Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin menyarankan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengurungkan niatnya terkait pelantikan Komisaris Jenderal M. Iriawan sebagai penjabat Gubernur Jawa Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Saya khawatir nanti rakyat menertawakan wakilnya yang tidak mengerti undang-undang yang mereka buat sendiri," kata Ngabalin dalam siaran tertulisnya, Selasa, 19 Juni 2018.
Baca: Fadli Zon Dukung Hak Angket M. Iriawan, Khawatir Dwifungsi Polri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ngabalin menilai sah saja jika DPR ingin mengajukan hak interpelasi dan hak angket atas penunjukkan Komisaris Jenderal M. Iriawan sebagai penjabat Gubernur Jawa Barat. Namun, kata dia, rencana tersebut sebaiknya diurungkan karena pemerintah dan DPR lebih membutuhkan waktu yang banyak untuk hal-hal produktif dalam melayani masyarakat.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon sebelumnya menyatakan partainya akan menginisiasi Pansus Hak Angket Pati Polri sebagai Penjabat Gubernur. Ia menilai pelantikan Komisaris Jenderal M. Iriawan sebagai penjabat Gubernur Jawa Barat berpotensi memunculkan kembali dwifungsi TNI-Polri.
Menurut Ngabalin, pemerintah tidak mungkin membuat satu kebijakan strategis yang tidak berdasar pada ketentuan hukum dan undang-undang. Ia menuturkan, pemerintah berpedoman pada tiga ketentuan dalam pengangkatan Iriawan.
Baca: Ogah Gaduh, PPP Tak Dukung Hak Angket Soal Pelantikan M. Iriawan
Ketentuan itu adalah Pasal 201 ayat (10) UU No 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Ketentuan itu mengatur bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan lain ialah penjelasan Pasal 19 ayat (1) huruf b UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN, bahwa jabatan pimpinan tinggi madya meliputi Sekjen dan Sekretaris Kementerian, Sestama, Sekjen Kesekretariatan Lembaga Negara, Sekjen LNS, Dirjen, Deputi, Irjen, Inspektur Utama, Kepala Badan, Staf Ahli Menteri, Kasetpres, Kasetwapres, Sesmilpres, Seswantimpres, Sekda Provinsi dan jabatan lain yang setara.
Selanjutnya, pemerintah juga berpedoman pada ketentuan Pasal 148 PP No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS yang berbunyi: "Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari Prajurit TNI dan Anggota Polri yg berada di instansi pusat dan sesuai dengan UU tentang TNI dan UU tentang Polri."
Baca: Lantik M. Iriawan, Kementerian Dalam Negeri Tabrak Dua Aturan
Ngabalin mengatakan, saat ini ada jabatan pimpinan tinggi madya di instansi pusat tertentu yang diduduki prajurit TNI atau anggota Polri. Dengan demikian, kata dia, prajurit TNI atau anggota Polri yang sedang menduduki jabatan pimpinan tinggi madya di instansi pusat tertentu, misalnya di Kemenkopolhukam, Kementerian Pertahanan, dan Lemhanas dapat diangkat sebagai Penjabat Gubernur.
Dia menuturkan, secara administrasi kepegawaian, penunjukan Iriawan tidak bertentangan dengan peraturan perundangan tersebut. Sebab, Iriawan telah menjabat sebagai Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional, yang merupakan jabatan pimpinan tinggi madya sejak Maret 2018.
"Komjen M. Iriawan diangkat jadi Plt Gubernur Jabar karena jabatan pimpinan tinggi madya yang diembannya sebagai Sestama Lemhanas, bukan karena yang bersangkutan adalah perwira tinggi Polri," ujarnya.