Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Rayuan Pulau Seribu

Perusahaan dan individu ditengarai menguasai sedikitnya 60 pulau dari seratusan pulau di Kepulauan Seribu. Menyiasati aturan.

8 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERDIRI di pinggir pantai Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta, sebuah pondok penginapan dengan tujuh kamar tampak terbengkalai. Pada plang yang terpacak di depan bangunan tertulis bahwa properti tersebut sedang dalam pengawasan Kepolisian Resor Kepulauan Seribu. "Rumah ini membawa saya ke pengadilan," kata Sulaiman, 36 tahun, Kamis pekan lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sulaiman, warga Pulau Pari, bekerja sebagai penjaga pondok itu sejak 2012. Pemilik tanah dan pondok, menurut dia, adalah seorang pengusaha asal Bogor, Jawa Barat. Namun, pada 2014, status tanah pondok itu berubah menjadi milik Pintarso Adijanto, bos PT Bumi Pari Asri, yang juga memegang sertifikat hak guna bangunan di Pulau Pari. Atas dasar itu, Sulaiman dilaporkan ke polisi dengan tuduhan penyerobotan lahan. Pada pekan ini ia akan menjalani sidang dengan agenda pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika sengketa lahan meruncing, Ombudsman DKI Jakarta menerbitkan hasil pemeriksaan pada status tanah di Pulau Pari. Hasilnya, Ombudsman menemukan dugaan maladministrasi penerbitan 62 sertifikat hak milik dan 14 sertifikat hak guna bangunan milik PT Bumi Pari Asri di Pulau Pari. "Penerbitan sertifikat oleh kantor pertanahan diduga tidak mengikuti aturan perundang-undangan dan diajukan secara sporadis," ujar Dominikus Dalu, Kepala Ombudsman DKI Jakarta pada saat pemeriksaan status lahan Pulau Pari dilakukan.

Ombudsman menemukan penerbitan sertifikat oleh Kantor Pertanahan Jakarta Utara tak didahului dengan pengukuran yang diketahui warga Pulau Pari dan pemilik tanah yang berbatasan dengan bidang ukur. Daftar peta bidang tanah hasil pengukuran juga tak diumumkan. Akibatnya, warga Pulau Pari tak punya kesempatan untuk menyatakan keberatan.

Menurut Ombudsman, penerbitan 62 sertifikat hak milik di Pulau Pari menyebabkan terjadinya monopoli kepemilikan hak atas tanah. Sebab, sertifikat yang diterbitkan kantor pertanahan atas nama perseorangan yang diduga masih punya hubungan kekerabatan dengan bos Bumi Pari, Pintarso Adijanto, yakni Awandono Adijanto, Pandjijono Adijanto, Muriati Adijanto, Winoto Adijanto, Mariana Adijanto, dan Suparno Adijanto.

Dalam penerbitan 14 sertifikat hak guna bangunan untuk PT Bumi Pari, Kantor Pertanahan Jakarta Utara juga ditengarai mengabaikan fungsi sosial tanah dan kepentingan umum dalam pemanfaatan ruang. Penerbitan sertifikat HGB untuk PT Bumi Pari bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 yang menetapkan sebagian Pulau Pari menjadi kawasan permukiman.

Direktur Utama PT Bumi Pari Asri, Pintarso Adijanto, lewat juru bicara perusahaan, Ben Yitzhak Wibowo, mengatakan perusahaan memperoleh tanah di Pulau Pari dengan cara membeli hak adat atau surat girik pada 1990-an. Transaksi itu, kata dia, tercatat di kelurahan dan belakangan ditingkatkan statusnya menjadi sertifikat hak guna bangunan. "Semua dapat dipertanggungjawabkan di depan hukum," ucap Ben.

Ben juga menampik jika keluarga Adijanto dan perusahaan disebut menguasai hampir 90 persen tanah di Pulau Pari dan mendalangi proses hukum yang sedang dijalani Sulaiman. Menurut Ben, perusahaan justru sedang melakukan upaya hukum untuk mengambil kembali tanah mereka. "Warga justru yang tak bisa menunjukkan bukti kepemilikan tanah mereka," ujarnya.

Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Utara Asnaedi menjelaskan penerbitan sertifikat untuk perseorangan dan perusahaan di Pulau Pari sesuai dengan prosedur. Menurut dia, kantor pertanahan telah memeriksa semua dokumen dan tidak menemukan dugaan pelanggaran administrasi seperti yang disampaikan Ombudsman. "Semuanya clear," kata Asnaedi, Senin pekan lalu.

Kepemilikan pulau oleh perseorangan dan perusahaan tak hanya terjadi di Pulau Pari. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pada April 2015 mengatakan sekitar 60 pulau dari seratus pulau yang ada di Kepulauan Seribu dimiliki perseorangan dan korporasi. "Ini gila," ujar Basuki saat itu, sepulang blusukan ke Kabupaten Kepulauan Seribu.

Basuki menduga kepemilikan perseorangan atau perusahaan berawal dari pengajuan permohonan izin menggarap lahan tapi kemudian mencaploknya. Waktu itu ia berencana menarik pajak yang besar dari para pemilik pulau agar mereka mengembalikan pulau-pulau tersebut ke pemerintah.

l l l

BERJARAK setengah jam perjalanan dengan perahu motor dari Pulau Pari, ada Pulau Tikus, yang pasirnya putih menghampar. Luas pulau ini sekitar 1,4 hektare. Di teras pulau, tertancap tonggak kayu dengan bendera Merah Putih serta papan bertulisan "Tikus Island". Sederetan tong plastik biru disusun menjadi tanggul di bibir pantai.

Pos pengamanan berukuran 5 x 5 meter adalah satu-satunya bangunan yang berdiri di tengah pulau. Di sisi kanan tembok luar bangunan tergantung papan kayu cokelat yang menerangkan bahwa tanah di pulau itu milik keluarga Adijanto.

Keluarga Adijanto adalah bos Grup Bumi Raya Utama, yang didirikan Adijanto Priosoetanto alias Tan Lim Hian. Pada era Soeharto, dia salah satu pemegang konsesi pengelolaan hutan terbesar di Indonesia. Tak hanya berbisnis kayu, keluarga Adijanto merambah bisnis batu bara lewat bendera PT Resource Alam Indonesia Tbk.

Petugas keamanan yang berjaga di Pulau Tikus mengatakan pemilik pulau sempat mampir sekitar sebulan lalu untuk survei. Menurut dia, bosnya melarang turis, lokal dan asing, bermain di Pulau Tikus. "Dulu pernah ada insiden. Atasan kami tak mau peristiwa itu terjadi lagi," kata pria yang mengaku berasal dari Jawa Barat tersebut.

Pulau Tengah yang berjarak 40 kilometer dari Dermaga Marina Ancol juga dikelola perusahaan. Berdasarkan dokumen izin peruntukan penggunaan tanah (IPPT) dari Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu, PT Setia Utama Island, yang dimiliki pebisnis voucher pulsa isi ulang Hengky Setiawan, mendapatkan IPPT atas penyertifikatan tanah seluas 155 meter persegi. PT Setia dalam dokumen itu beralamat di Jalan Sukarjo Wiropranoto Nomor 4, ruas jalan yang sama tempat sejumlah perusahaan Hengky, seperti PT Setia Utama Investama, berkantor.

Muhtarudin, nelayan yang sudah 30 tahun bermukim di Pulau Pari, mengatakan Pulau Tengah adalah nama asli dari pulau seluas 10 hektare tersebut. Seiring dengan berdirinya resor mewah, turis mengenalnya sebagai Pulau Hmeski tanah yang disertifikatkan seluas 155 meter persegi. "Inisial dari nama pemilik pulau," ujar Muhtarudin, 59 tahun.

Inisial tersebut terpampang di menara yang menjulang dengan bentuk mirip bambu runcing di Pulau Tengah. Menara itu dikelilingi vila-vila bergaya minimalis yang bisa disewa lewat biro perjalanan. Salah satunya eSkyOne Tour & Travel. Biro yang beralamat di Jalan Gunung Sahari Raya, Jakarta, ini mengklaim di situsnya sanggup mengatur keberangkatan tamu ke Pulau Tengah dengan mudah meski pulau itu dijaga ketat. "Tarifnya Rp 16 juta semalam per vila untuk kapasitas maksimal 10 tamu," kata Rishka, Customer Service eSkyOne, saat dimintai konfirmasi oleh Tempo via telepon.

Ketika Tempo menginjakkan kaki di Pulau Tengah pada Kamis pekan lalu, ada satu unit kapal pesiar kecil dan kapal barang yang sedang bersandar di dermaga. Kapal barang itu memuat pepohonan dan tanaman yang bakal ditanam di sekitar resor. "Tanaman ini dikirim langsung dari Puncak, Bogor," ujar salah satu awak kapal.

Semuel Kurniawan, Corporate Secretary TiPhone, salah satu perusahaan Hengky, mengatakan Pulau Tengah dimiliki oleh beberapa orang yang mempunyai sejumlah vila di sana. Namun ia mengaku tak tahu bila nama Pulau Tengah diubah menjadi Pulau H, seperti inisial Hengky. "Saya kurang tahu kalau nama pulau bisa diubah-ubah," ucap Semuel.

Berperahu 20 menit ke arah timur dari Pulau Tengah terdapat Pulau Karang Kudus. Pemilik pulau memasang larangan masuk di pulau seluas 1,9 hektare itu. Pengumuman itu ditulis di papan putih yang tergantung di pohon dekat dermaga.

Penjaga pulau yang mengaku berasal dari Madura, Jawa Timur, membenarkan bahwa pulau itu dikelola Johnny Wijaya. Sebelumnya, kata penjaga itu, pulau tersebut dikuasai pengusaha obat-obatan. "Bapak hanya berkunjung kalau mau refreshing saja," ujarnya. Johnny adalah bos PT Central Pondok Sejahtera.

Bupati Kepulauan Seribu Husein Murad mengatakan Johnny punya hak atas tanah di Pulau Karang Kudus. Pada April lalu, kata Husein, Johnny menyerahkan sertifikat tanah seluas 40 persen dari luas pulau untuk didaftarkan sebagai aset pemerintah. "Itu kewajiban dia sebagai pengembang," ucapnya.

Ketua Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan DKI Jakarta Bidang Pesisir, Marco Kusumawijaya, mengatakan memiliki pulau diizinkan dengan sejumlah persyaratan yang ketat. Namun ia tak bisa memastikan apakah para pemilik pulau menempuh prosedur yang benar saat mengajukan kepemilikan tanah di Kepulauan Seribu. "Belum tentu seseorang bersalah ketika dia memiliki pulau," kata Marco.

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Brahmantya Satyamurti Poerwadi menjelaskan, pemerintah lewat Peraturan Menteri Agraria Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Pesisir dan Pulau Kecil melarang monopoli kepemilikan tanah di pulau-pulau kecil, yang luasnya tak lebih dari 2.000 meter persegi. "Maksimal 70 persen dari total luas pulau," ujar Brahmantya.

Menurut Brahmantya, seseorang atau korporasi tak bisa memanfaatkan seluruh luasan tanah di pulau yang dimiliki. Mereka harus menyisihkan 30 persen dari hak tanahnya untuk kawasan lindung. "Penguasaan atau pemilikan tanah di pulau juga tak boleh sampai menutup akses publik, seperti singgah berlayar atau sekadar berteduh di pantai," katanya.

Raymundus Rikang

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus