Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

Ragam Tanggapan Soal Usul NU Menghapus Istilah Kafir

Usulan NU menghapus sebutan kafir untuk non muslim mendapat tanggapan dari beberapa organisasi agama lainnya.

3 Maret 2019 | 06.09 WIB

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj (kiri) saat rapat pleno dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama (NU) di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Banjar, Jawa Barat, 27 Februari 2019. Munas dan Konbes diselenggerakan mulai 27 Februari hingga 1 Maret 2019. TEMPO/M Taufan Rengganis
Perbesar
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj (kiri) saat rapat pleno dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama (NU) di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Banjar, Jawa Barat, 27 Februari 2019. Munas dan Konbes diselenggerakan mulai 27 Februari hingga 1 Maret 2019. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Nahdlatul Ulama atau NU telah mengusulkan agar penggunaan sebutan kafir untuk warga negara Indonesia yang tidak memeluk agama Islam, tak lagi digunakan. Hal ini menjadi salah satu poin pembahasan di Sidang Komisi Bahtsul Masail Maudluiyyah, Musyawarah Nasional Alim Ulama NU, yang digelar di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alasannya, para kiai dalam sidang itu sepakat bahwa penyebutan kafir dapat menyakiti para non-muslim di Indonesia. Pembahasan mengenai penggunaan kata kafir ini mencuat di sidang NU, lantaran muncul sekelompok masyarakat yang mulai memberikan atribusi diskriminatif.

"Dianggap mengandung unsur kekerasan teologis. Karena itu para kiai menghormati untuk tidak gunakan kata kafir tapi 'Muwathinun' atau warga negara, dengan begitu status mereka setara dengan warga negara yang lain," ujar Pimpinan sidang, Abdul Moqsith Ghazali.

Beragam tanggapan dari umat berbagai golongan agama muncul pasca usulan NU ini dibuat. Berikut beberapa sikap yang dirangkum Tempo

1. Katolik - Persekutuan Gereja Indonesia (PGI)
Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) menilai usulan itu menjadi penting, sebagai bentuk penegasan untuk menolak fenomena yang berkembang dewasa ini, yakni semangat mengkafirkan oleh sebagian umat islam.

Sekretaris Umum PGI Gomar Gultom mengatakan saling kafir-mengkafirkan ini merupakan bentuk kekerasan teologis. Hal ini juga ia nilai mengusik persaudaraan dan kerjasama sesama anak bangsa.

"Kita tidak hendak menggugat penggunaan kata kafir dalam kitab suci, kalau itu memang ada. Namun dalam masyarakat majemuk, dan dalam perspektif kemanusiaan sejati, patutlah kita mengembangkan pemahaman yang lebih menghargai satu sama lain," kata Gomar.

2. Hindu - Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI)
Umat Hindu lewat PHDI juga sejalan dengan PGI untuk mendukung usulan NU tersebut. Sekretaris Bidang Hubungan Internasional PHDI Pusat, AA Ketut Diatmika mengatakan langkah tersebut dapat mempererat rasa persatuan kesatuan bangsa.

"Apa yang dilakukan oleh saudara kami dari NU adalah hal yang positif demi terbinanya ketertiban, persatuan dan kesatuan bangsa indonesia, kami ikut mendukung," kata Ketut saat dihubungi Tempo, Sabtu, 2 Februari 2019.

3. Buddha - Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi)
Respon sedikit berbeda muncul dari umat Buddha yang diwakili lewat Walubi. Mereka menarik urusan ini ke ranah yang lebih teologis.

Koordinator Publikasi Walubi, Rusli Tan mengatakan bagi umat Buddha, sebutan apapun bagi mereka, tidak pernah mereka permasalahkan sejak awal. "Umat Buddha seharusnya tidak mempermasalahkan panggilan orang atau apa kata orang. Karena tak semestinya (Umat Buddha) menuntut orang lain untuk menghormati," kata Rusli Tan.

Rusli mengatakan secara teologis, dalam agama Buddha, diajarkan tak boleh menuntut orang lain. Agar bisa dihormati orang lain, maka Umat Buddha dkwajibkan menghormati orang lain apapun kondisinya.

Apapun reaksi yang didapat, merupakan karma baik maupun buruk bagi umat tersebut. "Persoalan orang lain menghormati kami atau tidak, itu karma kami sendiri," kata Rusli.

NU menyebut keputusan terkait penyebutan 'kafir' ini sebatas menjadi dasar sikap NU. Pasalnya, keputusan itu tak akan diteruskan ke Komisi Rekomendasi dan dibawa ke dalam sidang pleno di acara Munas Alim Ulama yang berakhir pada Jumat, 1 Maret 2019 lalu.

"Biasanya rekomendasi itu terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan negara. Sementara ini hanya narasi akademis," tutur Moqsith.

AHMAD FAIZ IBNU SANI

Egi Adyatama

Bergabung dengan Tempo sejak 2015. Alumni Universitas Jenderal Soedirman ini sejak awal meliput isu politik, hukum, dan keamanan termasuk bertugas di Istana Kepresidenan selama tiga tahun. Kini menulis untuk desk politik dan salah satu host siniar Bocor Alus Politik di YouTube Tempodotco

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus