dan eks Kepala BIN M. Asa'ad, bahkan sampai sekarang tidak pernah hadir di persidangan. Padahal mereka bersaksi pernah melihat pelaku utama pembunuhan Munir, pilot Garuda Pollycarpus Budihari Priyanto, melenggang masuk kantor BIN di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan.

Tifaona, yang bersaksi bersama rekannya, Komisaris Besar Polisi Pambudi Pamungkas, juga menegaskan bahwa semua pemeriksaan direkam dengan kamera video. Selain itu, tiap lembar berita acara pemeriksaan dibacakan kepada saksi. Kuasa hukum Muchdi, Wirawan Adnan, menegaskan akan mengajukan saksi meringankan terdakwa dalam persidangan berikut.

Eks Gubernur NTB Ditahan

MANTAN Gubernur Nusa Tenggara Barat Lalu Serinata, awal pekan lalu, ditahan Kejaksaan Agung atas dugaan terlibat kasus penggelapan dana anggaran daerah Rp 7 miliar. Sebagai protes atas penahanan itu, Serinata melakukan aksi mogok makan. "Dia menulis surat menyatakan tekadnya mogok makan sampai mati," kata kuasa hukum Serinata, Rofiq Ashari.

Lalu Serinata, yang baru saja menyelesaikan masa tugasnya sebagai gubernur September lalu, langsung ditahan setelah diinterogasi lima jam dan ditetapkan sebagai tersangka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus