Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

PDI pecah, 'PNI baru' muncul

Doel arnowo, 76, bekas walikota pertama surabaya, bersama-sama beberapa teman yang menyebut dirinya 'marhaenis sejati' mendirikan pni (pembangunan nasional indonesia). (nas)

5 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NASIB PDI mirip meramalkan bunyi tokek. Pecah, rujuk, pecah, rujuk, pecah .... Pekan lalu, sementara makin banyak orang yang merasa bosan, DPP PDI rujuk lagi. Dan lagi-lagi berkat "uluran tangan" penguasa, kali ini Pangkopkamtib Laksamana Sudomo. Seusai pertemuan 3 jam dengan DPP PDI di ruang kerjanya pekan lalu, Pangkopkamtib Sudomo mengatakan pada pers DPP PDI telah bersatu kembali "atas kesepakatan mereka sendiri." Akan diadakan sidang intern dalam bulan Januari ini untuk menyelesaikan semua masalah termasuk persiapan Kongres pada April 1980. Menurut Sudomo, apa yang dilakukannya hukanlah campur tangan, tapi urun rembuk guna mengakhiri kemelut dalam tubuh PDI. Hadir dalam pertemuan itu para tokoh yang mewakili masing-masing kelompok dalam PDI, antara lain Sanusi Hardjadinata, Sunawar Sukowati, Mh. Isnaeni, Hardjantho. Sabam Sirait dan Achmad Sukarmadidjaja. Tidak ada yang bisa dikorek dari mereka karena Sudomo melarang wartawan bertanya pada mereka. "Jangan ditanya dulu, nanti tambah .... lagi. Cukup saya saja," cegah Pangkopkamtib. Kampungan Urun rembuk Pangkopkamtib menarik, karena pertengahan November lalu Kepala Bakin/Kaskopkarmtib Jenderal Yoga Sugama menyatakan bahwa Bakin sebagai instansi lepas tangan, tidak lagi mau turun tangan dan ikut serta menyelesaikan kemelut PDI. Agaknya urun rembuk (menyumbangkan pendapat) itu diperlukan. Sejak 1976 perpecahan dalam pimpinan PDI telah terjadi dengan pengelompokan yang simpang siur dan selalu berubah. Terakhir, terdapat 2 kelompok utama: Hardjantho dkk dan Sanusi dkk. Lepas tangannya Bakin mengakibatkan keadaan yang mandek, yang mencair 15 Desember lalu, tatkala AP Batubara -- Ketua DPD PDI Jakarta (yang terpecah dua juga) -- mengambil alih DPP PDI dan menduduki kantor DPP di Jalan Diponegoro Jakarta. Langkah AP Batubara rupanya mendobrak kemacetan. Pangkopkamtib Sudomo memanggil Batubara setelah menerima pengaduan Sanusi dkk. Kemudian disusul "silaturakhmi" kelompok llardjantho ke rumah Sudomo. Hasil semua itu pertemuan DPP PDI dengan Sudomo pekan lalu. Tapi kantor DPP tetap disegel dan kunci masih dipegang Sudomo. "Sewajarnya nanti kunci saya serahkan pada pak Sanusi, cuma kita tunggu waktu yang baik," ujar Pangkopkamtib. Apakah bersatunya DPP PDI itu bisa langgeng? Menurut Sekjen DPP PDI Sabam Sirait, penyebab kemelut adalah perbedaan pendapat dalam bidang organisasi dan personalia dan bukannya perbedaan politik. Dalam menghadapi berbagai masalah yang bersifat nasional seperti RUU HAP dan RUU Pemilu, semua bersatu. "Kasarnya di PDI sekarang ada penyakit kampungan. Semua merasa bisa jadi ketua umum," ujar Sabam. Menurut TAM Simatupang, salah satu Ketua PDI, yang ada sekarang baru keinginan untuk bersatu. Belum mungkin saat ini bagi DPP untuk berkumpul secara formal membicarakan masalah prinsip. Seyogyanya dilakukan rembukan dulu untuk mempersiapkan pertemuan formal. Yang ikut meramaikan kemelut: AP Batubara yang masih terus melanjutkan kegiatan sebagai "Pimpinan Pelaksana Harian DPP" dengan memberhentikan beberapa anggota DPP yang dipilih Kongres. "Saya baru saja mendapat surat pemecatan," ujar TAM Simatupang Sabtu lalu. Campur tangan pemerintah lewat Sudomo dalam PDI tampaknya karena pemerintah sendiri berkepentingan terhadap partai ini. Tahun depan persiapan pemilu 1982 sudah harus dimulai dan tanpa adanya DPP yang pasti, sulit bagi pemerintah untuk mengajak PDI mempersiapkan pemilu. Dan kelihatannya pemerintah sementara ini tetap menyetujui Sanusi sebagai ketua umum karena dipilih oleh kongres. Berlarut-larut dan awetnya perpecahan dalam pimpinan PDI itu rupanya menimbulkan akibat samping. Beberapa tokoh PNI (Partai Nasional Indonesia) yang sejak semula kurang menyetujui berfusinya PNI dalam PDI akhirnya mengambil jalan sendiri. "Bagaimana fusi itu berjalan lancar. Yang difusikan kan berlainan ideologinya," ujar H. Doel Arnowo, 76 tahun, bekas Ketua PNI Ja-Tim sebelum fusi pada TEMPO. Cak Doel, yang juga bekas walikota pertama Surabaya, ternyata tidak sendirian mengidap nostalgia PNI. Bersama beberapa temannya yang menyebut diri mereka "Marhaenis sejati" dibentuklah suatu wadah. Secara resmi pada 20 Mei 1979 didirikan sebuah organisasi sosial yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi. Namanya Pembangunan Nasional Indonesia disingkat PNI. Lambangnya berbentuk kepala banteng dalam segitiga dengan dasar putih dan gambar merah. Lewat Pendidikan PNI berpusat di Malang dengan Ketua Umum Asmiadi Tiro Utomo yang pernah menjadi Ketua Umum Gerakan Pemuda Marhaenis Jawa Timur. Doel Arnowo sendiri menjabat Ketua Dewan Pertimbangan, sedang wakilnya drh. Ambio, bekas pimpinan DPD PNI Ja-Tim 1966-1970. Sampai saat ini baru ada 3 pengurus daerah yang diresmikan: Jawa Timur, Jawa Tengah dan Bali. "Dalam waktu dekat ini Jawa Barat dan Sumatera Utara sudah bisa berdiri," ujar Doel. Sementara ini PNI hanya bergerak di bidang sosial, seperti mendirikan lembaga pendidikan misalnya yang telah dilakukan di Banyuwangi. "Seperti Ki Hajar Dewantara, untuk merealisir cita-cita membina bangsa harus dimulai dari pendidikan," ucap Doel. Untuk jangka panjang ia menginginkan PNI bisa ikut Pemilu. "Kalau tidak diizinkanya tetap saja sebagai organisasi sosial, tambahnya. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PNI ternyata hampir tidak berbeda dengan PNI dulu. Dalam pasal 7 misalnya, disebutkan PNI bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Marhaenistis atau Sosialisme Pancasila. Juga memupuk dan mengobarkan semangat nasionalisme dan patriotisme. Doel Arnowo tidak merasa perlu memberi penjelasan pada PDI tentang berdirinya PNI, walau "kami akan memberi penjelasan pada siapa saja yang minta penjelasan," katanya. "Secara resmi kita memang belum mendapat laporan tentang itu," kata Sekjen PDI Sabam Sirait pada TEMPO. "Kalau sekedar gerakan sosial dan pen(lidikan, jelas bisa saja," lanjutnya. Tapi kalau-akan berkembang menjadi parpol, secara prinsipil tidak bertentangan dengan pasal 28 UUD, tapi bertentangan dengan UU no. 3/1975 tentang Parpol dan Golkar. Namun diakuinya UU ini bisa ditinjau kembali bila keadaan memungkinkan. Sabam mendukung sepenuhnya usaha PNI untuk mengobarkan semangat nasionalisme. "Demi patriotisme, siapa saja bisa melanjutkan nasionalisme Pancasila," ucapnya. PDI sendiri juga mengarah ke sana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus