PERSIS, atau Persatuan Islam, masih terkesan keras. Organisasi yang semata berpegang pada Quran dan Hadis ini tetap memerangi bidah. Dihadiri 800 peserta yang mewakili 98 cabang dari 18 provinsi, Persis mengadakan muktamar ke-10 di Pesantren Rancabago, Tarogong, Garut, Jawa Barat, pada 6-8 Mei. Ada yang menilai Persis sebuah organisasi "gurem". Sebab, sejak berdirinya, lebih mementingkan kualitas. Dalam tesisnya, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Deliar Noer menyebut Persis "tidak berminat membentuk banyak cabang atau menambah sebanyak mungkin anggota". Dalam usia lebih dari setengah abad, kini anggotanya hanya 15 ribu orang. Bersama Muhammadiyah, al-Ittihadiyyah, dan al-Washliyyah, Persis jadi anggota istimewa Masyumi. Setelah parpol Islam itu dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada 1960, Persis hilang dari peredaran. Hanya beberapa sekolah (SD-SMA) dan pesantrennya terus hidup. Tapi Menteri Agama Munawir Sjadzali, yang membuka muktamar, melihat Persis berpengaruh besar dalam memelihara kemurnian Islam dari khurafat dan yang asing bagi Islam. Ini muktamar Persis pertama yang terbuka. Sebelumnya, sejak Masyumi dibubarkan, muktamar selalu tertutup tanpa publikasi. "Sekarang situasinya sudah berbeda. Adanya keterbukaan, karena tidak lagi dicurigai. Persis kan bekas anggota Masyumi," kata K.H. Abdul Latif Muchtar, 59 tahun, Ketua Umum Persis. Agaknya, keterbukaan berarti boleh terbukanya AD/ART bagi asas tunggal Pancasila. Dalam pengarahannya pada pembukaan muktamar, Menteri Dalam Negeri Rudini juga menyinggung UU No.8/1985 yang mengatur soal asas tunggal tersebut. M. Natsir, bekas tokoh pimpinan Persis, juga berusaha hadir. Tapi, karena sakit, ia tertahan di Bandung. Menurut sebuah sumber, eks Ketua Umum Masyumi itu memang sengaja hanya sampai di Bandung, walau sempat menyerahkan sambutannya yang tujuh lembar. Muktamar bahkan membahas hukum Islam mengenai beberapa masalah kontemporer, seperti bayi tabung, pencangkokan jaringan tubuh, operasi kelamin, dan bank Islam. Dilihat dari sejarah dan peran Persis yang tanggap dan gesit terhadap masalah kemasyarakatan, pembahasan soal-soal semacam itu terasa "ketinggalan zaman". Sebab, organisasi seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sudah duluan memutuskannya. Persis, yang kini kurang gesit, didirikan oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Junus di Bandung pada 1923. Setahun kemudian datanglah seorang ulama besar -- yang lahir di Singapura pada 1887 -- yang segera mewarnai kepemimpinan Persis. Dia adalah A. Hassan. Belakangan, nama ulama yang juga dikenal sebagai Hassan Bandung, dan kemudian Hassan Bangil, ini lekat dengan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Apalagi setelah ia bersama M. Natsir memimpin Persis pada 1936. Sebelumnya, tokoh yang terkenal lantaran tafsir Quran dan puluhan buku karyanya itu juga jago berdebat mengenai masalah agama. Waktu itulah Bung Karno -- yang tengah dibuang di Ende, Flores (Nusa Tenggara Timur) -- berkorespondensi mengenai masalah-masalah Islam dengan A. Hassan. Bung Karno bahkan minta dikirimi buku-buku dari ulama itu -- yang wafat pada 1958 di Bangil. Dalam Surat-surat dari Endeh, yang belakangan dimuat dalam Di Bawah Bendera Revolusi, 1963, tercermin pemikiran "modern" Bung Karno yang sejalan dengan alam pikiran A. Hassan. Di antara buku-buku Islam yang disimak Bung Karno selama di pengasingannya, penerbitan Persis adalah yang paling pas dengan alam pikirannya. "Bagian-bagian fikih terutama sekali, Persislah yang menjadi saya punya penuntun. Memang Persis adalah sangat sekali tinggi duduknya di dalam saya punya sympathie", tulis Bung Karno dalam salah satu artikel. Begitulah Persis, dulu. Budiman S. Hartoyo, Biro Bandung dan Surabaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini