Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARA perusuh itu sebagian membawa istri dan anak. Juga membawa
persediaan kurma. Dua hal itu menunjukkan mereka siap bertahan
lama dalam Masjid. Tak hanya itu: rasanya, tak mungkin mereka
hanya memperalat anak-istri untuk jadi penghubung dengan orang
di luar -- entah berapa banyak. Bila mereka memang orang saleh,
yang demikian kuat kepercayaannya kepada kuasa Allah, rasanya
tak mengherankan bila misalnya mereka yakin: mereka akhirnya
"akan menang". Alias bukan mati, atau tidak seluruhnya mati.
Yakin akan sesuatu keajaiban Barangkali ya. Lebih-lebih kalau
misalnya ada sesuatu pihak yang menjanjikan kepada mereka, bahwa
bersamaan dengan pendudukan Masjid, "sesuatu sedang bergerak di
tempat lain". Setidak-tidaknya seruan tentang akan datangnya
Imam Mahdi (dan bukan tuntutan agar pemimpin mereka diakui
sebagai mahdi) memperkuat harapan itu. Imam Mahdi adalah butir
kepercayaan sampingan yang tidak ada dalam Quran, dan lebih
banyak hidup sebagai cerita rakyat meskipun berdasar bagian
rawan dari hadis-hadis yang sebagian sahih.
Tapi banyak yang meragukan mereka sebagai benar-benar pejuang
agama. Setidak-tidaknya, kepercayaan keliru yang bagaimana yang
bisa mengizinkan orang, secara tidak terpaksa, membawa demikian
banyak alat pembunuh ke dalam tempat yang paling damai itu.
Bahkan seorang pemuka Islam di Jakarta mengatakan "Saya tidak
percaya mereka itu Islam yang benar. "
Hamka, Ketua Majlis Ulama -- yang beberapa saat setelah kejadian
segera mengeluarkan kutukan atas pendudukan Masjid itu
--menganggap tindakan Majlis sama sekali "tidak terburu-buru".
Kata Hamka: "Masalahnya bukan apakah alasan mereka benar atau
salah. Tapi yang mereka lakukan itu pantas dikutuk." Modernisasi
--kalaulah itu yang menjadi alasan para perusuh itu untuk
bertindak -- menurut Hamka adalah sesuatu yang wajar. "Juga
reaksi yang tidak setuju adalah sesuatu yang wajar." Tetapi
kalau memang mereka mengritik restorasi Masjid dan modernisasi
sarana haji, itu tak beralasan.
Dulu, cerita Hamka, orang melakukan Sa'i (lari-lari kecil antara
bukit-bukit Safa dan Marwah) sambil kepanasan. "Orang Arab
mungkin tahan begitu. Tapi kita?" Malah sambil kita beribadah
orang dulu riuh-rendah menawarkan dagangan: "Makan di sini saja!
" Lalu sekarang negeri itu sudah kaya. Tempat Sa'i mereka beri
atap. Begitu pula tempat orang melempar jumrah. "Sebelum ada
yang seperti Jembatan Semanggi itu, mati orang terinjak-injak
satu sama lain," kata Hamka. "Apa itu salah? Apa itu tidak murni
Islam? Mungkin yang berkata itu tidak ada pengetahuan Islamnya."
"Kalau mereka memang mau berontak, mengapa di situ?" tanya
Hamka. Walhasil, untuk maksud apapun, mereka telah menyinggung
ulu hati orang Islam seluruh dunia. Mereka lupa bahwa Tanah
Haram kepunyaan seluruh umat Islam. "Bahkan raja Saudi hanyalah
berkedudukan penjaga di sana."
Tapi syukurlah, kata Hamka, Masjid sudah dibersihkan kembali.
"Tinggal Pemerintah Saudi introspeksi apa-apa yang salah
dilakukan selama ini."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo