Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Masduki Baidlowi mengatakan keputusan menghapuskan sebutan kafir bagi nonmuslim di Indonesia pada Musyawarah Nasional NU, bertujuan untuk menjaga persaudaraan sesama bangsa. Tujuan ini menurutnya sesuai dengan semangat dan nilai-nilai Muktamar 1984 di Situbondo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak Muktamar 1984 di Situbondo, kata Masduki, NU sudah membuat keputusan bahwa ada tiga persaudaraan di dalam negara bangsa (nation states) yang harus terus dirajut. Pertama adalah persaudaraan seiman (sesama muslim). Kedua persaudaraan sesama bangsa (ukhuwah wathoniyah). Ketiga, persaudaraan sesama manusia (ukhuwah insaniyah).
“Apa yg diputuskan dalam Munas Alim Ulama di Banjar, merupakan elaborasi sekaligus konsistensi dari item kedua, persaudaraan sebangsa,” kata Masduki melalui keterangan tertulisnya, Sabtu 2 Maret 2019.
Ia mengatakan dalam Al-Quran ditegaskan bahwa manusia diciptakan bersuku-suku di muka bumi ini agar satu sama yg lain saling mengenal, saling bersilaturrahmi untuk menciptakan kedamaian. Perjanjian persaudaraan yang dilakukan oleh Grand syekh Al Azhar dan Paus Fransiscus Asisi dari Roma di Doha, Qatar, sekitar satu bulan lalu, disebut Masduki membawa semangat yang sama.
Latar belakang perjanjian di Doha, menurutnya, dikarenakan kondisi dunia yg makin tak kondusif untuk perdamaian antar sesama manusia. Ia menilai perdamaian dunia tak bisa diselesaikan dengan mengedepankan politik belaka, tetapi harus mengedepankan unsur agama.
Energi serta ruh agama tentang perdamaian antar sesama manusia musti dikedepankan. Persekusi serta energi negatif atas nama agama karena didominasi oleh kalangan yang kurang moderat, terjadi di mana-mana.
Ia menangkap bahwa Keputusan Doha juga sejalan dengan keputusan Muktamar NU 1984. Indonesia sejak 1945 didirikan bersama-sama (negeri perjanjian/mu’ahadah) mesti dijaga bersama-sama. Ini sudah menjadi keputusan Muhammadiyah dan NU.
Pun dari sudut pandang kenegaraan, ia menilai tak ada mayoritas dan minoritas pemeluk agama. Semua sama posisinya di depan hukum.
“Jadi, tidak tepat menyebut saudara kita yang agamanya berbeda sebagai kafir. Saudara kita menjadi tidak nyaman perasaannya. Anjuran agama tidak mengajarkan pada kita untuk membuat saudara sebangsa tersinggung,” kata Masduki.
Sebelumnya Munas NU, mengusulkan agar NU tidak menggunakan sebutan kafir untuk warga negara Indonesia yang tidak memeluk agama Islam. Pimpinan sidang, Abdul Moqsith Ghazali, mengatakan para kiai berpandangan penyebutan kafir dapat menyakiti para nonmuslim di Indonesia.
Meski begitu, kata Moqsith, bukan berarti NU akan menghapus seluruh kata kafir di Al Quran atau hadis. Keputusan dalam Bahtsul Masail Maudluiyyah ini hanya berlaku pada penyebutan kafir untuk warga Indonesia yang nonmuslim.