Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BIARPUN sudah gaek, Dewi masih memikat. Energi Dewi, 53 tahun, yang syuga itu bak wanita muda berusia 30-an tahun. Ia seperti tak kenal capek. Sekembali dari Jakarta, awal pekan lalu, ia langsung terbang ke Paris. Setelah 11 jam penerbangan Tokyo-Paris, Jumat tengah malam pekan lalu selama satu setengah jam tanpa henti, dengan tangkas dan renyah, ia menjawab wawancara wartawan TEMPO di Tokyo, Seiichi Okawa, lewat sambungan telepon internasional. Berikut petikannya: Soal pembayaran ganti rugi Wisma Yaso? Anda memang mau dibayar Rp 5 miliar? Perlu saya tegaskan bahwa pemilikan sah atas Wisma Yaso berlaku selama-lamanya atas nama saya. Jadi, jangan sampai timbul salah paham bahwa telah terjadi jual-beli antara pemerintah Indonesia dan saya. Ini bukan jual-beli, tapi hanya pembayaran kompensasi kepada saya karena pemerintah Indonesia telah menggunakan Wisma Yaso selama 24 tahun, bahkan akan memperpanjang penggunaan wisma itu. Dengan kata lain, uang Rp 5 miliar itu semacam uang sewa. Itu pun masih dengan syarat penggunaannya hanya untuk kepentingan pemerintah dan rakyat Indonesia, misalnya untuk Museum ABRI Satria Mandala seperti sekarang. Bukan untuk kepentingan komersial. Jadi, wisma itu tetap milik Anda? Betul. Kalau ada transaksi jual-beli, kan kedua belah pihak harus menandatangani surat perjanjian di depan notaris? Jumlah Rp 5 miliar itu saya terima bersih setelah dipotong pajak. Jumlah semuanya Rp 6,11 miliar. Tapi, kalau transaksi jual- beli, perhitungannya lain. Nilai Wisma Yaso itu menurut harga yang ditetapkan Pemerintah sekitar US$ 5060 juta, sedangkan menurut harga pasaran sekitar US$ 8090 juta. Nah, kalau pemerintah Indonesia membeli, harganya, kalau kita ambil harga tengah, sekitar US$ 70 juta. Dan kalau ditambah pajak, bisa mencapai US$ 90 juta. Kapan kesepakatan ganti rugi itu? Kalau tak salah 6 November 1993, antara pengacara saya, Gani Djemat, dan pihak Sekretariat Negara. Tapi baru dua hari kemudian saya mengetahuinya, dan 10 November lalu saya terbang ke Jakarta menemui pengacara saya. Saya tidak bertemu dengan orang Sekretariat Negara. Waktunya kok bersamaan dengan keinginan Anda untuk pindah kewarganegaraan dan heboh soal buku Syuga? Tiga tahun lalu, kesepakatan, dalam hal ini kesepakatan jual- beli, hampir tercapai. Nilainya US$ 70 juta. Tapi ada pihak lain yang berusaha menggagalkannya. Sampai kapan Pemerintah berhak menggunakan Wisma Yaso? Wisma Yaso itu tetap milik saya, sampai kapan saja. Tapi, kalau nanti digunakan untuk tujuan komersial, misalnya hotel atau gedung perkantoran, otomatis hak guna pemakaian oleh Pemerintah itu batal. Impian saya, suatu saat nanti, di sana saya akan membangun Soekarno Hospital, atau Soekarno Memorial Library, atau Soekarno Foundation. Kan Bung Karno terkurung di sana selama tiga tahun hingga meninggal dunia. Kasihan. Bagaimana dengan Wisma Masa di Puncak? Wisma itu dikembalikan kepada saya. Tanggal 12 November lalu saya menengoknya dan bertemu dengan Mas Soekardi, pembantu saya dulu. Dia menyimpan segala milik saya dengan rapi dan baik, sepatu warna merah yang sering saya pakai dulu, juga ukir- ukiran Bali dan beberapa boneka yang saya beli di perjalanan ke luar negeri. Bahkan, sesusun piring juga ia rawat baik. Betapa saya terharu. Saat ini saya belum memikirkan untuk apa kelak Wisma Masa itu. Tapi, kalau ada yang berminat, dipersilakan menghubungi Thomas Haryono, Direktur PT Imcor Nusantara Megah, perusahaan saya di Jakarta. Apa lagi harta milik Anda yang belum dikembalikan? Sejumlah lukisan dan barang-barang antik atau oleh-oleh dari para kepala negara yang mengunjungi Indonesia, yang dulu saya simpan di Wisma Yaso. Ada pula lukisan potret diri saya dengan kebaya dan kimono, dengan sarung, dengan sari, juga dengan pakaian Eropa warna hitam. Semuanya lukisan karya Basuki Abdullah. Dulu terpasang di Istana Merdeka, juga di Istana Negara. Ke mana lukisan-lukisan itu? Juga karya saya, melukis Presiden Soekarno, dan karya Bung Karno, yang melukis saya. Kabarnya, sebagian disimpan oleh Nyonya Fatmawati, dan sebagian lagi disimpan di Wisma Negara. Setahu saya, untuk menyimpan barang-barang itu, Nyonya Fatmawati membangun sebuah gudang di halaman rumah. Belakangan, barang-barang itu dipindahkan ke rumah Guntur. Beberapa kali saya pernah minta agar Guntur mengembalikan kepada saya, tapi belum terlaksanakan, entah kenapa. Kata Guntur, ia ingin menyelenggarakan pameran lukisan koleksi Bung Karno. Tapi selama 24 tahun disimpan saja. Padahal, Karina sama sekali tak punya harta warisan apa pun dari Bung Karno. Dan saya tak bisa memberikan satu warisan pun kepadanya karena memang saya tak memiliki koleksi itu. Uang kompensasi Wisma Yaso akan Anda bagi dengan Karina, juga dengan ahli waris Bung Karno yang lain? Semua harta benda yang selama ini saya miliki pada akhirnya tentu akan diserahkan kepada Karina. Itu masuk akal dan wajar- wajar saja. Tapi ahli waris atau anggota keluarga Bung Karno lainnya kan tidak ada urusan pribadi dengan saya. Bahkan, anggota keluarga Bung Karno masing-masing hidup secara independen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo