Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENGUNG helikopter di atas Alun-alun Menes di Desa Purwaraja, Kecamatan Menes, Pandeglang, Banten, pada Rabu, 9 Oktober lalu, menarik perhatian pasangan suami-istri Syahrial Alamsyah alias Abu Rara dan Fitria Diana. Dari rumah mereka yang berjarak sekitar 300 meter dari alun-alun, keduanya berjalan ke sumber keriuhan dan bergabung dengan penduduk lain yang sudah menggimbung. “Saya penasaran dan pingin melihat heli mampir di alun-alun,” ujar Syahrial menceritakan peristiwa itu dalam wawancara khusus dengan Tempo di Jakarta Selatan pada Jumat, 25 Oktober lalu.
Pria 51 tahun itu kemudian bertanya kepada sejumlah orang dan mendapat informasi bahwa ada pejabat dari Jakarta yang akan datang ke Menes. Dari seorang warga lain di lapangan, ia tahu bahwa pejabat yang dimaksud adalah Wiranto—saat itu menjabat Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Lalu-lalang helikopter di atas alun-alun hari itu adalah bagian dari geladi bersih penyambutan Wiranto, yang akan meresmikan gedung Universitas Mathla’ul Anwar keesokan harinya atau 10 Oktober lalu.
Syahrial bertahan di alun-alun hingga menjelang sore. Setelah itu, ia pulang ke rumah kontrakan bersama istrinya. Dalam perjalanan pulang itu, rencana membunuh Wiranto mengapung. Ia mengaku niatnya tiba-tiba terkumpul karena menganggap momentum kehadiran pejabat sekelas menteri ke Desa Purwaraja, yang berpenduduk 7.000 jiwa, tak bakal datang dua kali. “Apalagi ini menteri bidang keamanan yang penjagaannya pasti sangat ketat,” katanya. “Peluang mati syahid sangat besar.”
Sesampai di kontrakan, Syahrial mengutarakan rencananya kepada Fitria. Tapi ia tak mengajak sang istri turut serta. “Saya mau amaliyah besok. Kamu yang tabah dan ikhlas, ya,” ujar Syahrial.
Jawaban Fitria tak sesuai dengan dugaan Syahrial. Fitria tak rela Syahrial bertindak sendiri. Kepada Syahrial, Fitria mengungkapkan keinginannya mati “syahid” bersama-sama. Syahrial sempat ragu terhadap keinginan Fitria ikut membunuh Wiranto, tapi ia tak bisa lagi menolak setelah istrinya menjelaskan ajaran “jihad”.
Malam itu, pasangan yang berbeda usia 31 tahun tersebut bersembahyang. Menurut Syahrial, ia sempat berzikir, lalu mendirikan salat witir dan tahajud. Mengawali hari-H, Syahrial dan Fitria menunaikan salat subuh berjemaah. Seusai salat, mereka berbicara. “Saya tak tahu apakah ini jalan amaliyah yang Allah berikan kepada kita,” kata Syahrial kepada istrinya. “Kalau Allah tak memberi jalan, kita tak usah melakukan apa-apa, pulang, dan tetap menjaga rahasia.” Menurut Syahrial, istri keempatnya itu sempat menangis sesenggukan.
Pada tengah hari, Wiranto dan rombongan tiba di alun-alun. Ketika itulah Syahrial, yang mengenakan baju hitam dan celana putih, menujahkan pisau kunai ke perut Wiranto. Bekas Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia itu ambruk. Beberapa detik kemudian, Fitria menikam punggung Kepala Kepolisian Sektor Menes Komisaris Dariyanto dua kali, juga menggunakan pisau kunai.
Lahir di Medan pada 7 April 1968, Syahrial anak kedelapan dari sembilan bersaudara. Keluarga besarnya bermukim di Jalan Alfaka, Kecamatan Medan Deli, Kota Medan. Rumah masa kecil Syahrial kini sudah rata dengan tanah lantaran terimbas pembangunan jalan tol.
Syahrial mengaku menuntaskan studinya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan mengambil jurusan hukum tata negara. Kepala Kantor Hubungan Masyarakat USU Elvi Sumanti membenarkan pengakuan Syahrial bahwa ia alumnus kampus tersebut. Syahrial terdaftar sebagai mahasiswa angkatan 1987 dan lulus pada 1994. Nilai akademisnya tak istimewa. “Rentang waktu kelulusan Syahrial sudah terlampau lama sehingga kampus tak bisa memantau lagi kegiatannya,” ujar Elvi soal aktivitas Syahrial setelah lulus.
Menyandang gelar sarjana hukum tak menjamin Syahrial memperoleh pekerja-an. Ia mengaku sempat bekerja serabutan dan menjadi pencandu ganja setelah lulus kuliah. Abangnya yang tahu bahwa dia mengkonsumsi ganja kemudian mengajaknya pindah ke Malaysia agar hidupnya tak berantakan.
Di sana, nasib Syahrial tak lebih baik. Ia memang berhenti mengisap ganja. Tapi soal pekerjaan tak beranjak jauh. Ia ikut membantu kakaknya berjualan di kedai nasi milik seorang juragan kuliner di sana sebagai pencuci piring. Syahrial melakoni pekerjaan itu cuma tiga bulan karena tak betah, lalu pulang ke Indonesia.
Sesampai di Indonesia, Syahrial sempat menikah tiga kali sebelum bertemu dengan Fitria. Ketiga istrinya telah diceraikan. Menurut Syahrial, istri keduanya adalah orang yang menemaninya saat pertama kali merantau ke Pulau Jawa dan be-lajar agama. Waktu itu, ia diterima bekerja sebagai penjaga rumah singgah—tempat penampungan sementara anak-anak yatim sebelum menemukan keluarga baru—di Kediri, Jawa Timur. Istri keduanya bertugas sebagai juru masak.
Di rumah singgah itu ada musala. Di sana, Syahrial sering didapuk sebagai imam salat. “Saya manfaatkan waktu luang di sana untuk mendalami ilmu tauhid,” ujarnya.
Perkenalannya dengan media sosial Facebook pada 2015 membawanya pada ajaran baru. Ia bergabung dalam sejumlah grup percakapan dan rutin menyimak video tausiah. Terpengaruh tulisan yang dibagikan di grup Facebook, Syahrial, misalnya, meyakini bahwa tahlilan tak sesuai dengan syariat. Dari media sosial itu pula ia mempelajari ajaran Aman Abdurrahman, pendiri Jamaah Ansharud Daulah, yang berbaiat ke kelompok Negara Islam Irak dan Suriah alias ISIS.
Syahrial sempat menetap di Bogor sebelum memutuskan mengontrak di Pandeglang. Pada saat yang hampir bersamaan, ia bergabung di grup percakapan WhatsApp bernama “Keluarga Bahagia”. Fitria bergabung dalam grup yang sama. Sebelum menjadi istri, Fitria curhat kepada Syahrial bahwa ia ingin kabur dari rumah karena hendak dijodohkan orang tuanya. Syahrial kemudian berinisiatif mencarikan pasangan, tapi tak kunjung mendapatkannya. “Fitria bilang, ‘Abu saja yang menikahi bila itu menjadi kehendak Allah’,” tutur Syahrial.
Syahrial dan Fitria akhirnya menikah pada 26 Juli 2019 di rumah Fazri Pahlawan alias Abu Zee Ghuroba, Amir Jamaah Ansharud Daulah Bekasi. Menurut Fazri, Syahrial-lah yang mengontaknya pertama kali dan minta dinikahkan. “Dia bilang, karena kami satu akidah, harus saling membantu,” kata Fazri. Pada hari perkawinannya, Syahrial dan Fitria datang lebih awal dari jadwal karena mengaku buru-buru ingin menikah. Belakangan, Syahrial mengaku pernikahannya dengan Fitria tak direstui orang tua mempelai perempuan.
Pengantin baru itu lalu menetap di Menes, Pandeglang, sampai pada hari mereka menikam korbannya. Pisau kunai yang dipakai keduanya merupakan barang dagangan Syahrial di lapak jual-beli online. Syahrial sempat mengira ia tewas tertembak setelah menghunjamkan pisau ke perut Wiranto karena kepalanya pening dan terasa berputar-putar. Beberapa detik kemudian, ia sadar bahwa ia gagal mati “syahid”. “Ternyata saya enggak mati,” ujarnya. “Cuma dilumpuhkan.”
RAYMUNDUS RIKANG
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo