Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengingatkan pemerintah untuk mewaspadai strategi Singapura dalam menjalin kerja sama. Presiden Jokowi dan PM Singapura Lee Hsien Loong sebelumnya melakukan pertemuan reguler dua negara yang disebut sebagai Leaders Retreat di Pulau Bintan, pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut siaran pers Kantor Menteri Koordinator Perekonomian dan Investasi pada 25 Januari 2022, disebutkan bahwa dalam pertemuan tersebut dilakukan penandatanganan tiga perjanjian. "Pemerintah perlu waspada melihat perjanjian itu," kata Hikmahanto melalui keterangan tertulisnya, Senin, 31 Januari 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun tiga perjanjian yang diteken pemerintah dengan Singapura adalah penyesuaian kendali Flight Information Region atau perjanjian FIR di atas Kepulauan Riau yang sejak lama dilakukan oleh Singapura. Kedua perjanjian yang terkait dengan ekstradisi meski Indonesia pernah menandatangani dengan Singapura tahun 2007.
Terakhir adalah perjanjian kerja sama pertahanan yang dinamakan Defence Cooperation Agreement yang juga pernah ditandatangani oleh kedua negara tahun 2007. "Dua perjanjian terakhir meski sudah ditandatangani namun belum berlaku efektif karena kedua negara belum melakukan pengesahan," ucapnya.
Hikmahanto menuturkan perjanjian ekstradisi dan DCA pernah menjadi polemik saat ditandatangani oleh dua kepala pemerintahan mengingat Indonesia banyak dirugikan dalam perjanjian pertahanan. Sementara keberlakuan keduanya dilakukan secara berkaitan atau tandem.
Untuk meredam tentangan dari publik, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika itu tidak menyampaikan dua perjanjian tersebut ke DPR untuk disahkan. Sedangkan, dalam pemerintahan Presiden Jokowi atau Joko Widodo dinilai sangat agresif untuk mengambil kendali FIR di atas Kepulauan Riau dari Singapura.
"Ini merupakan janji Jokowi saat kampanye menjadi Presiden periode pertama. Tapi tentu Singapura tidak ingin menyerahkan kendali FIR ini dengan mudah," ujar Hikmahanto.
Ia menduga ada indikasi bahwa perjanjian untuk mengembalikan FIR ini dikaitkan dengan perjanjian pertahanan. Menurut dia, Singapura berstrategi bila perjanjian pertahanan bisa berlaku efektif, maka Singapura bersedia untuk menyerahkan kendali atas FIR Kepulauan Riau ke Indonesia. "Padahal Singapura telah berhitung secara cermat bahwa perjanjian pertahanan akan ditentang oleh publik bahkan oleh DPR," tuturnya
Bila perjanjian pertahanan nantinya ditentang untuk disahkan, maka Singapura akan tetap memegang kendali atas FIR di atas Kepulauan Riau. Artinya perjanjian pengendalian FIR ke Indonesia tidak akan pernah efektif.
Dalam konteks ini, kata dia, perjanjian ekstradisi yang sudah ditandatangani dan tinggal menunggu ratifikasi menjadi tidak begitu penting, meski di Indonesia seolah disambut secara gegap gempita.
Menurut dia, perjanjian ekstradisi diduga kuat muncul dalam pembahasan karena diminta oleh pemerintah Indonesia. Di sisi lain, Singapura memunculkan perjanjian pertahanan yang dikaitkan dengan perjanjian penyerahan kendali FIR. "Dalam konteks demikian perjanjian ekstradisi yang ditanda tangan ulang bukanlah merupakan suatu pencapaian," ujar Hikmahanto.
IMAM HAMDI