Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Otak-atik Dapat Kursi

Mahkamah Agung mengoreksi aturan penghitungan kursi tahap kedua. Sejumlah partai menggugat.

3 Agustus 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TELEPON seluler Zaenal Ma’arif tak pernah berhenti berdering. Umumnya mereka yang menelepon menanyakan soal gugatan Zaenal ke Mahkamah Agung. Ada juga yang mengucapkan selamat karena ia menang dalam gugatan itu. Dengan keputusan itu, Zaenal berpeluang lolos menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. ”Nanti dulu, belum selesai. Doakan saja,” kata calon legislator dari Partai Demokrat ini.

Zaenal mengajukan uji materi aturan Komisi Pemilihan Umum tentang cara penghitungan kursi tahap kedua. Calon Demokrat lain yang juga mengajukan perkara ini adalah Yosef B. Badeoda (Nusa Tenggara Timur I), Utomo A. Karim (Jawa Timur VII), dan Mirda Rasyid (Lampung I).

Zaenal dan kawan-kawan menilai ada kejanggalan dalam aturan itu. Ia mencontohkan hasil penghitungan di daerah pemilihannya, Jawa Tengah V. Partai Demokrat, yang meraih 238 ribu suara, hanya meloloskan satu calon, yakni Gusti Raden Ayu Koes Moertiyah. Kursi yang diperoleh Demokrat itu sama dengan partai lain yang hanya mendapat 60 ribu.

Menurut dia, permohonan uji materi itu merupakan langkah mencari keadilan dan memperbaiki aturan pemilu. Ia mengatakan, uji materi dilakukan agar Pemilu 2009 tak mengulangi kesalahan pemilu lima tahun lalu. Waktu itu ada partai yang mendapat suara tinggi namun hanya mendapat sedikit kursi. Jumlah kursi partai itu kalah dibanding partai lain yang mendapat suara lebih sedikit. Zaenal mengaku tak menduga Mahkamah mengabulkan permohonannya.

Mahkamah Agung mengambil keputusan itu pada 18 Juni lalu namun baru mengumumkannya pada 22 Juli. Mahkamah menyatakan aturan Komisi Pemilihan Umum tentang penghitungan kursi tahap kedua bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu Pasal 205 ayat 5. Mahkamah memerintahkan Komisi Pemilihan membatalkan dan mencabut Pasal 22 c dan Pasal 23 ayat 1 dan 2 Peraturan KPU Nomor 15/2009. Mahkamah juga meminta Komisi merevisi keputusan penetapan perolehan kursi dan menunda pelaksanaannya. ”Kami tidak mempersoalkan hitungannya,” kata juru bicara Mahkamah, Hatta Ali. ”Yang kami persoalkan adalah ada peraturan yang bertentangan dengan undang-undang.”

Dalam Undang-Undang Pemilu, kursi tahap kedua dibagi kepada partai yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 50 persen dari bilangan pembagi pemilih. Mahkamah Agung menganggap undang-undang ini tak mencantumkan pemotongan suara yang sudah terpakai menjadi kursi atau sisa suara dari tahap pertama. Jadi, partai yang sudah memperoleh kursi pada tahap pertama tetap ikut dalam penghitungan kedua dengan suara penuh, bukan sisa suara. Keputusan inilah yang dikoreksi Mahkamah Agung (lihat infografik).

Berdasarkan keputusan Komisi Pemilihan Umum, penghitungan kursi dilakukan dengan menentukan bilangan pembagi pemilih. Bilangan ini diperoleh dari jumlah suara partai yang lolos ambang batas dibagi dengan jatah kursi. Partai yang melampaui bilangan ini akan mendapat jatah kursi. Inilah penghitungan tahap pertama.

Kalau masih ada sisa, kursi dibagikan kepada partai yang melebihi 50 persen bilangan pembagi pemilih. Partai yang telah mendapat kursi pada tahap pertama hanya dihitung sisa suaranya, lalu dibandingkan dengan partai lain yang belum mendapat jatah. Jatah kursi akan dipilih secara berurutan bila partai dengan suara melampaui 50 persen bilangan pembagi lebih dari jumlah kursi.

Penghitungan tahap ketiga akan dilakukan apabila kursi masih bersisa pada tahap kedua. Komisi Pemilihan menghitung pembagian kursi tahap ketiga dengan mengumpulkan suara hanya dari daerah yang masih memiliki jatah kursi. Suara terkumpul itu lalu dibagi dengan sisa kursi sehingga menjadi bilangan pembagi pemilih. Dalam pemilu 2009 penghitungan perolehan kursi tahap ketiga ini meliputi 40 kursi dari 31 daerah di 13 provinsi.

Komisi telah mengumumkan rekapitulasi suara dan perolehan kursi pada 24 Mei lalu. Namun keputusan itu berubah ketika Mahkamah Konstitusi mengubah aturan penghitungan kursi tahap ketiga pada 10 Juni. Putusan ini mengabulkan permohonan Partai Amanat Nasional dan memerintahkan Komisi Pemilihan merevisi keputusan penetapan calon terpilih.

Mahkamah Konstitusi memutuskan penghitungan tahap ketiga dilakukan dengan mengumpulkan sisa suara di seluruh daerah pemilihan ke tingkat provinsi. Suara dari seluruh daerah itu lalu dibagi dengan sisa kursi sehingga menjadi bilangan pembagi pemilih. Centre for Electoral Reform (Cetro) membuat hitungan bahwa keputusan Mahkamah ini akan mengubah komposisi 16 kursi dari 14 daerah pemilihan di 11 provinsi.

Belum lagi Komisi membuat keputusan sesuai dengan amar Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung bikin keputusan lain yang mendapat reaksi dari sejumlah partai yang merasa dirugikan. Wakil dari Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, Hanura, dan Gerindra mendatangi Komisi Pemilihan pada Senin lalu. Mereka meminta Komisi tak menjalankan putusan. ”Keputusan Mahkamah Agung tidak tepat,” kata Patrialis Akbar dari Partai Amanat Nasional.

Jumat lalu, Partai Keadilan Sejahtera mengadukan perkara penghitungan tahap kedua ini ke Mahkamah Konstitusi. ”Kami menggugat tafsir,” kata ketua tim advokasi Agus Purnomo. Partai lain yang juga mengajukan perkara ini ke Mahkamah Konstitusi adalah Partai Amanat Nasional dan Hanura.

Partai penggugat keputusan Mahkamah Agung itu memang berpotensi kehilangan kursi (lihat infografik).

Direktur Eksekutif Cetro, Hadar Nafis Gumay, mengatakan putusan Mahkamah ini kalau diterapkan bisa menggeser 75 kursi. Pergeseran kursi itu menggembungkan perolehan kursi partai besar. Sedangkan partai kecil semakin mengempis karena kursinya kebanyakan diperoleh dari tahap kedua. ”Keputusan ini merusak sistem pemilu kita,” ujar Hadar.

Menurut dia, putusan Mahkamah Agung itu melanggar prinsip pemilu proporsional. Hadar mengatakan, Komisi juga tak bisa menghitung kursi tahap kedua dengan melibatkan suara yang sudah terpakai. Kalau suara sepenuhnya pada tahap pertama dipakai lagi, artinya melanggar prinsip one man, one vote, one value.

Hadar menambahkan, aturan pemilu tahun ini memang memungkinkan banyak celah. Tapi peraturan tak bisa berubah begitu saja setelah pemilu usai dan ada hasilnya. ”Akhirnya ini jadi semacam nafsu politik saja,” kata Hadar. ”Bukan arena mencari keadilan.”

Yandi M.R., Iqbal Muhtarom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus