UNTUK sekedar mendapat gambaran pendapat para warganegara
tentang pemilu 1977, wartawan TEMPO mengadakan wawancara ke
pelbagai kalangan. Di bawah ini kami sajikan sebagian dari
sejumlah besar hasil wawancara itu. Nama-nama disusun menurut
abjad - bukan menurut kedudukan sosial (di antaranya ada yang
pengemis dan ada pula pensiunan jenderal).
ALIUDAH, 43, peminta-minta.
Ia baru dua bulan di Jakarta. Tempat memilih: daerah Senen. "Di
tahun 1971 saya milih Parmusi", kata pengemis dari Madura ini.
"Tapi sekarang saya ikut saudara di Galur. Dia Golkar dan di
Galur semua Golkar".
Harapannya: ia tak akan diuber-uber polisi dalam pekerjaannya
ini. Tiap hari ia duduk di tepi jalan. Kedua tangannya tak
berlengan, sehingga rokoknya ia letakkan di antara ibu jari dan
jari manis kaki. Setiap kali akan mengisap rokoknya ia harus
membungkuk. Ia sekarang biasa duduk di depan mesjid di depan
Blok III Proyek Senen, sebab dulu sering diusir polisi ketika
duduk di dekat terminal opelet Senen.
Hak istimewa yang ia rasakan ialah bahwa ia tak perlu bayar
ongkos perjalanan dari Jakarta ke Madura, yang menurut dia
mencapai Rp 2.900. Ongkos itu, menurut perkiraan dia, "diurus
pemerintah".
DULHADI, 35, gelandangan.
Orang asal Pemalang, Jawa Tengah ini menyatakan ikut kampanye
Golkar yang terakhir di Senayan. Jakarta. Tapi itu "cuma karena
menghormati Camat Senen", yang berkantor tak jauh dari tempatnya
bergelandangan di sekitar rel kereta sana. Lagi pula kendaraan
disediakan, katanya. Tapi ia rnenyatakan memilih PDI. Alasan:
dalam pemilu 1971 ia memilih PNI. "Saya ini marhaen" kata Dul.
Ia bersama isterinya jadi gelandangan di Jakarta sejak tahun
50-an. Tapi ia menyatakan ia punya rumah di Pemalang dan seorang
anak lelaki berumur 11 tahun yang duduk di SD kelas III, dan
tinggal bersama neneknya.
Dulhadi merasa, "PDI yang bisa meneruskan perjuangan PNI". Ia
menghubungkan pilihannya itu dengan keadaan nasibnya "yang tak
pernah berubah, begini-begini saja". Ia tahu banyak pembangunan
di mana-mana, tapi ia merasa itu semua tak pernah "memperbaiki
nasibnya". Di zaman Bung Karno ia mengaku pernah jadi
sukarelawan - mengaku pula bahwa ia pernah dikirim ke Irian
Barat dan Kalimantan Utara dan berkata: "Presiden Sukarno itu
baik sekali". Tapi kemudian dari sebagai sukarelawan ia kembali
jadi gelandangan. Ia pernah punya gubug di kawasan daerah
pelacuran Planet Senen. Kini sudah digusur.
Tapi ia toh: tak diganggu siapapun untuk "menggarap tanah" di
tepi rel kereta api, dengan menanam sayur dan jagung. Sambil
berjualan rokok pula di siang dan malam hari, sebulan ia bisa
dapat Rp 5000. Ia tak tahu bagaimana kelak nasibnya. Dan meski
memilih PDI, ia tak mengharapkan apa-apa dari PDI. Cuma "
perasaan sebagai marhaen" itu yang menyebabkan ia memilih No. 3.
***
GUNTUR, 33 tahun, pengusaha.
Bagi Mohamad Guntur Soekarnoputra yang kini memimpin 3 buah PT,
"parpol dan golkar formilnya sama saja, meskipun dalam
aksentuasinya berbeda". Ia sendiri cenderung pada PDI.
Menurutnya, kampanye kali ini lebih santai. "Mungkin karena saya
tidak mengikuti langsung. Kalau ikut terjun. barangkali saya
juga melihat yang adu urat leher. Tapi kampanye 1971 dulu lebih
tegang", katanya.
Massa eks PNI dalam PDI memang banyak mengharap kedatangan anak
sulung bekas Presiden pertama RI - yang masih dihubungkan dengan
kebesaran bapaknya itu. Wartawan TEMPO Imam Soebagio melaporkan
dari Jember, generasi muda PDI dan PPP sama-sama
mengharapkannya. Beberapa cabang PDI di Jawa Timur bahkan sudah
menentukan jadwalnya.
Akhir Maret, berita kedatangan Guntur di Blitar begitu santer.
Tak kurang dari 28 Kolt dan sepeda motor berangkat dari Malang
dan Probolinggo ke sana. Tapi mereka kecele. Tak sedikit pun
yang bertanya pada Bu Wardoyo yang hanya bisa geleng-geleng
kepala. Akhirnya kakak Bung Karno itu mengutus Soewarno,
saudaranya, menemui Guntur. "Ibu kasihan melihat PDI. Kalau
Guntur tak datang, payah jadinya" katanya.
Dalam hal ini Guntur berkata, "kalaupun PDI meminta kampanye,
akan saya lihat dulu motifnya. Kalau jelas alasannya, akan saya
pertimbangkan". Ada anak Bung Karno lainnya yang diminta
kampanye, terutama oleh daerah-daerah: Rahmawati. Tapi ia sangat
berhati-hati, setelah di tahun 1971 ada kampanyewan PNI Jawa
Tengah yang ditahan karena membacakan naskah pidato Guntur.
Meski ingin membantu PDI, tapi banyak di antara teman-teman
Rahma bertanya "apa sih PDI sekarang?" Bagi Rahma, PDI kurang
memperhatikan pembentukan kader di samping program kerjanya yang
kurang disebar-luaskan. "Dulu sebagai satu partai, PNI jelas.
Sekarang PDI campur aduk", katanya. Namun dari ketiga kontestan
hanya PDI bagi Rahma yang jelas dasar politiknya.
"Golkar itu organisasi profesi sedang PPP berdasar agama. Jadi
PDI lah satu-satunya yang dasarnya politik", katanya. Tentang
masa kampanye, ia tak percaya tak adanya lagi
buldozer-buldozeran seperti di tahun 1971. "Apa memang benar
bebas begitu? Saya sering dengar keadaan di daerah-daerah . . .
" Dan ia tak melanjutkan kata-katanya.
JAMRUL, alias Kaling, 24, tukang parkir.
Ia tukang parkir sepeda motor di Blok "A" Pasar Raya Padang.
"Ada tiga hal yang mendorong saya datang menghadiri kampanye",
katanya. "Yang pertama ingin dengar pidato. Yang kedua hiburan.
Dan yang ketiga tentu saja bercewek-cewekan". Pemuda ini
kemudian menambahkan, bahwa soal ceweklah yang menjadi pendorong
utama. "Maklum, saya 'kan masih belia".
Selama masa kampanye ia menghadiri rapat umum tiga kali. Dua
kali kampanye Golkar, dan satu kali PPP. "Saya menyaksikan
banyak yang resek panja (tangan jahil - Red.)", katanya.
Tangantangan itu main raba ke sana ke mari, asal ada tubuh
perempuan mendempet.
Itu tidak berarti dia tak tertarik sedikit pun mendengarkan
pidato. Sebab dia bisa juga membikin penilaian. "Kalau pidato,
orang PPP itu memang pintar". Ia memang menghadiri kampanye PPP,
dekat menjelang minggu tenang di Rimbo Kaluang, karena mendengar
penyanyi Oma Irama akan datang. Ternyata tidak. Kaling merasa
tertipu, tapi katanya: "Meski saya tertipu, tapi saya puas juga
dengar pidatonya".
Kaling tamatan SD. Ia meninggalkan kampungnya di Sungai Lasi,
Solok, berjualan rokok di terminal bis kota Padang. Sebagai
karyawan parkir, penghasilannya sehari rata-rata Rp 1000.
Bagaimana dengan kampanye Golkar? "Kalau kampanye Golkar, saya
tertarik biduan Elly Kasim", jawabnya. Tentang pilihannya pada 2
Mei: "Wah, itu rahasia".
**
KARJO, 37, Sopir.
Ia kelahiran Wonogiri, Jawa Tengah. Kini sopir seorang pembantu
Menteri Negara Riset. Masih berstatus honorer, meski sudah
tahun bekerja. Ke Jakarta 1960. Kembali ke kampungnya di
Jatisrono tujuh tahun kemudian. Di sana menikah, dan kini
anaknya sudah empat, yang tertua umur 7. Tahun 1972 ia kembali
ke Jakarta, menetap di suatu daerah Kebayoran Lama.
Mengenai kampanye, katanya, "saya nggak mengerti". "Saya hanya
melihat di jalan-jalan saja. Seharian saya sibuk mengurus
ekonomi rumah tangga saja". Sebagai sopir yang belum diangkat
jadi pegawai tetap (meski sudah dua kali mengisi formulir
permohonan diangkat), honornya Rp 24.000 sebulan.
Dulu di Wonogiri, katanya, "kalau ada pidato kampanye saya hanya
ikutikutan nonton. Saya ini 'kan petani. Lha waktu ada kampanye
tahun 1971 dulu, saya juga nonton. Katanya pak Guntur mau
datang, ternyata tidak datang. Nah, selesai kampanye PNI datang
kampanye Golkar. Yah, saya ikut nonton lagi. Yang penting bagi
saya waktu itu jangan salah coblos. Dan saya cobloslah Golkar.
Habis pak Lurahnya juga Golkar . . . "
Tanggal 2 Mei menyoblos apa? "Semua baik, sih", jawabnya. "Saya
jadi bingung milihnya. Habis cuma tiga, sih, susah milihnya".
Ia hanya mengharapkan: siapa saja yang menang akan bisa
memperhatikan nasib sopir. Tapi kalau setelah pemilu nasibnya
sama saja, ia tidak akan menggugat. "Saya orang kecil 'kan nggak
bisa protes?", tanyanya.
***
A.H. NASUTION, 58, pensiunan Jenderal.
Lebih 4 tahun tidak aktif dalam dinas militer, ia merasa berbeda
pandangan dengan Amir Murtono, ketua umum DPP Golkar. "Bagi
saya, jiwa keprajuritan, Sapta Marga atau jiwa TNI baru berakhir
apabila masuk liang kubur", katanya. Itulah sebabnya, meski ia
punya hak pilih tapi tak digunakannya. Soalnya, ia masih merasa
terikat oleh jiwa keprajuritan yang mengharuskannya tak memihak.
"Sebagai muslim saya harus berdiri paling depan dalam PPP. Tapi
Golkar dan PDI tak dapat begitu saja saya tinggalkan. Golkar
atau Sekber Golkar, sayalah yang mendirikan. Sayalah yang
memprakarsai pembentukannya ketika menjadi Wakil Ketua Front
Nasional. Panitia Ali Sastroamidjojo waktu itu menyebut golongan
karya melulu ormas yang berafiliasi pada parpol saja. Sementara
itu, dalam PDI ada IPKI yang saya pula pendirinya di awal 50-an
untuk menegakkan kembali UUD '45", ia menjelaskan.
Tentang demokrasi, "demokrasi itu sendiri masih perlu
didemokrasikan, khususnya mengenai sistim kepartaian pemilu
maupun tatacara DPR/MPR". Andai ada yang minta duduk dalam salah
satu jabatan eksekutif, bagaimana? "Saya tak bersedia dan tak
mungkin ada yang bisa saya kerjakan", jawabnya.
Ia lalu menjelaskan sebabnya. "Di masa-masa pertama perjuangan
orde baru sudah ada 2 faham. Yang menghendaki pembangunan segera
dengan mengesampingkan peng-orba-an manusianya secara total dan
yang menghendaki pembangunan sekaligus dengan pembinaan generasi
pelanjut serta peng-orba-an total secara konsekwen. Saya
cenderung pada pilihan kedua", katanya.
***
PONIJO, 23, pemborong kecil-kecilan.
Selama berlangsung kampanye, ia tak pernah hadir. "Saya takut
kalau ada bentrokan", katanya. "Di Priok saya lihat ada yang
babak belur dipukuli setelah pulang dari kampanye", tambahnya -
tapi ia tak tahu si korban itu dari pihak mana dan si penyerang
dari pihak mana. "Ah, lebih baik cari makan".
Tapi ia pasti akan ikut memilih. "Memilih itu 'kan tugas",
katanya. Ia tak faham adakah memilih itu juga suatu cara bagi
kemungkinan perubahan nasib. Ia, yang putus-sekolah dari STM di
Surabaya, dan punya anak dua, tak pernah mempertaruhkan nasibnya
dengan memberi kepercayaan kepada apa yang disebut "wakil
rakyat".
Di tahun 1971 ia tak ikut memilih, karena belum cukup umur. Ia
tak banyak tahu apa yang dikerjakan orang di DPR. "Mana ada
orang yang mau memikirkan nasib orang lain - pasti nasibnya
sendiri yang ia utamakan", kata Ponijo, setengah berfilsafat.
Apa yang dipilihnya? "Saya 'kan orang Islam", jawabnya.
***
R. RACHMAD, 69, pensiunan.
Ia pensiunan pamong praja. Anaknya lima, laki-laki semua,
bergelar sarjana semua - seorang meninggal di Kalimantan di
waktu zaman "konfrontasi". Kini ia hidup dari pensiunnya, dan
menerima 6 wanita yang indekost. Ia masih membaca buku dan
berlangganan dua koran lebih. Dan ia mungkin tak akan memilih,
seperti dikatakannya beberapa hari sebelum 2 Mei.
"Saya kecewa sekali", katanya. "Soalnya begini. Menjelang 10
April, kami pergi ke Semarang. Untuk tirakatan dan nyekar
(menabur bunga), di makam Sosrokartono, persis 100 tahun beliau
wafat. Saya menginap di Bojong. Tengah malam, ada suara keras,
teriakan keras. Ternyata massa Golkar berkelahi melawan massa
PPP " . . . Saya kecewa melihat kejadian di daerah, baca koran
lha kok isinya cuma perkelahian. Saya cenderung untuk tidak
memilih sebetulnya . . . ".
Dan orang tua ini pun membandingkannya dengan pemilu 1955."Dulu
itu, semua berjalan tenang, kalem, dan rustig. Memang ada
ejek-ejekan, tapi tidak sampai menimbulkan perkelahian seperti
sekarang. Malah Bung Hatta datang ke TPS dan dia ketawa-ketawa.
Saya lupa milih apa. Pemilu kedua saya terus terang milih
Golkar. Nanti, saya kepingin tidak nusuk saja".
Menurut dia, "kasihan, karena banyak yang overacting, Golkar
jadi dapat celaan sekarang: lha jadi wasit kok begitu . . . ".
***
SAIMIN, 55, jaga malam.
Ia pernah 23 tahun bekerja di Singapura, pada perusahaan minyak
Shell, sebagai tukang kerek drum. Orang kelahiran Jatibaru,
Jakarta, yang berlogat betawi tebal ini punya dua isteri dan 9
anak. Isteri pertama masih di Rangkas Bitung, di kampung Pala.
Isteri kedua sudah meninggal.
Tahun 1969 Saimin kembali ke Indonesia, pensiun dari Shell. Dua
anaknya masih belajar di Singapura dengan biaya dari uang
pensiunnya. Ia sendiri sementara jadi jaga malam di daerah
Senen.
Dalam pemilu 1971, ia menusuk gambar banteng (PNI) di kampung
isterinya di Rangkas. Alasannya: "Saya ingat jasa Bung Karno".
Waktu itu, menurut dia, ada "paksaan". Ceritanya: "Waktu di
kereta api, pegawai kereta api bilang tusuk Golkar, tusuk ini
tusuk itu .... sampai di kampung, saya tusuk Banteng". Dia ikut
pemilu karena "semua musti ikut". Kalau tidak ikut, katanya,
"susah, nanti dipanggil Lurah".
Untuk pemilu 1?77 ini, Saimin tiga hari sebelum hari pemungutan
suara masih bimbang "Mau nusuk Banteng, ingat kita igama Islam
mau nusuk Ka'bah, pengin tau juga pigimana Banteng sekarang dan
inget Bung Karno". Kenapa dia tak memikirkan Golkar? "Saya nggak
tau apa-apa, deh, saya rakyat miskin ikut aja .... "
Di Rangkas, katanya, tidak ada pembangunan pengairan atau apa
pun. Kalau di Jakarta dia percaya: memang ada itu pembangunan.
***
SARMAN, 55, tukang becak.
Kerjanya di daerah Setiabudi, Jakarta. Meski sebagai penarik
becak, ia dapat menghidupi anaknya yang 9 orang. Orang kelahiran
Jakarta ini dulu punya toko, dagang asbes. Lalu bangkrut. Sejak
4 tahun yang lalu, ia jadi tukang becak. Baginya tak ada
alternatif lain untuk bekerja: ia sudah merasa tua.
Di tahun 1971 ia memilih Parmusi. Di tahun ini ia menusuk
tandagambar Ka'bah. Meskipun ia punya dugaan bahwa "Banteng (PDI
- Red.) terangkanlah", ia tidak tahu siapa yang bakal menang.
Ia mengakui "hasil pembangunan sudah bisa dilihat". Contohnya:
rumah sekolah sudah banyak berdiri. "Dulu mana ada", katanya.
Tapi ia menambahkan juga bahwa "ada yang tergencet karena
rumahnya dibongkar DKI tanpa ganti rugi yang pantas - malah ada
yang tidak diganti". Meski begitu Sarman menyatakan juga bahwa
banyak orang yang sudah kaya berkat pembangunan dewasa ini.
Ketika ditanya mungkinkan pembangunan bisa dijalankan oleh PPP,
ia menjawab: "Itu urusan orang di atas".
**
SUKARDI, 46, tukang kayu.
Ia penduduk Kampung Cibeureum Desa Sukaharja, Kecamatan Cijeruk,
Kabupaten Bogor. Semula ia bertani di kampungnya yang terletak 8
Km di selatan kota Bogor itu. Tapi lantaran sawahnya hanya
beberapa petak saja, lantas harga beras, yan dinilai orang
banyak kadang-kadang cukup mahal itu bagi petani sendiri tak
banyak menggembirakan, ia jadi tukang kayu.
Dalam Pemilu 1977 ia mengaku turut mensukseskan Pemilu dengan
datang ke TPS. Tapi di sana ia katanya ragu untuk memilih salah
satu tanda gambar. Soalnya, "Saya Islam, tapi banyak tetangga
saya entah apa sebabnya ratarata memilih Golkar. Bagi saya
Golkar, Kepala Banteng maupun Ka'bah samasama Pancasila. Saya
ragu memilih Golkar karena anak saya laki-laki nomor dua gagal
masuk STM, lantaran ongkosnya mahal. Saya ragu memilih Kepala
Banteng lantaran saya tidak tahu maksudnya. Memilih tanda gambar
Ka'bah bagi saya cukup tepat, tapi saya ingin tetangga saya
tidak menjauhi saYa Karenanya saya putuskan lebih baik tidak ke
sana ke mari".
Rakyat desa Sukaharja kecamatan Cijeruk Bogor yang umumnya tak
banyak bersekolah kabarnya memang banyak yang Golkar. "Habis,
lurah kita", ucap Wardi, 17 tahun, anak Sukardi yang gagal masuk
STM itu.
***
SUTOMO alias Bung Tomo, 57, pejoang '45
Melihat kampanye, tak bisa lain bagi bekas orator zaman Perang
Surabaya 1945 ini untuk menyediakan diri sebagai 'wasit
cadangan'. Meski tahun 171 berkampanye untuk Golkar di Jawa
Timur, tapi sekarang - nomor berapa yang akan ia tusuk --
"biarlah hanya Tuhan dan saya saja yang tahu", katanya.
Sekarang ia merasa berhak melontarkan kritik terhadap ABRI.
Sebab ia merasa scbagai seniornya. "Saya ikut membentuk TNI dan
duduk dalam Pucuk Pimpinan pertama di bawah Panglima Besar
Sudirman", tuturnya.
Menganggap ABRI sebagai ikan dan rakyat sebagai air, inilah
kritiknya: "tidak boleh ada sebagian air yang merasa menjadi
temannya ikan dan sebagian air yang merasa bermusuhan dengan
ikan".
WILLEM ROMPIS, 62, tukang gunting keliling.
45 tahun lamanya ia melewatkan hidupnya sebagai tukang gunting.
Setiap hari sejak fajar sampai petang ia nampak berkeliling di
kota Tomohon, Sulawesi Utara, dan desa-desa sekitarnya. Sambil
mengepit sebuah tas kulit yang telah sangat usang, berisi
peralatan - di antaranya sebuah gunting mesin berumur 20 tahun -
ia tiap kali berharap bakal ketemu gondrong yang sedia
dipangkas. Dengan tarip pangkas antara Rp 100 s/d Rp 200,
Williem berpenghasilan sekitar Rp 750 sehari. "Ini cukup untuk
sekedar makan dan pakaian seorang diri", katanya. Ia telah dua
tahun membujang, sejak isterinya meninggal.
Untuk menikmati sisa hidupnya di hari tua, Willem menyatakan tak
pernah risau meskipun tak punya tempat berteduh. Ia numpang di
rumah seorang anaknya di desa Kakaskasen, sekedar untuk
istirahat di malam hari.
Ia mengikuti kampanye dengan aktif, baik yang PDI maupun yang
Golkar. Ia sendiri simpatisan Golkar. Tapi ia menambahkan:
"Semua yang diakui pemerintah tentu baik". Tapi ia sayangkan
ialah cara kampanye. "Kampanye baru-baru ini terlalu kasar,
sampai ada pemukulan dan ada yang mati". Ia menilai banyak anak
muda yang belum punya hak memilih ikut bikin celaka selama
kampanye.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini