Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INI soal logika sederhana. Untuk menghindari korupsi, seseorang harus berpenghasilan cukup. Untuk menolong orang banyak, diri sendiri harus tak terjepit. Itulah yang ada di benak anggota Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) Dewan Perwakilan Rakyat. ”Kalau anggota DPR susah, bagaimana mungkin menolong rakyat?” kata Ahmad Syafrin Romas, Wakil Ketua BURT DPR.
Itulah sebabnya, pekan lalu, Ahmad Syafrin dan anggota BURT lainnya menuntaskan usul kenaikan gaji anggota DPR. Dalam kalkulasi BURT, penghasilan resmi anggota DPR sebesar Rp 19,8 juta per bulan sudah ketinggalan zaman. Tak tanggung-tanggung, dalam proposal BURT penghasilan resmi anggota DPR akan didongkrak menjadi sekitar Rp 38 juta per bulan. Itu berarti terjadi kenaikan hampir 100 persen.
Seperti diduga, anggota DPR umumnya mendukung rencana itu. Ketua DPR Agung Laksono menganggap usul itu masuk akal. Di mata Agung, kenaikan tunjangan ”fasilitas” itu dapat digunakan untuk mengerek kinerja anggota Dewan. Maklum, hampir semua anggota Dewan memiliki kegiatan seabrek—mulai dari bertemu konstituen, membangun jaringan lobi, hingga aktivitas rutin di partai politik. ”Kenaikan itu wajar, kok,” ujar Agung Laksono.
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang kerap mengkampanyekan ”budaya hidup sederhana”, juga menyetujui usul BURT. Untung Wahono, Ketua Fraksi PKS di DPR, menyatakan kenaikan pendapatan DPR itu untuk memperbaiki kinerja anggota Dewan. Dalam pengamatan Untung, setiap anggota Dewan sebetulnya perlu bantuan tenaga ahli. Jadi, ”Kenaikan gaji itu bukan untuk dibawa pulang,” kata Untung.
Fraksi PDI Perjuangan juga memberikan dukungan. PDIP menganggap kebutuhan anggota Dewan sudah tak tertutupi gaji sekarang. ”DPR yang baik harus didukung oleh fasilitas yang memadai,” ujar Tjahjo Kumolo, Ketua Fraksi PDIP. Pendapat senada juga datang dari Fraksi Partai Golkar, PPP, Partai Amanat Nasional, dan Partai Bintang Reformasi.
Satu-satunya penolakan datang dari Fraksi Demokrat. Ketua Fraksi Demokrat, Soekartono Hadiwarsito, menganggap rencana kenaikan gaji anggota DPR tak sepatutnya dilakukan. Kondisi keuangan negara yang carut-marut, kelangkaan BBM, dan serangan busung lapar di pelbagai daerah membuat usul kenaikan gaji menjadi tak etis. ”Wakil rakyat jangan bersenang-senang saat rakyatnya menderita,” ujar Soekartono.
Meski ada nada sumbang, rencana kenaikan gaji DPR jalan terus. Izedrik Emir Moeis, Ketua Komisi Anggaran DPR, mengaku telah menerima usul kenaikan gaji dari BURT. Emir menyebut kenaikan itu terjadi pada tunjangan-tunjangan di luar gaji. Tak cuma itu, politisi senior PDI Perjuangan ini juga mengimbuhkan bahwa kenaikan juga akan diberlakukan pada biaya-biaya tambahan (add cost). Emir mencontohkan akan ada kenaikan pada biaya perjalanan dinas anggota DPR. Selama ini biaya perjalanan dinas Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu per hari. ”Apakah jumlah itu masih layak?” ujar Emir Moeis. ”Kalau (perjalanan kami) dibiayai pemda, justru jadi nggak bener kan?”
Kapan eksekusi kenaikan gaji DPR? Meski kemungkinan besar usul BURT diterima, Emir Moeis menyebut pembahasan resmi di Komisi Anggaran DPR baru pada September 2005. Soalnya, saat ini Dewan sedang memasuki masa reses. Bila diterima, kenaikan gaji DPR itu akan dimasukkan ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2006. Jadi, ”Baru bisa dibayarkan pada Januari 2006,” ujar Emir Moeis.
Sinyal positif langsung datang dari Lapangan Banteng. Dari kantor kementerian keuangan itu dipastikan pemerintah tak keberatan dengan usul kenaikan gaji DPR. Meski belum mendapat pengajuan kenaikan anggaran gaji DPR, Menteri Keuangan Jusuf Anwar menyatakan usul itu dapat diterima. ”Bila jumlahnya sudah jelas, kita carikan sumber anggarannya,” kata Jusuf Anwar.
Bisik-bisik di Senayan menyebut kenaikan ini sebagai ”ucapan terima kasih” dari pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono. Hingga kini pemerintah menilai parlemen cenderung bersikap akomodatif terhadap kebijakan kabinet. Soal kenaikan harga BBM per 1 Maret 2005, misalnya, DPR akhirnya mendukung kebijakan tersebut. Padahal kenaikan harga BBM yang berkisar 30 persen itu sempat membuat kalangan menengah ke bawah menjerit. ”Pemerintah menghemat triliunan rupiah dari BBM,” ujar Farhan Hamid, anggota DPR dari PAN. Farhan mengakui, kenaikan gaji ini seperti ”uang jasa” atas persetujuan DPR.
Sumber Tempo juga menyebut kenaikan ini sebagai hadiah bagi DPR yang belakangan ”bersikap manis”. Selain soal harga BBM, DPR juga mendukung pemerintah dalam kenaikan anggaran militer, penyelesaian konflik dengan Gerakan Aceh Merdeka, dan menyetujui Jenderal Sutanto menjadi Kapolri baru.
Ketua DPR Agung Laksono menepis dugaan itu. Agung mengaku tak melihat kenaikan penghasilan anggota DPR sebagai balas jasa dari pemerintah. Kenaikan itu, ”Semata-mata untuk memperbaiki kinerja,” ujar Agung. ”Kalau ada implikasi kesejahteraan, ya, alhamdulillah.”
Cukupkah gaji anggota DPR sekarang? Untung Wahono, Ketua Fraksi PKS di DPR, mengaku sebagian besar gajinya ludes untuk pelbagai keperluan perjuangan. Setiap bulan Untung menghabiskan sekitar 70 persen pendapatannya untuk Partai, pembinaan konstituen, serta sumbangan ini dan itu. ”Yang saya bawa pulang paling banyak Rp 9,2 juta,” tutur Untung.
Keluhan serupa juga diungkap Latifah Iskandar, anggota Fraksi Partai Amanat Nasional. Latifah mengaku setiap bulan menyetor Rp 4,2 juta untuk Partai dan Rp 1 juta untuk Fraksi PAN. Sisanya masih dipakai untuk pelbagai keperluan konstituen dan menggaji staf. Selain itu, ”Masa, kalau ada yang minta sumbangan kita nggak ngasih?” ujar Latifah.
Tentu saja, perdebatan soal cukup-tidaknya gaji anggota DPR bisa memakan waktu berhari-hari. Tapi, faktanya, anggota DPR masih kerap menerima penghasilan ”tak resmi” dari pelbagai mitra kerja. Seorang anggota DPR yang tak ingin disebut namanya menyebut komisi yang mengurusi badan usaha milik negara, misalnya, sebagai komisi yang ”basah”. ”Tak usah mungkir, banyak teman yang mendapat amplop dari mitra kerja,” ujar sumber Tempo itu.
Cerita penyuapan ini mengingatkan kita pada pengakuan bekas anggota Fraksi PDI Perjuangan, Meilono Suwondo dan Indira Damayanti Sugondo. Pada September 2002 keduanya mengaku menerima sogokan dari BPPN masing-masing US$ 1.000. Uang itu disebut-sebut sebagai ”salam kenal” dari BPPN saat pembahasan rencana divestasi Bank Niaga. ”Masih banyak amplop lain di DPR,” ujar Indira Damayanti, ketika itu. ”Rata-rata Rp 3 juta per amplop.”
Soal penerimaan ”tak resmi” ini, Agung Laksono menganggapnya sebagai pelanggaran etika. Makanya, ujar Agung, usul kenaikan pendapatan anggota DPR juga untuk meningkatkan citra anggota Dewan. ”Kalau pendapatannya tak memadai, orang memang lebih sulit untuk jujur,” ujar Agung.
Direktur Eksekutif Center for Electoral Reform (Cetro), Hadar Navis Gumay, memberikan lampu hijau terhadap rencana kenaikan gaji DPR. Soalnya, dibandingkan dengan presiden, menteri, atau gubernur, pendapatan anggota DPR tertinggal jauh. Padahal, sebagai lembaga pengawas, DPR memiliki seabrek kegiatan yang tak kalah penting. Hanya, soal waktu kenaikan dirasa kurang pas. ”Sebaiknya dilakukan setelah ekonomi rakyat lebih baik,” ujar Hadar.
Selain itu, mengusulkan kenaikan gaji diri sendiri juga terasa tak elok. Di AS, konstitusi mengatur sebuah lembaga hanya boleh mengusulkan kenaikan gaji lembaga lain, dan bukan diri sendiri. Jadi, kalaupun mau naik, mestinya yang menerima adalah anggota DPR periode berikutnya.
Setiyardi, Muhammad Nafi, dan Maria Ulfah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo