Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Resep menjual dan rugi laba

Sekilas kampanye pemilu 1987 di berbagai daerah. pandangan ketiga tokoh kontestan pemilu. masing-masing opp mencoba menarik massa dengan berbagai cara. pemilu kali ini tertib.

2 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAMPANYE usai sudah. Sehabis memilih, panggung politik sepi kembali. Tak ada lagi teriakan "jualan", yel-yel mewarnai jalan-jalan utama di seluruh pelosok Nusantara. Walau begitu, seperti menghitung rugi laba, masih berserakan catatan yang tersimpan. Sebenarnya, para politikus dari ketiga OPP, yang memperebutkan suara. tak banyak berharap. "Massa yang berkampanye di kota-kota lebih bersifat hura-hura dan pawai," tutur Yusuf Syakir dari DPP PPP. Dan separuh waktu kampanye, kebanyakan untuk menjelaskan cara menggunakan hak dalam pemilu, 20% untuk yel-yel. "Sisanya baru program partai. Itu pun tak sampai 15 %," tutur Yusuf. Coba lihat di Ibu Kota. Saat putaran kampanye PDI, massa bak lautan dibungkus scragam kaus, jaket, dan topi merah. Sebagian besar adalah kaum muda. Selain yang dari Menteng, juga banyak anak pejabat tinggi ikut meramaikan barisan kampanye Banteng Ketaton. Bahkan ada sebuah mobil mewah yang ditempel poster. Bunyinya: Biaran babe gue Colkar, gue pilih PDI. Tampilnya-kaum muda d ketiga OPP ini membikin terperangah Sarwono Kusumaatmadja, Sekjen Golkar "Perhatian kaum muda itu ternyata lebih besar dari dugaan. Di beberapa tempat kaum muda Golkar mendominasi, terutama dalam acara rapat umum," katanya. Gegap gempita kampanye ini, katanya, tak langsung menunjukkan peserta pemilu kini telah punya kesadaran politik. "Kelihatannya mereka mau hura-hura. Belum tentu terserap goodwill OPP," ujar Sarwono, ragu. Ketua PDI Soerjadi juga tak cepat terkesima dengan kemeriahan kampanye. Namun, menurut dia, kampanye yang bersemangat itu adalah partisipasi, tak sekadar hura-hura. "Masyarakat semakin mengerti apa arti kampanye,' katanya. PDI mencoba menarik simpati massa dengan menampilkan citra "partai miskin", tetapi berharap pada masa depan. Strategi ini, "Untuk menarik massa, terutama kaum muda," ujar Soerjadi. Ketua Umum Golkar, Sudharmono, menilai kampanye yang lalu itu belum menonjolkan konsep-konsep rasional. Umumnya maslh seruan untuk mencoblos salah satu kontestan. Ia mengakui, "Tidak mudah bicara soal program atau konsep rasional dan mendalam di depan pendengar yang begitu banyak dan beragam dalam forum kampanye terbuka." Program memang belum menonjol jadi jurus utama. Apalagi karena daya pikat itu masih bertumpu pada simbol dan tokoh. Di Sum-Ut misalnya, sekitar 150.000 massa berbondong ke Lapangan Merdeka, Medan, awal April lalu. Ini gara-gara Megawati Soekarnoputri tampil kampanye. Meski Mega hanya tiga menit di depan corong, toh massa keblinger. Kampanye PDI di Medan memang sukses meski dananya hanya Rp 6 juta. Jenis kampanye yang lain, seperti getok tular di Sum-Ut, berkunjung dari pintu ke pintu. Pesannya, "Jangan lupa menusuk Banteng, ya Pak, Bu, Dik." Selain itu, di Pematangsiantar, 120 km di selatan Medan, 100.000 korek api bergambar Banteng disebar gratis ke pasar. Bandingkan dengan Golkar. Di Sum-Ut, Beringin melakukan 6.800 kampanye, dengan mengerahkan hampir 630.000 anggota dan 457.195 karakterdes alias kader yang dibina Golkar. Selain itu Golkar juga punya sejumlah tokoh. Di Solo, G.P.B.H. Jatikusumo, berkampanye di bawah Beringin. "Saudara-saudara, di alun-alun ini ada dua buah pohon beringin yang rindang, mangay ayuning bauono," katanya, ketika berkampanye untuk Golkar. Sedianya di DI Yogyakarta, juga ditampilkan Sultan Hamengkubuwono IX. Tapi Gubernur Dl Yogya itu batal pidato. "Saya memperoleh surat dari tim dokter agar tidak kampanye dulu," kata Sultan pada wartawan TEMPO Syahril Chili. Hanya pada hari pencoblosan, Sultan berkeliling di 13 TPS di Kabupaten Sleman, Kulonprogo, dan Kota Madya Yogya. Lainnya, diisi dengan hiburan para artis. Titiek Puspa misalnya: Lain lagi "resep" PPP. Bahkan sehari sebelum kampanye dimulai, surat Yasin berkumandang di kantor DPW seluruh Indonesia. Waktunya, setiap lepas salat isya. Perintah ini disampaikan via teleks oeh Sekjen DPP Mardinsyah. "Tujuannya tak lain demi kemenangan PPP di arena pemilu tahun ini," tutur Drs. Hasjrul Azwar, Sekretaris DPW PPP Sumut. Di Aceh, tempat Golkar mengungguli PPP kali ini - kecuali di Kabupaten Aceh Besar, Utara, dan Pidie - kampanye dimulai dengan pembacaan Salawat Nabi. "Desa-desa di kabupaten saya terpencar jauh dari jalan negara, hingga komunikasi kurang. Apa boleh buat, rakyat yang anatik menanap PPP itu Partai Islam," kata Bupati Aceh Besar, Drs. H.M. Zein Hasymi pada Bersihar Lubis dari TEMPO. "Orang datang ke kampanye PPP hanya untuk mendengar yang tak rutin. Katakanlah, ada yang berani menghantam pemerintah dan main caci maki," kata Wakil Sekretaris DPD Golkar Aceh, Moersyid Minosra. Kendati begitu, banyak pihak sepakat bahwa pemilu kali ini tidak beringas. Memang ada beberapa insiden dl daerah, tapl perang antarOPP jauh lebih dingin dibanding pada 1982. Ini karena beberapa kebijaksanaan dari LPU. Misalnya, wilayah kampanye dibuat berjauhan satu sama lain, untuk menghindari bentrokan. Dan waktu kampanye dibatasi sampai pukul 18.00, agar mudah pengamanan. Menurut Sulaeman, Wakil Ketua MPP PPP, keberingasan terjadi dalam pemilu sebelumnya karena adanya ketidakadilan aparat pelaksana. Karena itu, masih ada Pihak parpol yang mengeluhkan. Malah Ketua DPW PPP Aceh, T. Ghazali Amna, menyesalkan tak dibedakan secara tegas antara Golkar dan pemerintah. Misalnya, Ibrahim Hasan lebih banyak menyediakan waktunya untuk Golkar daripada berperan sebagai gubernur. Sedangkan Soerjadi menyesalkan adanya penekanan. "Anak sekolah, yang seharusnya dididik untuk jadi insan masa depan, jangan dicekoki macam-macam. Atau ditakuti tidak naik kelas, tidak boleh ujian segala macam. Itu tak mendidik," katanya. Pemilu memang bukan "pesta" dalam arti yang sebenarnya. Tapi sesuatu yang lebih berharga untuk pendidikan politik generasi muda - kelompok yang banyak tampil dalam kampanye tahun ini. Bunga Surawijaya, Laporan biro-biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus