Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Setelah Kemakmuran Datang

Hamka, ketua majlis ulama, mengutuk perbuatan perusuh. alasan mereka menolak modernisasi tidak perlu dengan membuat kerusuhan di masjid. tanah haram adalah kepunyaan seluruh umat islam. (ag)

15 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA perusuh itu sebagian membawa istri dan anak. Juga membawa persediaan kurma. Dua hal itu menunjukkan mereka siap bertahan lama dalam Masjid. Tak hanya itu: rasanya, tak mungkin mereka hanya memperalat anak-istri untuk jadi penghubung dengan orang di luar -- entah berapa banyak. Bila mereka memang orang saleh, yang demikian kuat kepercayaannya kepada kuasa Allah, rasanya tak mengherankan bila misalnya mereka yakin: mereka akhirnya "akan menang". Alias bukan mati, atau tidak seluruhnya mati. Yakin akan sesuatu keajaiban Barangkali ya. Lebih-lebih kalau misalnya ada sesuatu pihak yang menjanjikan kepada mereka, bahwa bersamaan dengan pendudukan Masjid, "sesuatu sedang bergerak di tempat lain". Setidak-tidaknya seruan tentang akan datangnya Imam Mahdi (dan bukan tuntutan agar pemimpin mereka diakui sebagai mahdi) memperkuat harapan itu. Imam Mahdi adalah butir kepercayaan sampingan yang tidak ada dalam Quran, dan lebih banyak hidup sebagai cerita rakyat meskipun berdasar bagian rawan dari hadis-hadis yang sebagian sahih. Tapi banyak yang meragukan mereka sebagai benar-benar pejuang agama. Setidak-tidaknya, kepercayaan keliru yang bagaimana yang bisa mengizinkan orang, secara tidak terpaksa, membawa demikian banyak alat pembunuh ke dalam tempat yang paling damai itu. Bahkan seorang pemuka Islam di Jakarta mengatakan "Saya tidak percaya mereka itu Islam yang benar. " Hamka, Ketua Majlis Ulama -- yang beberapa saat setelah kejadian segera mengeluarkan kutukan atas pendudukan Masjid itu --menganggap tindakan Majlis sama sekali "tidak terburu-buru". Kata Hamka: "Masalahnya bukan apakah alasan mereka benar atau salah. Tapi yang mereka lakukan itu pantas dikutuk." Modernisasi --kalaulah itu yang menjadi alasan para perusuh itu untuk bertindak -- menurut Hamka adalah sesuatu yang wajar. "Juga reaksi yang tidak setuju adalah sesuatu yang wajar." Tetapi kalau memang mereka mengritik restorasi Masjid dan modernisasi sarana haji, itu tak beralasan. Dulu, cerita Hamka, orang melakukan Sa'i (lari-lari kecil antara bukit-bukit Safa dan Marwah) sambil kepanasan. "Orang Arab mungkin tahan begitu. Tapi kita?" Malah sambil kita beribadah orang dulu riuh-rendah menawarkan dagangan: "Makan di sini saja! " Lalu sekarang negeri itu sudah kaya. Tempat Sa'i mereka beri atap. Begitu pula tempat orang melempar jumrah. "Sebelum ada yang seperti Jembatan Semanggi itu, mati orang terinjak-injak satu sama lain," kata Hamka. "Apa itu salah? Apa itu tidak murni Islam? Mungkin yang berkata itu tidak ada pengetahuan Islamnya." "Kalau mereka memang mau berontak, mengapa di situ?" tanya Hamka. Walhasil, untuk maksud apapun, mereka telah menyinggung ulu hati orang Islam seluruh dunia. Mereka lupa bahwa Tanah Haram kepunyaan seluruh umat Islam. "Bahkan raja Saudi hanyalah berkedudukan penjaga di sana." Tapi syukurlah, kata Hamka, Masjid sudah dibersihkan kembali. "Tinggal Pemerintah Saudi introspeksi apa-apa yang salah dilakukan selama ini."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus