Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerhati kebijakan publik, Chazali Situmorang, menilai peran staf khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dalam program ekspor benih lobster tak sesuai aturan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Contoh di KKP menggambarkan staf khusus melakukan tugas-tugas yang seharusnya dilakukan direktur jenderal," kata Chazali dalam diskusi Perspektif Indonesia, Sabtu, 28 November 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai mantan birokrat, Chazali mengaku merasakan dinamika keberadaan staf khusus. Misalnya, keberadaan staf khusus baru muncul di era Presiden Megawati Soekarnoputri, lalu mulai diatur dalam regulasi di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan makin jelas tugasnya dalam perpres yang terbit di era Presiden Joko Widodo.
Ia mengaku miris karena staf khusus kini lebih banyak tampil di depan publik. "Yang kita sering lihat kecenderungan sekarang ini staf khusus tampil secara publik di depan layar yang mengambil alih tugas-tugas pejabat di dalam. Ini jadi persoalan," katanya
Chazali mengatakan, tidak ada yang salah dengan keberadaan staf khusus sepanjang melakukan tugas-tugasnya yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2019. Dalam perpres diatur bahwa staf khusus bertugas memberikan masukan atau saran kepada menteri sesuai penugasan.
"Intinya staf khusus berada pada posisi memberikan masukan pada menteri sebagai think tank. Stafsus harus kebanyakan di belakang layar," ujarnya.
Staf khusus Edhy Prabowo, Andreau Pribadi dan Amiril Mukminin sebelumnya menyerahkan diri ke KPK. Peran Andre dan Amiril diduga vital dalam ekspor benih ini. Mereka adalah orang yang bertugas memeriksa kelengkapan dokumen yang diajukan eksportir.
Mereka berdua diduga menentukan biaya angkut ekspor benih yaitu Rp 1.800 per ekor. Pengangkutan dilakukan oleh PT Aero Citra Kargo, satu-satunya perusahaan yang ditunjuk melakukan kegiatan itu. Padahal, harga wajar angkut ialah Rp 200-300 per ekor.
Di PT ACK, KPK menduga Edhy memiliki sejumlah saham yang menggunakan nominee alias pinjam nama. “Pemegang saham merupakan nominee dari EP (Edhy Prabowo),” kata Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango.
Dari duit angkut lobster yang diterima PT ACK dari perusahaan eksportir, KPK menduga sebanyak Rp 9,8 miliar mengalir ke kantong Amri dan Ahmad Bahtiar, pemilik saham PT ACK. Duit itu diduga ditujukan untuk keperluan Edhy, istrinya Iis Rosyita Dewi, Andreau dan Safri, Wakil Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas Ekspor Benih Lobster.